Sebagai pembelajar Agama Islam, materi ini dapat dijadikan assesment bahwa Islam sebagai keyakinan bagi umatnya senantiasa berhati-hati dalam memberikan justice sumber Islam, karena Hadist merupakan sumber ajaran kedua setelah Alquran.
A. Kritik Hadits
Menurut para ulama’ ilmu naqd al-hadits yaitu penilaian seorang rawi dengan sifat-sifat yang mencacat (tajrih) atau memujinya (ta’dil) melalui lafazh-lafazh yang mengandung kaedah atau ketentuan-ketentuan yang dapat dipahami dan dimengerti oleh ahlinya dalam rangka memberikan pertimbangan untuk men-shahih-kan, meng-hasan-kan ataupun men-dha’if kan suatu hadits.[2]
Upaya
menilai hadits inilah kemudian dikenal dengan istilah kritik hadits atau upaya
mengkritisi suatu hadits yang mencakup kritik sanad (naqd al-sanad) dan kritik
matan (naqd al-matn).[3]
Sedangkan pengertian secara terminologi ulama hadis, kritik dikenal dengan istilah naqd al-hadith‟ yakni sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang bagaimana membedakan antara hadis sahih dan hadis da‘if dan bagaimana mengetahui adanya illat (cacat) pada hadis dan cara menghukumi perawi-perawinya dari sisi jarh dan ta‘dil nya dengan menggunakan lafaz-lafaz khusus yang mengandung makna tertentu yang hanya diketahui oleh pakar ilmu hads."10. Dan dalam tradisi pemakaian ulama hadis, kata naqd menurut Ibnu Hatim al-Razi (w. 372) sebagaimana dikutip oleh al-Azami adalah upaya menyeleksi/membedakan antara hadis sahih dan da’if dan menetapkan status perawi-perawinya apakah ia thiqah atau cacat (majruh)[7]
Kegiatan
kritik hadis telah dimulai pada masa Rasulullah SAW, baik itu dilakukan oleh
beliau sendiri maupun dilakukan sebagian sahabat. Pada masa ini ilmu kritik
hadis belum terbentuk secara konseptual. Keberadaan beliau di tengah-tengah
para sahabat mempermudah klarifikasi dan sekaligus antisipasi kesalahan
penukilan hadis. Secara alami, tidak diperlukan teori-teori khusus yang
mengatur periwayatan hadis sebagaimana pada masa-masa berikutnya karena sumber
informasi masih hidup
Sepeninggal
Rasulullah SAW tahun 11 H./623 M., terjadi perubahan signifikan karena
hadis-hadis tidak lagi diriwayatkan dari sumber pertama tapi dari sumber kedua
dan seterusnya yang mempunyai posisi jauh berbeda dengan sumber pertama. Secara
intens para sahabat melakukan kritik terhadap perawi hadis. Tercatat Abu Bakar,
Umar, Uthman, Ali, Aishah, Ibn Abbas, Anas ibn Malik, dan „Ubadah ibn Samit
dikenal sebagai tokoh yang selalu meneliti dan mengkritik periwayat lain[8]
[1] M. M. Azami, MA,Ph, D., Memahami Ilmu Hadits, Penerbit Lentera, 1995, h.72[2] Fatimah Usman, M.S.I dan A. Hasan Asy’ari Ulama’I, M.Ag., Ratu-Ratu Hadits, Ittiqa Press, Semarang, 2000, h. 11[3] Ibid. 12[4] M. Syuhudi Isma’il, Kaedah Kesahihan Hadits, h. 124[5] Jamal al Din Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisan al Arab, vol. IV (Beirut : Dar al Sadir, 1990), 425[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 466[7] M. Mustafa al-A‟zami, manhaj al naqd inda al muhaddithin (Riyad: maktabah al-Umariyah, 1982), 5[8] Mustafa al Siba‟i, Al-sunnah wa makanatuha fi al-tashri' al-islami, (Beirut: Dar al-Warraq, 1998), 129
No comments:
Post a Comment