Saturday 7 November 2015

FENOMENA PLURALISME KEAGAMAAN

Fenomena Pluralisme Keagamaan Dewasa Ini

“Perang-perang agama cenderung lebih ganas. Jika orang memperebutkan suatu daerah untuk kepentingan ekonomi, mereka mencapai suatu titik di mana pertempuran dianggap merugikan dibanding biayanya dan kemudian berkompromi. Jika penyebabnya adalah agama, kompromi dan perdamaian dianggap suatu kejahatan.” (Roger Shinn, profesor etika sosial, Union Theological Semanary, New York)
Jika mempertimbangkan fenomena pluralisme agama, maka akan didapati fakta-fakta yang menyedihkan. Di Bosnia, umat-umat Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan umat Protestan saling bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim, umat Yahudi, Kristen, dan Islam saling menggunakan bahasa kekerasan dalam berkomunikasi dan berinteraksi di antara sesama mereka. Di Sudan, senjata adalah alat komunikasi antar umat beragama Islam dan Kristen. Di Kashmir, pengikut agama Hindu dan umat Muhammad saling bersitegang. Di Sri Lanka, kaum Budha dan kelompok Hindu bercakar-cakaran. Di Armenia-Azerbaijan, umat Kristen dan Islam saling berlomba untuk berkuasa dengan cara destruktif. Atau yang tampak langsung dihadapan kita saat ini adalah peperangan yang terjadi antara orang-orang sebangsa, bersaudara namun beda agama; Kristen dan Islam di ambon, Maluku Utara, saling berperang yang hingga saat ini belum ada titik terang menuju perdamaian.
Apakah manusia beragama untuk berkonflik? Pertanyaan ini selalu muncul setiap kali terjadi peretentangan, kekerasan, dan kerusuhan sosial yang melibatkan komunitas agama. Ada nuansa kegetiran dalam pertanyaan itu, karena seringnya agama tampil dalam wajah yang paradoks. Jonathan Swift (1667-1745) menyatakan bahwa:
“Kita mempunyai cukup banyak agama untuk membuat kita membenci, tetapi tidak cukup untuk membuat kita saling mengasihi”[1]
Agama sebagai tempat mencari ketenangan dan motivasi, sepertinya hanya menjadi semacam lembaga-lembaga militer tidak resmi yang setiap saat siap melakukan penekanan (pressure) pada yang lainnya. Wajah agama sebagai penganjur kedamaian menjadi semakin kabar oleh ketidakpahaman manusia untuk hidup secara damai, bersanding dengan saudara yang lain. Untuk itu Klause Meine[2], salah seorang pentolan group musik terkenal asal Jerman-Scorpions, dalam salah satu syair lagunya mengatakan:
“Do you ever ask your self there is heaven in the sky. Why can’t we get it right. Cause we all live under the some sun we all walk under the some moon. Then why, why can’t we live as one” (Gold Albums)

Agama sebagai sarana pendekatan diri kepada Tuhan dan alam semesta, seringkali tampil dalam suatu komunitas yang menyeramkan dan menakutkan terhadap komunitas agama lain. Seperti yang terjadi di Ambon maupun Maluku Utara saat ini, setelah terjadinya serangkaian kekerasan dan peperangan, situasi psikologis dan sosiologis keagamaan masyarakat mulai diliputi perasaan saling curiga, tidak nyaman, dan tidak aman. Alhasil, situasi konflik kini paling tidak mulai menyelimuti pada sebagian besar pemeluk agama. Dan yang lebih menarik lagi seperti yang diungkapkan Syamsul Arifin dalam Merambah Jalan Baru Dalam Beragama, bahwa karena wilayah konflik itu berada dalam ranah agama, yang selalu dipandang sebagai “problem of ultimate concern”, suatu problem yang berhubungan dengan kepentingan mutlak, maka biasanya konflik akan melahirkan trauma yang cukup mendalam, dan karena itu akan membentuk jaringan konflik.
Berbicara tentang timbulnya pertentangan dan perseteruan antar agama yang berbeda, paling tidak bisa disebabkan oleh beberapa sebab yang begitu pelik, yang antara satu dan yang lainnya saling berkaitan. Sebab-sebab itu sebagian berasal dari umat itu sendiri (faktor intern), dan ada yang berasal dari luar lingkungannya (faktor ekstern)
1.      Eksklusifisme
Dalam sejarah, telah lama berkembang doktrin mengenai eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai saat sekarang ini, seperti termuat dalam tidak hanya dalam buku-buku polemis, tetapi juga buku ilmiah.
Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer, misalnya, (Republika, 24 Juni 2000 dalam Opini) masih menarik untuk diungkapkan. Katanya, “Other religions are false paths, that mislead their followers” (Agama lain adalah jalan yang sesat, dan menyesatkan pengikutnya). Ungkapan tersebut memang sangat keras dan langsung tergambar segi keeksklusivitasnya. Dan ia menganggap bahwa kitab suci membenarkan hal tersebut.
Pandangan eksklusif seperti itu menurut Budhy Munawar Rachman seorang staf pengajar Universitas Paramadina (2000), memang bisa dilegitimasikan, atau tepatnya dicarikan legitimasinya lewat kitab suci. Tetapi itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sebagai contoh dalam tradisi katolik, sejak konsili Vatikan ii (1965), sudah jelaslah bahwa pandangan menjadi sangat terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama non-kristiani.
Dalam Theological Investigations seperti dikutip Budhy Munawar Rahman (2000) bahwa Karl Rahner, teolog besar yang menafsirkan Konsili Vatikan II, merumuskan teologi inklusifisnya yang begitu terbuka, dengan mengatakan, “Other religions are emplicit form of our own religion” (Agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dari agama kita). Dalam pemikiran Islam, masalah ini juga terjadi secara ekspresif. Walaupun dalam Islam sejak awal sudah ada konsep “ahl al-kitab” yang memberi kedudukan kurang lebih setara pada kelompok non-Muslim, dan ini dibenarkan oleh al-qur’an sendiri, tetapi selalu saja ada “interpretation away”, yaitu suatu cara penafsiran yang pada akhirnya menafsirkan sesuatu tidak sesuai lagi dengan bunyi tekstual Kitab Suci, sehingga ayat yang inklusif misalnya malah dibaca secara eksklusif.
Dari sinilah paling tidak bisa diberikan pemahaman kepada umat tentang perlunya memahami arti pluralisme agama yang didalamnya juga menyadari adanya pluralisme teolog. Secara teologis, umat manusia dijadikan Allah dalam satu kesatuan dan kemudian berbeda-beda.
Dalam kesadaran “millah Ibrahim” (Abrahamic religions) sesungguhnya cermin adanya kesatuan “ummatiyah” yang didasarkan kepatuhan kepada Allah.  Namun dengan adanya sikap eksklusif, yang cenderung menutup diri dari kenyataan yang ada, jelas sangat merugikan dan merupakan salah satu penyebab adanya konflik yang terjadi. Pemimpin sufi seperti Jalaluddin Rumi, misalnya melukiskan pandangan pluralismenya dengan menggunakan gambaran sebagai berikut:
“Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyakjalan menuju ka’bah? … oleh karena itu apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat  tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan.”

Terdapat sebuah ayat dalam al-Qur’an yang menarik untuk dikaji, yaitu surat al-Baqarah ayat 62

ان الذين امنوا والذين هادوا والنصرى والصابئين من امن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون (البقرة:62)


Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang shabiin, siapa saja diantara mereka beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tiada pula mereka bersedih hati” [3]

Alwi Shihab dalam Islam Inklusif[4] menyatakan bahwa pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok; alladzina aamanuu (menunjuk kepada umat Islam), alladziina haaduu (umat Yahudi), al-nashaaraa (umat Kristen), dan al-shaabi’iin. Para pakar tafsir menyadari kesulitan menafsirkan ayat ini, mengingat ayat-ayat lain menunjukkan hanya Islamlah yang dijanjikan keselamatannya oleh Allah. Al-Thabari, ahli tafsir kenamaan abad ke sepuluh yang banyak memberikan ispirasi buat ahli-ahli tafsir selanjutnya, berpendapat bahwa jaminan Allah tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman (man aamana), percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk, beriman kepada Allah dan Muhammad Saw. Atau, dengan kata lain, yang dimaksudkan dalam ayat ini ialah mereka yang telah memeluk Islam. Pendapat Al-Thabari tersebut mendapat dukungan dari Fakhruddin Al-Razi, dan Al-Zamakhsyari.[5]
Lain halnya dengan Muhammad Abduh, ia berpendapat bahwa syarat pertama, yakni beriman kepada Allah, tidak harus dibatasi dengan keimanan menurut cara Islam. Selanjutnya, Rasyid Ridha, murid Abduh, ikut memperkuat pendapat gurunya. Ia mengakui bahwa keimanan sejati kepada Allah dapat juga ditemukan di luar Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Al-Thabathabai lain pula penafsirannya. Baginya, Allah tidak memandang pada agama tertentu, tapi yang penting adalah substansi dan esensi yang terkandung dalam agama itu. Selama tiga syarat dalam ayat tersebut terpenuhi, janji Tuhan itu akan terlaksana.[6]



[1] Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York: Internasional) Bible Students Assosiation, 1991), hal. 14
[2]Arifin, Syamsul, Merambah Jalan Baru dalam Beragama, (Yogyakarta: ITTIBA Pers dan UMM, Cet. I, 2000) 
[3]Al Qur’an dan terjemah, Depag,  Al Baqarah (2) : 62, hal. 19
[4]Alwi Shihab, Islam Iklusif, (Bandung: Mizan 1997), hal. 79
[5]Shihab, M. Quraish Wawasan ….., Op. Cit., hal.  
[6]Ibid.

No comments:

Post a Comment