Fenomena Pluralisme Keagamaan Dewasa Ini
“Perang-perang agama cenderung lebih ganas. Jika orang
memperebutkan suatu daerah untuk kepentingan ekonomi, mereka mencapai suatu
titik di mana pertempuran dianggap merugikan dibanding biayanya dan kemudian
berkompromi. Jika penyebabnya adalah agama, kompromi dan perdamaian dianggap
suatu kejahatan.” (Roger Shinn, profesor etika sosial, Union Theological
Semanary, New York )
Jika mempertimbangkan fenomena pluralisme agama, maka
akan didapati fakta-fakta yang menyedihkan. Di Bosnia, umat-umat Ortodoks,
Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan umat
Protestan saling bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim, umat
Yahudi, Kristen, dan Islam saling menggunakan bahasa kekerasan dalam
berkomunikasi dan berinteraksi di antara sesama mereka. Di Sudan, senjata
adalah alat komunikasi antar umat beragama Islam dan Kristen. Di Kashmir, pengikut
agama Hindu dan umat Muhammad saling bersitegang. Di Sri Lanka, kaum Budha dan
kelompok Hindu bercakar-cakaran. Di Armenia-Azerbaijan, umat Kristen dan Islam
saling berlomba untuk berkuasa dengan cara destruktif. Atau yang tampak
langsung dihadapan kita saat ini adalah peperangan yang terjadi antara
orang-orang sebangsa, bersaudara namun beda agama; Kristen dan Islam di ambon,
Maluku Utara, saling berperang yang hingga saat ini belum ada titik terang
menuju perdamaian.
Apakah manusia beragama untuk berkonflik? Pertanyaan ini
selalu muncul setiap kali terjadi peretentangan, kekerasan, dan kerusuhan
sosial yang melibatkan komunitas agama. Ada
nuansa kegetiran dalam pertanyaan itu, karena seringnya agama tampil dalam
wajah yang paradoks. Jonathan Swift (1667-1745) menyatakan bahwa:
“Kita mempunyai cukup banyak agama untuk membuat kita
membenci, tetapi tidak cukup untuk membuat kita saling mengasihi”[1]
Agama sebagai tempat mencari ketenangan dan motivasi,
sepertinya hanya menjadi semacam lembaga-lembaga militer tidak resmi yang
setiap saat siap melakukan penekanan (pressure) pada yang lainnya. Wajah
agama sebagai penganjur kedamaian menjadi semakin kabar oleh ketidakpahaman
manusia untuk hidup secara damai, bersanding dengan saudara yang lain. Untuk
itu Klause Meine[2], salah
seorang pentolan group musik terkenal asal Jerman-Scorpions, dalam salah satu
syair lagunya mengatakan:
“Do you
ever ask your self there is heaven in the sky. Why can’t we get it right. Cause
we all live under the some sun we all walk under the some moon. Then why, why
can’t we live as one” (Gold Albums)
Agama sebagai sarana pendekatan diri kepada Tuhan dan
alam semesta, seringkali tampil dalam suatu komunitas yang menyeramkan dan
menakutkan terhadap komunitas agama lain. Seperti yang terjadi di Ambon maupun
Maluku Utara saat ini, setelah terjadinya serangkaian kekerasan dan peperangan,
situasi psikologis dan sosiologis keagamaan masyarakat mulai diliputi perasaan
saling curiga, tidak nyaman, dan tidak aman. Alhasil, situasi konflik kini paling
tidak mulai menyelimuti pada sebagian besar pemeluk agama. Dan yang lebih
menarik lagi seperti yang diungkapkan Syamsul Arifin dalam Merambah
Jalan Baru Dalam Beragama, bahwa karena wilayah konflik itu berada
dalam ranah agama, yang selalu dipandang sebagai “problem of ultimate
concern”, suatu problem yang berhubungan dengan kepentingan mutlak, maka
biasanya konflik akan melahirkan trauma yang cukup mendalam, dan karena itu
akan membentuk jaringan konflik.
Berbicara tentang timbulnya pertentangan dan perseteruan
antar agama yang berbeda, paling tidak bisa disebabkan oleh beberapa sebab yang
begitu pelik, yang antara satu dan yang lainnya saling berkaitan. Sebab-sebab
itu sebagian berasal dari umat itu sendiri (faktor intern), dan ada yang
berasal dari luar lingkungannya (faktor ekstern)
1.
Eksklusifisme
Dalam sejarah, telah lama berkembang doktrin mengenai
eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain
sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai
saat sekarang ini, seperti termuat dalam tidak hanya dalam buku-buku polemis,
tetapi juga buku ilmiah.
Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer, misalnya, (Republika,
24 Juni 2000 dalam Opini) masih menarik untuk diungkapkan. Katanya, “Other
religions are false paths, that mislead their followers” (Agama lain adalah
jalan yang sesat, dan menyesatkan pengikutnya). Ungkapan tersebut memang sangat
keras dan langsung tergambar segi keeksklusivitasnya. Dan ia menganggap bahwa
kitab suci membenarkan hal tersebut.
Pandangan eksklusif seperti itu menurut Budhy Munawar Rachman
seorang staf pengajar Universitas Paramadina (2000), memang bisa
dilegitimasikan, atau tepatnya dicarikan legitimasinya lewat kitab suci. Tetapi
itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sebagai contoh dalam tradisi katolik, sejak
konsili Vatikan ii (1965), sudah jelaslah bahwa pandangan menjadi sangat
terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama
non-kristiani.
Dalam Theological Investigations seperti
dikutip Budhy Munawar Rahman (2000) bahwa Karl Rahner, teolog besar yang
menafsirkan Konsili Vatikan II, merumuskan teologi inklusifisnya yang begitu
terbuka, dengan mengatakan, “Other religions are emplicit form of our own
religion” (Agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dari agama kita). Dalam
pemikiran Islam, masalah ini juga terjadi secara ekspresif. Walaupun dalam
Islam sejak awal sudah ada konsep “ahl al-kitab” yang memberi kedudukan
kurang lebih setara pada kelompok non-Muslim, dan ini dibenarkan oleh al-qur’an
sendiri, tetapi selalu saja ada “interpretation away”, yaitu suatu cara
penafsiran yang pada akhirnya menafsirkan sesuatu tidak sesuai lagi dengan
bunyi tekstual Kitab Suci, sehingga ayat yang inklusif misalnya malah dibaca
secara eksklusif.
Dari sinilah paling tidak bisa diberikan pemahaman kepada
umat tentang perlunya memahami arti pluralisme agama yang didalamnya juga
menyadari adanya pluralisme teolog. Secara teologis, umat manusia dijadikan
Allah dalam satu kesatuan dan kemudian berbeda-beda.
Dalam kesadaran “millah Ibrahim” (Abrahamic religions)
sesungguhnya cermin adanya kesatuan “ummatiyah” yang didasarkan
kepatuhan kepada Allah. Namun dengan
adanya sikap eksklusif, yang cenderung menutup diri dari kenyataan yang ada,
jelas sangat merugikan dan merupakan salah satu penyebab adanya konflik yang
terjadi. Pemimpin sufi seperti Jalaluddin Rumi, misalnya melukiskan pandangan
pluralismenya dengan menggunakan gambaran sebagai berikut:
“Meskipun
ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa
ada banyakjalan menuju ka’bah? … oleh karena itu apabila yang anda
pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang
anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu
tujuan.”
Terdapat sebuah ayat dalam al-Qur’an yang menarik untuk
dikaji, yaitu surat
al-Baqarah ayat 62
ان
الذين امنوا والذين هادوا والنصرى والصابئين من امن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا
فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون (البقرة:62)
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang
Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang shabiin, siapa
saja diantara mereka beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh,
mereka akan menerima pahala dari Tuhan, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka,
dan tiada pula mereka bersedih hati”
[3]
Alwi Shihab dalam Islam Inklusif[4]
menyatakan bahwa pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok; alladzina
aamanuu (menunjuk kepada umat Islam), alladziina haaduu (umat
Yahudi), al-nashaaraa (umat Kristen), dan al-shaabi’iin. Para pakar tafsir menyadari kesulitan menafsirkan ayat
ini, mengingat ayat-ayat lain menunjukkan hanya Islamlah yang dijanjikan
keselamatannya oleh Allah. Al-Thabari, ahli tafsir kenamaan abad ke sepuluh
yang banyak memberikan ispirasi buat ahli-ahli tafsir selanjutnya, berpendapat
bahwa jaminan Allah tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman (man aamana),
percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk,
beriman kepada Allah dan Muhammad Saw. Atau, dengan kata lain, yang dimaksudkan
dalam ayat ini ialah mereka yang telah memeluk Islam. Pendapat Al-Thabari
tersebut mendapat dukungan dari Fakhruddin Al-Razi, dan Al-Zamakhsyari.[5]
Lain halnya dengan Muhammad Abduh, ia berpendapat bahwa
syarat pertama, yakni beriman kepada Allah, tidak harus dibatasi dengan
keimanan menurut cara Islam. Selanjutnya, Rasyid Ridha, murid Abduh, ikut
memperkuat pendapat gurunya. Ia mengakui bahwa keimanan sejati kepada Allah
dapat juga ditemukan di luar Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw.
Al-Thabathabai lain pula penafsirannya. Baginya, Allah tidak memandang pada
agama tertentu, tapi yang penting adalah substansi dan esensi yang terkandung
dalam agama itu. Selama tiga syarat dalam ayat tersebut terpenuhi, janji Tuhan
itu akan terlaksana.[6]
[1]
Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah,
(New York: Internasional) Bible Students Assosiation, 1991), hal. 14
[2]Arifin,
Syamsul, Merambah Jalan Baru dalam Beragama, (Yogyakarta :
ITTIBA Pers dan UMM, Cet. I, 2000)
[3]Al
Qur’an dan terjemah, Depag, Al Baqarah
(2) : 62, hal. 19
[4]Alwi
Shihab, Islam Iklusif, (Bandung: Mizan 1997), hal. 79
[5]Shihab,
M. Quraish Wawasan ….., Op. Cit., hal.
[6]Ibid.
No comments:
Post a Comment