DUNIA PENDIDIKAN
Monday, 16 November 2015
TINJAUAN UUMUM TENTANG DAKWAH
a. Ruang
lingkup dakwah
Dakwah berasal dari kata يدعو
- دعوة دعا
-
Yang berarti mengajak, memanggil dan menyeru.
Sedangkan orang yang mengajak disebut da’i. Menurut Thoha Yahya Umar
mendefinisikan dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada
jalan yang benar sesuai dengan tuntunan Tuhan untuk kemaslahatan dan
kebahagiaan dunia dan akhirat. [1]
Menurut S. M Nasaruddin Latif
dakwah adalah usaha dengan lisan atau tulisan dan lainnya yang bersifat
menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan menaati Allah
sesuai dengan garis–garis akidah syariah serta akhlak islamiah.[2]
Dari penje lasan di atas kegiatan dakwah meliputi ajakan
untuk beriman dan menaati Allah atau memeluk islam, melaksanakan amal kebaikan
(amar ma’ruf) dan mencegah perbuatan mungkar (nahi munkar) dalam
usaha mendekatkan diri kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Islam adalah agama dakwah yang menugaskan umatnya untuk
menyebarkan dan mensiarkan islam kepada seluruh umat manusia sebagai rahmatan
lil alamin. Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan
kesejahteraan manakala ajarannya dijadikan sebagai pedoman hidup dan
dilaksanakan secara konsisten serta konsekuen.
Oleh karena itu pelaksanaan dakwah dalam usahanya mendekatkan
diri kepada Allah meliputi segala aspek yang sangat terkait antara satu dengan
yang lain. Untuk itu, unsur penunjang kesuksesan sebuah dakwah harus terpenuhi.
Sebagai ahli hikmah dalam dakwahnya, da’i harus menguasai
dasar-dasar dakwah atau rukun-rukun dakwah agar mampu berjalan dengan lancar
dan tidak diragukan lagi fiqh tentang rukun–rukun dakwah dalam Al-Qur’an, Allah
berfirman :
قُلْ
هَذِهِ سَبِيْليِ أَدعُو اِلىَ اللهِ عَلىَ بَصِيْرَةِ
اَنَا وَمِنَ اتَّبَعَنِ وَسُبْحَنَ اللهِ
وَمَآ اَناَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ.
Artinya :
Katakanlah
inilah jalan agamaku, aku dan orang-orang yang mengikuti mengajakmu kepada
Allah dengan hujjah, maka maha suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang
musyrik. (Q.S Yusuf: 108)
1.Subjek dakwah
(da’i)
Seorang da'i wajib
mengetahui hakekat dirinya, tugas-tugasnya,
syarat-syaratnya, bekalnya dan akhlaknya. Untuk itu idealnya seorang
da’i yang profesional memenuhi syarat sebagai berikut:[3]
a)
Syarat yang bersifat akidah
b)
Syarat yang bersifat ibadah
Seorang da’i
banyak memberi contoh dalam menjalankan ibadah, baik itu yang diwajibkan Allah
atau yang disunahkan Allah.
c)
Syarat yang bersifat ilmiah
Salah satu dengan
menguasai ilmu agama, ilmu umum, cerdas serta intelektual serta mampu mengikuti
arus perkembangan zaman.
d)
Syarat yang bersifat akhlakul
karimah
Syarat yang
bersifat akhlakul karimah tidak hanya berkaitan dengan manusia (hablum minannas)
tetapi juga (hablum minallah) sabar, syukur, tawakal, dan
beribadah dengan mengharapkan ridho Allah .
e)
Syarat yang bersifat jasmani
Sehat secara fisik
ataupun mental, sebagai salah satu usaha untuk memperlancar kesuksesan dakwah.
f)
Syarat kelancaran berbicara
(retorika)
Seorang da’i harus
berbicara dengan fasih serta bisa di terima dengan akal sehingga dengan bahasa
yang dilontarkan bisa menyentuh perasaan si pendengar.
g)
Syarat mujadalah
Seorang da'i harus
bersemangat dalam berdakwah berjuang menegakkan agama Allah dengan mengharap
ridhonya .
2)
Objek sasaran dakwah
Mad’u adalah isim maf’ul dari da’a,
berarti orang yang diajak, atau dikenakan perbuatan dakwah, laki-laki atau
perempuan, tua atau muda semua manusia tanpa terkecuali.[4] Bila dilihat kondisi masyarakat yang majemuk
dengan karakteristik yang berbeda maka dituntut, penggunaan metode dan strategi
dakwah yang efektif dan efisien. Untuk itu sasaran dakwah yang di lakukan kaum
muslimin tidak dibatasi pada satu kaum saja melainkan rahmatan lil alamin.
Sementara Hamzah Ya’cub dalam buku Publisitik Islam
mengemukakan sasaran dakwah sebagai berikut :[5]
1. Umat rasional
Yaitu
orang yang berfikir kritis, berpendidikan, berpengalaman serta terbiasa
berfikir mendalam.
2. Umat tradisional
Yaitu orang yang
mudah dipengaruhi oleh faham baru tanpa pertimbangan lebih dahulu, kemudian
mengikutinya tanpa berfikir salah atau benar
3. Umat bertaklid
Yaitu orang yang
fanatik buta dan berpegang pada tradisi yang turun-temurun dipandang benar
tanpa diselidiki dahulu
3)
Pesan dakwah
Pesan dakwah dalam hal ini pernyataan yang terdapat pada
sumber atau bahan dalam mencapai tujuan dakwah. Sumber pokok yang dimaksud
Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah, berupa petunjuk, tuntunan dan hukum bagi
kehidupan manusia. Menurut M. Natsir dalam Fiqh ad-Dakwah membagi pesan dakwah ke dalam
tiga bagian :[6]
1)
Menyempurnakan hubungan manusia
dengan khalik-nya hablumminallah atau mu’amalah ma’al khalik.
2)
Menyempurnakan hubungan manusia
dengan sesama manusia, hablumminannas atau mu’amalah ma’annas.
3)
Mengadakan keseimbangan (tawazun)
antara kedua itu dan mengaktifkan
keduanya selaras dan seimbang .
4)
Tujuan dakwah
Tujuan dakwah yang dilakukan da’i, mengajak manusia ke jalan
Allah dan menyembah-Nya dengan tidak menyekutukan selain Allah. Menyeru kepada
manusia mengindahkan seruan Allah dan rasul-Nya serta memenuhi panggilan-Nya
untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dalam Al-Qur’an Allah
berfirman :
يَاَيُّهَا النَّبىِ
اِنَّا اَرْسَلْنكَ شاَهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيْرًا وَدَاعِيًا اِلَى اللهِ
بِاِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا
Artinya:
Hai Nabi,
sesungguhnya kami mengutusmu untuk menjadi saksi dan pembawa kabar gembira dan
pemberi peringatan ,dan untuk menjadi da'i (penyeru) kepada (agama) Allah
dengan izin-Nya untuk menjadi cahaya yang menerangi (Al Azhab 45-46).
Aktivitas dakwah dari masa ke masa disatukan satu tujuan
utama yaitu menyeru ke jalan Allah. Apabila tujuan dakwah selain Allah atau
menyertakan tujuan-tujuan yang lain seperti tujuan duniawi dan segala bentuk
kepentingan pribadi selain Allah adalah penyimpangan.
5) Metodologi dakwah
Secara umum metodologi dakwah merupakan interpretasi dari
ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang memuat prinsip-prinsip metode dakwah dalam
menyeru dan mengajak manusia ke jalan Allah. Maka, penyampaian risalah dakwah
kepada mad’u hendaknya disesuaikan dengan pemahaman dan pengalaman
keagamaaannya. Maka, penyampaian dakwah dilakukan dengan hikmah sesuai dengan
firman Allah surat
An–Nahl ayat 125 :[7]
a.
Cara berdakwah dengan hikmah
ditujukan kepada ahli pikir dan ahli ilmu yang kritis.
b.
Cara berdakwah mawizhah hasanah
ditujukan kepada mereka masih awam.
c.
Cara berdakwah dengan mujadalah
dengan sebaik-baiknya ditujukan kepada orang yang tingkat pemikirannya tidak
dapat mencapai pada tingkat sebagai ahli pikir atau ahli yang matang ilmunya,
namun juga tidak jatuh ke tingkat berfikir orang awam. tanpa terkecuali.
2. Tinjauan Umum
Pengembangan Sumber Daya Manusia (da'I(
1. Pengembangan Sumber Daya Manusia (da’i)
Kata pengembangan berasal dari kata kembang, berkembang yang
berarti menjadi besar, tersebar. Adapun pengembangan yaitu cara atau hasil yang
mengembangkan.[8] Terjadinya perkembangan menurut Herbert karena adanya unsur-unsur
berasosiasi sebagai suatu simple atau unsur yang sedikit semakin lama semakin
banyak dan komplek.
Jadi pengembangan merupakan suatu perubahan yang menunjukkan
ke arah yang lebih besar dan lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh dua unsur atau
lebih yang saling berhubungan hingga kecil menjadi besar yang diusahakan oleh
seorang atau kelompok dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Pengembangan atau pertumbuhan yang menggambarkan suatu proses
tambahnya identitas meningkatnya kemampuan dan kapasitas untuk
mempertahankannya, eksistensi, adaptasi terhadap lingkungan. Mewujudkan secara
efektif, sehingga proses perkembangan berdasarkan pada teori :[9]
1)
Evolusionisme: menggambarkan
perkembangan yang mengikuti jenjang tahap demi tahap menuju ke arah kemajuan
(progresif), ke arah yang semakin sempurnna
2)
Adaptasi: setiap perubahan yang senantiasa berusaha
untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan (mempunyai) kehendak untuk
menciptakan struktur baru, bersifat inovasi dan modernisasi sehingga proses
tersebut lebih kepada bentuk perkembangan.
Pengembangan yang dimaksud adalah
jalannya proses suatu usaha yang dilaksanakan seorang atau kelompok untuk
mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Sumber daya manusia berarti segenap potensi
manusia yang dapat di aktualisasikan untuk melakukan sesuatu dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya.[10] Dimana Pengembangan Sumber Daya Manusia
merupakan suatu proses merencanakan pendidikan pelatihan dan pengelolaan tenaga
/ karyawan untuk mencapai suatu yang optimal.[11]
Jadi Pengembangan Sumber Daya manusia dalam organisasi dakwah, pada hakikatnya
adalah upaya untuk merencanakan (planning) meningkatkan kemampuan dengan
pendidikan dan pelatihan (education dan training) dan mengelola (managemen)
penyampai dakwah (da'i) sehingga di peroleh produktivitas dakwah. [12]
2.
Bentuk Pengembangan Sumber Daya Manusia
Menurut Canadian Internasional Agency
(CIDA) dimuat MC Whinney, kemudian dikutip Tadjudin Noer efendi[13]
mengemukakan bahwa :
Pengembangan menekankan sebagai alat (mens) mempunyai
tujuan akhir dalam jangka pendek dapat diartikan sebagai pengembangan
pendidikan dan pelatihan untuk memenuhi segala kebutuhan segera tenaga, ahli
tehnik, kepemimpinan ,tenaga administrasi dan tenaga ini di tujukan pada
kelompok sasaran untuk mempermudah mereka terlibat dalam sistem ekonomi di
negeri ini.
Salah satu bentuk pengembangan sumber
daya manusia meliputi pendidikan dan pelatihan (diklat) terutama dalam
mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian intelektual dan kepribadian
manusia. Pendidikan (education) dalamm suatu organisasi adalah suatu proses
pengembangan kemampuan kearah yang diinginkan oleh organisasi bersangkutan.
Sedangkan pelatihan (training) merupakan bagian kemampuan / keterampilan khusus
/sekelompok orang.[14]
Arah pendidikan di organisasi dakwah adalah untuk membentuk kredibilitas
,sedangkan pelatihan untuk mencapai kapabilitas bagi penyampai dakwah (da'i)
Pendidikan pada umumnya berhubungan
dengan mempersiapkan calon da'i yang di perlukan oleh suatu organisasi dakwah,
sedangkan latihan lebih berkaitan dengan peningkatan kemampuan /keterampilan
kader dakwah yang sudah menduduki suatu pekerjaan tugas tertentu.
Pendidikan dan pelatihan dalam suatu
organisasi dakwah sebagai upaya pengembangan sumber daya manusia (da'i) adalah
suatu proses yang harus terus menerus untuk mengantisipasi perubahan -
perubahan yang terjadi di luar organisasi dakwah. Adapun tahap-tahap dalam
proses pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan adalah sebagai berikut:
1.
Menganalisa kebutuhan pendidikan
dan pelatihan [15]
a)
Analisis organisasi yang pada
intinya menyangkut pertanyaan di mana atau bagaimana didalam suatu organisasi
dakwah ada personil yang memerlukan pendidikan.
b)
Analisis aktivitas,yang antara
lain menjawab pertanyaan: apa yang harus diajarkan atau di berikan dalam diklat
agar peserta mampu melakukan aktivitas secara efektif.
c)
Analisis pribadi, yang menjawab
pertanyaan: Siapa yang membutuhkan diklat dan bentuknya apa.Adanya penilaian
dari masing-masing pribadi mengenai
kemampuan dari tiap individu.
2.
Menetapkan tujuan
Tujuan
pendidikan dan pelatihan pada dasarnya adalah perumusan kemampuan yang
diharapkan dari diklat tersebut. Karena tujuan diklat adalah perubahan perilaku
(kemampuan), maka tujuan diklat di rumuskan dalam bentuk perilaku (behavior
objectives).[16]
Misalnya setelah mengikuti diklat diharapkan peserta dapat melakukan ceramah
secara benar. Sedangakan menurut Abdurrrahman Saleh Abdullah, klasifikasi
tujuan pendidikan adalah:
a.
Tujuan pendidikan jasmani (Ahdhaf
al-Jismiah), yaitu mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas
khalifah di bumi, melalui keterampilan- keterampilan fisik.
b.
Tujuan pendidikan Ruhani (Ahdhaf
al-Ruhaniyah), meningkatkan jiwa jiwa kesetiaan yang hanya kepada Allah dan
melaksanakan moralitas islami yang diteladani oleh nabi SAW dengan berdasarkan
cita-cita ideal dalam Al-Quran.
c.
Tujuan pendidikan Akal (Ahdhaf
al-Aqliyah),pengarahan intelegensia untuk menemukan kebenaran dan
sebab-sebabnya tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan-pesan ayat yang
membawa iman kepada Allah dan menemukan pesan-pesan ayat yang membawa iman
kepada pencipta.
d.
Pendidikan sosial (Ahdhaf
al-Ijtima'iyah), guna membentuk kepribadian yang utuh dalam pengaktualisasian
di masyarakat.[17]
3. Pengembangan
Materi
Dari tujuan–tujuan yang telah di
rumuskan akan di ketahui kemampuan–kemampuan apa yang harus di berikan dalam
diklat. Sehingga selanjutnya dapat diidentifikasi materi yang di berikan dalam
diklat tersebut.
4. Evaluasi
Setelah berakhirnya diklat, dilakuakan
evaluasi. Yang perlu dievaluasi adalah peoses penyelenggaraan diklat dan juga
evaluasi terhadap hasil sejauh mana materi yang di berikan dapat di kuasai oleh
peserta diklat.
3.
Metodologi Pengembangan Sumber
Daya Manusia
Dalam buku Pengembangan sumber daya manusia, Soekidjo
Notoatmodjo mengemukakan bahwa pada garis besarnya ada dua macam metode yang di
gunakan dalam mengembangkan sumber daya manusia yaitu:[18]
a)
Metode "Off The Job Site"
(di luar kegiatan)
Pengembangan sumber daya manusia melalui diklat menggunakan metode ini
berarti peserta didik keluar sementara dari kegiatannya, untuk mengikuti
diklat. Pada umumnya metode ini mempunyai dua macam tehnik, yaitu :
a.1 Tehnik Presentasi Informasi
Yang dimaksud dengan tehnik ini adalah menyajikan informasi
yang tujuannya mengintroduksikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan baru
kepada para paserta didik. Harapan akhir dari proses pengetahuan, sikap dan
keterampilan peserta diadopsi oleh peserta diklat. Termasuk dalam tehnik ini
antara lain : ceramah biasa, diskusi, tehnik pemodelan perilaku dan tehnik
magang.
a.2 Tehnik Simulasi adalah peniruan karakteristik atau
perilaku tertentu dari dunia riil sedemikian rupa sehingga, para peserta didik
dapat merealisasikan seperti keadaan sebenarnya .
Metode-Metode simulasi ini mencakup:
imulator alat -alat, studi kasus, permainan peran , tehnik di dalam keranjang.
b)
Metode "On The Job Site” (Di
dalam Kegiatan)
Pelatihan ini berbentuk penugasan peswerta didik baru kepada
yang telahberpengalaman (senior). Hal ini berarti, kepada peserta didik yang
sudah berpengalaman untuk membimbing atau megajarkan kepada yang baru .
Selanjutnya, Edwin B. Fillopo,
mengemukakan ada empat metode dasar yang digunakan dalam Pengembangan sumber
daya manusia melalui pelatihan,[19]yaitu:
1)
Pelatihan di tempat kerja (On The
Job Training) keberhasilan pelatian tergantung para instruktur dalam
menjelaskan seperangkat prosedur untuk melaksanakan tugas tertentu yang
dikembangkan dari pengalaman dan penelitian.
2)
Sekolah Vestibul
Yaitu sekolah yang dibentuk untuk
mengatasi masalah pelatihan di tempat kerja untuk kebutuhan fungsional khusus
untuk para eksekutif dibidang personel manajemen dalam pengembangan diri sampai
proses produksi tertentu.
3)
Magang
Dirancang untuk keterampilan yang lebih tinggi yang
mengutamakan pengetahuan dalam pelaksanaan suatu keterampilan atau serangkaian
pekerjaan yang sangat berhubungan.
4)
Kursus-Kursus
Pelatihan ditujukan untuk megawasi keahlian dibidang
tertentu, dilakukan dalam waktu yang singkat, menutamakan sistem yang pratis
dan keberhasilannya memerlukan peran aktif peserta didik.
[1]
Toha Yahya Umar , Ilmu Dakwah , Jakarta
, Wijaya , hal. 1
[2]Nasarudin
Latif, Teori dan Praktek Dakwah Islamiah, Firma Dara, Jakarta hal. 11.
[3].M.Masyhur
Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, Amien Pres Yogyakarta ,1997 hal. 70
[4]
Cahyadi Takariawan, Yang Tegar di Jalan Dakwah, Tiga Lentera Utama, Yogyakarta , 2003 hal. 32
[5]
Hamzah Ya’cub, Publisistik Islam,
Diponegoro, Bandung
1981 hal. 14
[6]
M.Natsir, Fiqhud Dakwah, Media Dakwah, 2000, hal. 36
[7]
Mashur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral. Hal.. 28
[8]
Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta 1983 hal. 137
[9]Sartono
Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Gramedia
Pustaka Umum, Jakarta
1993 hal. 162-163
[10]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta, Balai Pustaka, 1988) hal. 86
[11]
Soekidjo Notoatmojo, Pengembangan Sumber Daya Manusia PT.Rineka Cipta, Jakarta hal..3
[12]
T.Hani Handoko, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, BPFE
Yogyakarta, 1989, hal. 117
[13]
Tadjudin Noer Efendi ibid hal 5
[14] Agus
Tulus, Managemen Sumber Daya Manusia, Gramedia Pustaka Utama Jakarta
1992 hal. 10
[15]
Wexley dan Yukl, 1977, p.283, dikutip dari M.As'ad Psikologi Industri (Seri
Ilmu Sumber Daya Manusia) , (Yogyakarta :Liberty, 1987 ), hal. 70
[16]
Les Donaldson dan Edward E.Scannel, Pengembangan Sumber Daya Manusia (Panduan
Bagi Pelatih Pemula) Terjemahan, Jakarta Gaya Media Pramana 1993 hal. 64
[17]
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Triganda karya, Bandung , 1993, hal. 150
[18]
Soekidjo Notoatmodjo loc.sit hal..33-36
[19]
Bashir Barthos, Manajemen Sumber Daya Manusia: Suatu Pendekatan Makro,
Bumi Aksara, Jakarta ,
hal. 95
Saturday, 7 November 2015
FENOMENA PLURALISME KEAGAMAAN
Fenomena Pluralisme Keagamaan Dewasa Ini
“Perang-perang agama cenderung lebih ganas. Jika orang
memperebutkan suatu daerah untuk kepentingan ekonomi, mereka mencapai suatu
titik di mana pertempuran dianggap merugikan dibanding biayanya dan kemudian
berkompromi. Jika penyebabnya adalah agama, kompromi dan perdamaian dianggap
suatu kejahatan.” (Roger Shinn, profesor etika sosial, Union Theological
Semanary, New York )
Jika mempertimbangkan fenomena pluralisme agama, maka
akan didapati fakta-fakta yang menyedihkan. Di Bosnia, umat-umat Ortodoks,
Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan umat
Protestan saling bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim, umat
Yahudi, Kristen, dan Islam saling menggunakan bahasa kekerasan dalam
berkomunikasi dan berinteraksi di antara sesama mereka. Di Sudan, senjata
adalah alat komunikasi antar umat beragama Islam dan Kristen. Di Kashmir, pengikut
agama Hindu dan umat Muhammad saling bersitegang. Di Sri Lanka, kaum Budha dan
kelompok Hindu bercakar-cakaran. Di Armenia-Azerbaijan, umat Kristen dan Islam
saling berlomba untuk berkuasa dengan cara destruktif. Atau yang tampak
langsung dihadapan kita saat ini adalah peperangan yang terjadi antara
orang-orang sebangsa, bersaudara namun beda agama; Kristen dan Islam di ambon,
Maluku Utara, saling berperang yang hingga saat ini belum ada titik terang
menuju perdamaian.
Apakah manusia beragama untuk berkonflik? Pertanyaan ini
selalu muncul setiap kali terjadi peretentangan, kekerasan, dan kerusuhan
sosial yang melibatkan komunitas agama. Ada
nuansa kegetiran dalam pertanyaan itu, karena seringnya agama tampil dalam
wajah yang paradoks. Jonathan Swift (1667-1745) menyatakan bahwa:
“Kita mempunyai cukup banyak agama untuk membuat kita
membenci, tetapi tidak cukup untuk membuat kita saling mengasihi”[1]
Agama sebagai tempat mencari ketenangan dan motivasi,
sepertinya hanya menjadi semacam lembaga-lembaga militer tidak resmi yang
setiap saat siap melakukan penekanan (pressure) pada yang lainnya. Wajah
agama sebagai penganjur kedamaian menjadi semakin kabar oleh ketidakpahaman
manusia untuk hidup secara damai, bersanding dengan saudara yang lain. Untuk
itu Klause Meine[2], salah
seorang pentolan group musik terkenal asal Jerman-Scorpions, dalam salah satu
syair lagunya mengatakan:
“Do you
ever ask your self there is heaven in the sky. Why can’t we get it right. Cause
we all live under the some sun we all walk under the some moon. Then why, why
can’t we live as one” (Gold Albums)
Agama sebagai sarana pendekatan diri kepada Tuhan dan
alam semesta, seringkali tampil dalam suatu komunitas yang menyeramkan dan
menakutkan terhadap komunitas agama lain. Seperti yang terjadi di Ambon maupun
Maluku Utara saat ini, setelah terjadinya serangkaian kekerasan dan peperangan,
situasi psikologis dan sosiologis keagamaan masyarakat mulai diliputi perasaan
saling curiga, tidak nyaman, dan tidak aman. Alhasil, situasi konflik kini paling
tidak mulai menyelimuti pada sebagian besar pemeluk agama. Dan yang lebih
menarik lagi seperti yang diungkapkan Syamsul Arifin dalam Merambah
Jalan Baru Dalam Beragama, bahwa karena wilayah konflik itu berada
dalam ranah agama, yang selalu dipandang sebagai “problem of ultimate
concern”, suatu problem yang berhubungan dengan kepentingan mutlak, maka
biasanya konflik akan melahirkan trauma yang cukup mendalam, dan karena itu
akan membentuk jaringan konflik.
Berbicara tentang timbulnya pertentangan dan perseteruan
antar agama yang berbeda, paling tidak bisa disebabkan oleh beberapa sebab yang
begitu pelik, yang antara satu dan yang lainnya saling berkaitan. Sebab-sebab
itu sebagian berasal dari umat itu sendiri (faktor intern), dan ada yang
berasal dari luar lingkungannya (faktor ekstern)
1.
Eksklusifisme
Dalam sejarah, telah lama berkembang doktrin mengenai
eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain
sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai
saat sekarang ini, seperti termuat dalam tidak hanya dalam buku-buku polemis,
tetapi juga buku ilmiah.
Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer, misalnya, (Republika,
24 Juni 2000 dalam Opini) masih menarik untuk diungkapkan. Katanya, “Other
religions are false paths, that mislead their followers” (Agama lain adalah
jalan yang sesat, dan menyesatkan pengikutnya). Ungkapan tersebut memang sangat
keras dan langsung tergambar segi keeksklusivitasnya. Dan ia menganggap bahwa
kitab suci membenarkan hal tersebut.
Pandangan eksklusif seperti itu menurut Budhy Munawar Rachman
seorang staf pengajar Universitas Paramadina (2000), memang bisa
dilegitimasikan, atau tepatnya dicarikan legitimasinya lewat kitab suci. Tetapi
itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sebagai contoh dalam tradisi katolik, sejak
konsili Vatikan ii (1965), sudah jelaslah bahwa pandangan menjadi sangat
terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama
non-kristiani.
Dalam Theological Investigations seperti
dikutip Budhy Munawar Rahman (2000) bahwa Karl Rahner, teolog besar yang
menafsirkan Konsili Vatikan II, merumuskan teologi inklusifisnya yang begitu
terbuka, dengan mengatakan, “Other religions are emplicit form of our own
religion” (Agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dari agama kita). Dalam
pemikiran Islam, masalah ini juga terjadi secara ekspresif. Walaupun dalam
Islam sejak awal sudah ada konsep “ahl al-kitab” yang memberi kedudukan
kurang lebih setara pada kelompok non-Muslim, dan ini dibenarkan oleh al-qur’an
sendiri, tetapi selalu saja ada “interpretation away”, yaitu suatu cara
penafsiran yang pada akhirnya menafsirkan sesuatu tidak sesuai lagi dengan
bunyi tekstual Kitab Suci, sehingga ayat yang inklusif misalnya malah dibaca
secara eksklusif.
Dari sinilah paling tidak bisa diberikan pemahaman kepada
umat tentang perlunya memahami arti pluralisme agama yang didalamnya juga
menyadari adanya pluralisme teolog. Secara teologis, umat manusia dijadikan
Allah dalam satu kesatuan dan kemudian berbeda-beda.
Dalam kesadaran “millah Ibrahim” (Abrahamic religions)
sesungguhnya cermin adanya kesatuan “ummatiyah” yang didasarkan
kepatuhan kepada Allah. Namun dengan
adanya sikap eksklusif, yang cenderung menutup diri dari kenyataan yang ada,
jelas sangat merugikan dan merupakan salah satu penyebab adanya konflik yang
terjadi. Pemimpin sufi seperti Jalaluddin Rumi, misalnya melukiskan pandangan
pluralismenya dengan menggunakan gambaran sebagai berikut:
“Meskipun
ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa
ada banyakjalan menuju ka’bah? … oleh karena itu apabila yang anda
pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang
anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu
tujuan.”
Terdapat sebuah ayat dalam al-Qur’an yang menarik untuk
dikaji, yaitu surat
al-Baqarah ayat 62
ان
الذين امنوا والذين هادوا والنصرى والصابئين من امن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا
فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون (البقرة:62)
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang
Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang shabiin, siapa
saja diantara mereka beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh,
mereka akan menerima pahala dari Tuhan, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka,
dan tiada pula mereka bersedih hati”
[3]
Alwi Shihab dalam Islam Inklusif[4]
menyatakan bahwa pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok; alladzina
aamanuu (menunjuk kepada umat Islam), alladziina haaduu (umat
Yahudi), al-nashaaraa (umat Kristen), dan al-shaabi’iin. Para pakar tafsir menyadari kesulitan menafsirkan ayat
ini, mengingat ayat-ayat lain menunjukkan hanya Islamlah yang dijanjikan
keselamatannya oleh Allah. Al-Thabari, ahli tafsir kenamaan abad ke sepuluh
yang banyak memberikan ispirasi buat ahli-ahli tafsir selanjutnya, berpendapat
bahwa jaminan Allah tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman (man aamana),
percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk,
beriman kepada Allah dan Muhammad Saw. Atau, dengan kata lain, yang dimaksudkan
dalam ayat ini ialah mereka yang telah memeluk Islam. Pendapat Al-Thabari
tersebut mendapat dukungan dari Fakhruddin Al-Razi, dan Al-Zamakhsyari.[5]
Lain halnya dengan Muhammad Abduh, ia berpendapat bahwa
syarat pertama, yakni beriman kepada Allah, tidak harus dibatasi dengan
keimanan menurut cara Islam. Selanjutnya, Rasyid Ridha, murid Abduh, ikut
memperkuat pendapat gurunya. Ia mengakui bahwa keimanan sejati kepada Allah
dapat juga ditemukan di luar Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw.
Al-Thabathabai lain pula penafsirannya. Baginya, Allah tidak memandang pada
agama tertentu, tapi yang penting adalah substansi dan esensi yang terkandung
dalam agama itu. Selama tiga syarat dalam ayat tersebut terpenuhi, janji Tuhan
itu akan terlaksana.[6]
[1]
Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah,
(New York: Internasional) Bible Students Assosiation, 1991), hal. 14
[2]Arifin,
Syamsul, Merambah Jalan Baru dalam Beragama, (Yogyakarta :
ITTIBA Pers dan UMM, Cet. I, 2000)
[3]Al
Qur’an dan terjemah, Depag, Al Baqarah
(2) : 62, hal. 19
[4]Alwi
Shihab, Islam Iklusif, (Bandung: Mizan 1997), hal. 79
[5]Shihab,
M. Quraish Wawasan ….., Op. Cit., hal.
[6]Ibid.
SEJARAH PERKEMBANGAN HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Sejarah Perkembangan Hubungan Antar Agama
Beda pendapat merupakan ketentuan alam (order of
nature) atau dalam bahasa al-Qur’an, “sunatullah”. Perbedaan
pandangan, keyakinan, dan agama, merupakan fenomena alamiah. Barang siapa
mengingkari adanya perbedaan berarti mengingkari sunatullah,
ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan.
Perbedaan yang ada, di satu sisi akan menjadi suatu hal
yang menguntungkan bagi manusia. Dengan adanya perbedaan seseorang dapat
merasakan berfariasinya hidup ini. Kekurangan yang dimiliki seseorang ada pada
kelebihan yang dimiliki orang lain demikian pula sebaliknya. Tanpa adanya
perbedaan tidak akan mungkin ada kemajuan. Namun di sisi lain tidak dapat
dipungkiri bahwa perbedaan tersebut kadang meruncing sampai ke titik perseteruan.
Untuk mempertahankan posisi masing-masing, tidak jarang agama atau interpretasi
teks-teks keagamaan dijadikan sarana legitimasi.
Agama sebagai pedoman keselamatan hidup dipahami secara
sempit sehingga tidak heran ada asumsi tentang bolehnya berbuat kekerasan dan
permusuhan dengan umat dari agama lain karena itu merupakan perbuatan suci. Di
sinilah paling tidak akan tampak betapa perluanya mengetahui perbedaan
sekaligus persamaan yang ada pada agama lain untuk kemudian menjadikannya
sebagai pengetahuan yang sangat berguna.
1.
Asal Mula Agama
Dalam
Watch Tower
Bible And Tract Society of Pennsylvana disinggung bahwa:
“Sejarah agama
itu pada hakikatnya sudah setua sejarah itu sendiri. Demikianlah yang dikatakan
oleh para arkeolog dan antropolog kepada kita. Bahkan dalam peradaban yang
paling “primitif”, yaitu yang tidak berkembang, ditemukan bukti peribadatan
dalam bentuk tertentu. Sebenarnya The New Encyclopedia Britannica
mengatakan bahwa, “sejauh yang telah ditemukan para sarjana, tidak pernah ada
orang, dimanapun, kapanpun, yang sama sekali tidak religius.”[1]
Pertanyaan-pertanyaan timbul dalam pikiran. Dari mana semua
agama muncul? Karena ada perbedaan maupun persamaan yang mencolok, apakah
agama-agama ini mulai secara terpisah, atau berkembang dari satu sumber. Atau
dapat juga bertanya: Mengapa agama ada? dan bagaimana ia bisa muncul? Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan ini benar-benar penting bagi semua orang yang
berminat mengetahui kebenaran mengenai agama.
Untuk apa ada agama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
rasanya tidak terlalu sulit, kalau agama dipahami sebagai pedoman hidup bagi
manusia. Artinya, manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan
sesamanya memang membutuhkan aturan yang dapat mengatur hidup mereka. Aturan
itu kesepakatan yang harus ditaati
seluruh komponen masyarakat tidak ada kecuali, dan harus dipatuhi semua pihak.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendirian, karena ada sekian
banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhinya sendiri.
M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an menganalogkan
hidup manusia sebagai lalu lintas, masing-masing ingin berjalan dengan selamat
sekaligus cepat sampai tujuan. Namun karena kepentingan mereka berlain-lainan,
maka apabila tidak ada peraturan lalu lintas kehidupan, pasti akan terjadi
benturan dan tabrakan.[2]
Dengan demikian manusia membutuhkan peraturan demi lancarnya
lalu lintas kehidupannya. Manusia membutuhkan rambu-rambu lalu lintas yangakan
memberinya petunjuk seperti kapan harus berhenti (lampu merah), kapan hati-hati
(lampu kuning), dan lampu hijau (silakan jalan), dan sebaginya. Siapa yang
mengatur lalu lintas kehidupan itu? Manusiakah? Paling tidak dalam pengaturan
di atas, manusia mempunyai dua kelemaham: pertama keterbatasan
pengetahuannya dan kedua sifat egoisme (ingin mendahulukan kepentingan
diri sendiri). Kalau demikian yang seharusnya mengatur lalu lintas kehidupan
adalah Dia yang paling mengetahui sekaligus yang tidak mempunyai kepentingan
sedikitpun. Yang dimaksud adalah Allah, Tuhan Yang Maha Tahu.
Allah, yang menetapkan peraturan-peraturan tersebut, baik
secara umum, berupa nilai-nilai, maupun secara rinci khususnya bila perincian
petunjuk itu tidak dapat dijangkau oleh penalaran manusia. Peraturan-peraturan
itulah yang kemudian dinamakan agama.
Mengapa harus beragama? William James seperti dikutip M.
Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1996) menyatakan: “Selama
manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama”
(berhubungan dengan Tuhan). Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan
salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama. Jadi dorongan yang ada dalam
diri manusia itu tidak lain karena adanya perasaan membutuhkan suatu hal di
luar dirinya yang dipercayai dan diyakini sebagai sesuatu yang Maha.[3]
Jika menyangkut asal-usul agama, nama-nama seperti Muhammad,
Yesus, Budha, dan Kong Hu Chu timbul dalam pikiran orang-orang dari berbagai
agama. Dalam hampir setiap agama, didapati seorang tokoh utama yang diakui
sebagai pendiri “iman yang benar”. Beberapa diantaranya pembaharu yang
menentang penyembahan berhala. Yang lainnya filsuf moral. Yang lain lagi
pahlawan-pahlawan rakyat yang tidak mementingkan diri sendiri. Banyak dari
mereka yang meninggalkan karya tulis maupun ucapan-ucapan yang menjadi dasar
suatu agama. Bahkan dalam buku Pencarian Manusia Akan Allah dinyatakan
bahwa lambat lain apa yang mereka katakan dan lakukan dikembangkan, dibumbui,
dan diberi kesan mistik. Beberapa dari para pemimpin ini bahkan dipuja.
Walaupun pribadi-pribadi ini dianggap pendiri agama-agama besar,
perlu diperhatikan bahwa mereka bukanlah pencipta dari agama. Lebih lanjut
dinyatakan dalam Pencarian Manusia Akan Allah bahwa dalam kebanyakan
kasus, ajaran mereka berkembang dari gagasan-gagasan agama yang sudah ada,
meskipun kebanyakan pendiri mengaku mendapat “ilham ilahi” sebagai
sumber mereka. Atau mereka mengganti dan mengubah sistem agama yang sudah ada
yang dalam satu atau lain cara tidak memuaskan lagi. [4]
Agama, sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai
keselamatan dan kediaman, menurut al-Qur’an sudah ada sejak manusia pertama
Adam as. Walaupun sistem ataupun ajaran agama yang ada masih sangat sederhana.
Karena pada dasarnya risalah agama selalu mengalami perkembangan sampai risalah
terakhir, Islam. Dikatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah ayat 5:
اليوم
اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الاسلام دينا (المائدة: 5)
Artinya:
“Pada hari ini telah
kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan
telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu”.
[5]
Agama sudah ada sejak Nabi Adam adalah berdasarkan ayat
al-Qur’an dalam surat
al-Baqarah ayat 37:
فتلقى آدم من ربه
كلمات فتاب عليه (البقرة: 37)
Artinya:
“Kemudian Adam menerima
beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya”. [6]
Tentang beberapa kalimat (ajaran-ajaran) dari Tuhan yang
diterima oleh Adam sebagai ahli tafsir mengartikan dengan kata-kata bertaubat
Artinya bahwa Adam telah menerima pedoman hidup berupa kalimat taubat, jadi
agama sudah ada saat itu karena adanya hubungan dari Khaliq dengan makhluk-Nya.
Ayat di atas diperkuat oleh ayat berikutnya:
قلنا
اهبطوا منها جميعا فإما يأتينكم منى هدى فمن تبع هداي فمن تبع هداي فلا خوف عليهم
ولا هم يحزنون (البقرة: 38)
Artinya:
“Kami
berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang
petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya
tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. [7]
Apa yang
diperlihatkan oleh begitu banyak ragam pengabdian agama? Yaitu bahwa selama
ribuan tahun manusia mempunyai kebutuhan dan kerinduan akan hal-hal rohani. Manusia
hidup dengan pencobaan dan kesulitannya, keraguan dan pertanyaan-pertanyaannya,
termasuk teka-teki mengenai kematian. Perasaan religius diungkapkan dalam
banyak cara sewaktu orang berpaling kepada Allah atau Tuhan-Tuhan mereka,
memohonkan berkat dan penghiburan.
2.
Persinggungan Antar Agama
Interaksi antar agama berbeda telah terjadi sejak beberapa
abad yang telah lalu. Dan selama berabad-abad sejarah interaksi antar umat
beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalil demi
mencapai ridha Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari
Yang Maha Kuasa.
Kalau ditelusuri, sebenarnya agama-agama yang ada saat ini
adalah berasal dari induk yang sama yaitu agama tauhid. Hal tersebut
berdasarkan kenyataan historis, bahwa Ibrahim (Abraham) menurut keimanan
Yahudi, Nasrani, dan Islam diakui sebagai bapak agama. Ketiga agama samawi
tersebut akarnya adalah dari Nabi Ibrahim as.
Kesamaan tersebut dapat dilihat dari sebagian cara ibadah
mereka yang menurut tuntunan aslinya mengenal istilah sujud bagi yang
dipujanya. Islam, Kristen, Budha, Yahudi, Nasrani mengenal itu sebagai
rangkaian ibadah mereka. Dalam Pencarian Manusia Akan Allah dinyatakan
bahwa, dari luar, banyak agama yang dewasa ini tampaknya sangat berbeda satu
sama lain. Namun jika, jika kita menanggalkan hal-hal yang hanya merupakan
bumbu-bumbu dan yang ditambahkan dikemudian hari, atau jika kita menyingkirkan
perbedaan-perbedaan akibat pengaruh iklim, bahasa keadaan tertentu dari negeri
asalnya, dan faktor-faktor lain, sungguh menakjubkan betapa serupanya
kebanyakan dari agama-agama tersebut.[8]
Memang banyak persamaan diantara agama tersebut disamping perbedaan yang sangat
menonjol, terutama masalah keimanan yang akhirnya mengalami perkembangan sesuai
pengalaman batinnya masing-masing.
Adanya persamaan-persamaan tersebut ternyata tidak cukup
membuat mereka untuk tidak bersitegang antara yang satu dengan yang lainnya.
Dapat dilihat tentang bagaimana sikap permusuhan orang Yahudi terhadap Nasrani
yang begitu banyak menelan korban. Yesus (Isa al-Masih) dikejar-kejar dan akan
dibunuh karena sebagai utusan Tuhan dia ternyata bukan berasal dari Yahudi
(kebencian serupa juga terjadi pada diri nabi Muhammad Saw).
Dalam surat
al-Baqarah ayat 87 diceritakan tentang kebencian mereka terhadap para utusan
Allah dari kalangan Nasrani, yaitu:
ولقد آتينا موسى
الكتاب وقفينا من بعده بالرسل وآتينا عيسى ابن مريم البينات وأيدناه بروح القدس
افكلما جاءكم رسول بما لا تهوى انفسكم استكبرتم ففريقا كذبتم وفريقا تقتلون
(البقرة: 87)
Artinya:
“Dan sesungguhnya
Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah
menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami
berikan bukti-bukti kebenaran (mu`jizat) kepada `Isa putera Maryam dan Kami
memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul
membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu
angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang
(yang lain) kamu bunuh?” [9]
Petentangan antara Yahudi dan Nasrani tergambar dalam
al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 113:
وقالت اليهود ليست النصرى على شيء وقالت
النصرى ليست اليهود على شيء وهم يتلون الكتاب كذلك قال اللذين لا يعلمون مثل قولهم
فالله يحكم بينهم يوم القيامة فيما كانوا فيه يختلفون (البقرة: 113)
Artinya:
“Dan
orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu
pegangan”, dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak
mempunyai sesuatu pegangan,”padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab.
Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan
mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat,
tentang apa-apa yang mereka perselisihkan.” [10]
Di dalam surat ar-Ruum ayat 2-5 diceritakan hubungan
emosional antara umat Islam Makkah dengan Umat Nasrani Romawi pernah terjadi, saat tentara Romawi
dikalahkan oleh tentara Persia (Majusi), umat Islam merasa sedih dan terpukul.
Namun tatkala tentara Romawi dapat memenangkan peperangan, umat Islam Makkah
merasa senang. Mengapa demikian? Hal itu karena adanya ikatan emosional sebagai
sesama penganut agama Tauhid.
Asal-usul Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah satu. Agama
Yahudi dan Kristen adalah dari Nabi Ibrahim as. dan Sarah yang menurunkan garis
keturunan Nabi Ishaq as. sampai pada Nabi Isa as. Sedangkan Siti Hajar
melahirkan garis keturunan Nabi Ismail as. sampai pada Nabi Muhammad Saw.
Sebagai pembawa ajaran dan tradisi agama Islam.[11]
Namun hubungan umat Islam dan Kristen menjadi rusak dengan
meletusnya perang salib. Perang yang menghabiskan kerugian materi yang tidak
sedikit. perang yang membuat dendam kuat mengakar dihati sanubari generasi
kedua agama besar tersebut. Meski sebenarnya banyak orang tidak mengetahui
siapa yang memulai peperangan itu, mengapa berperang, atau bagimana peperangan
itu dimenangkan.[12] Warisan
perang salib ini tergantung pada tempat seseorang berpijak dalam sejarah. Kaum
Kristen dan Muslim bersaing dalam visi dan kepentingan, serta masing-masing
senantiasa ingat pada komitmennya terhadap agama dan kisah-kisah kepahlawanan
para nabi terdahulu melawan kaum “kafir”.
Itu merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri bahwa
ternyata hubungan antar agama lebih banyak diwarnai konflik. Konflik anta agama
merupakan konflik yang sangat rumit dan sulit mengatasinya tanpa dilandasi
kesadaran mencari titik temu kreatif bagi pencipta sebuah kedamaian yang
hakiki.
[1]Watch Tower
and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York:
International Bible Students Association, 1991), hal. 19.
[2]Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal.
211.
[3]Ibid.
[4]Watch
Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New
York: International Bible Students Association, 1990) hal. 20
[5] Al
Qur’an dan Terjemahnya, Depag, Al Maidah (5), hal. 158.
[6] Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 37, hal. 15.
[7] Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag,
Al-Baqarah, (2) : 38, hal. 15
[8]
Watch Tower and Tract Society of New York, Op. Cit., hal. 32
[9]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 87, hal. 24
[10]
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 113, hal. 30
[11] John L. Esposito, Bahaya
Hijau!, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1997, Cet. I) hal. 62
[12] Ibid.,
hal. 62.
[1]Watch Tower
and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York:
International Bible Students Association, 1991), hal. 19.
[2]Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal.
211.
[3]Ibid.
[4]Watch
Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New
York: International Bible Students Association, 1990) hal. 20
[5] Al
Qur’an dan Terjemahnya, Depag, Al Maidah (5), hal. 158.
[6] Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 37, hal. 15.
[7] Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag,
Al-Baqarah, (2) : 38, hal. 15
[8]
Watch Tower and Tract Society of New York, Op. Cit., hal. 32
[9]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 87, hal. 24
[10]
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 113, hal. 30
[11] John L. Esposito, Bahaya
Hijau!, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1997, Cet. I) hal. 62
[12] Ibid.,
hal. 62.
Subscribe to:
Posts (Atom)