Monday 16 November 2015

LAGU INDONESIA RAYA

HYMNE HMI

TINJAUAN UUMUM TENTANG DAKWAH

a.   Ruang lingkup dakwah
Dakwah berasal dari kata    يدعو - دعوة   دعا -
Yang berarti mengajak, memanggil dan menyeru. Sedangkan orang yang mengajak disebut da’i. Menurut Thoha Yahya Umar mendefinisikan dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan tuntunan Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. [1] 
Menurut S. M Nasaruddin Latif  dakwah adalah usaha dengan lisan atau tulisan dan lainnya yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan menaati Allah sesuai dengan garis–garis akidah syariah serta akhlak islamiah.[2]
Dari penje lasan di atas kegiatan dakwah meliputi ajakan untuk beriman dan menaati Allah atau memeluk islam, melaksanakan amal kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah perbuatan mungkar (nahi munkar) dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Islam adalah agama dakwah yang menugaskan umatnya untuk menyebarkan dan mensiarkan islam kepada seluruh umat manusia sebagai rahmatan lil alamin. Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan manakala ajarannya dijadikan sebagai pedoman hidup dan dilaksanakan secara konsisten serta konsekuen.
Oleh karena itu pelaksanaan dakwah dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah meliputi segala aspek yang sangat terkait antara satu dengan yang lain. Untuk itu, unsur penunjang kesuksesan sebuah dakwah harus terpenuhi.
Sebagai ahli hikmah dalam dakwahnya, da’i harus menguasai dasar-dasar dakwah atau rukun-rukun dakwah agar mampu berjalan dengan lancar dan tidak diragukan lagi fiqh tentang rukun–rukun dakwah dalam Al-Qur’an, Allah berfirman :
قُلْ هَذِهِ سَبِيْليِ أَدعُو اِلىَ اللهِ عَلىَ بَصِيْرَةِ اَنَا وَمِنَ اتَّبَعَنِ وَسُبْحَنَ اللهِ  وَمَآ اَناَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ.
Artinya :
Katakanlah inilah jalan agamaku, aku dan orang-orang yang mengikuti mengajakmu kepada Allah dengan hujjah, maka maha suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang musyrik. (Q.S Yusuf: 108)
Ada beberapa rukun-rukun dakwah yang harus dipahami oleh para da'i sebagai penunjang suksesnya dakwah :
                  1.Subjek dakwah (da’i)
Seorang da'i wajib mengetahui hakekat dirinya, tugas-tugasnya,  syarat-syaratnya, bekalnya dan akhlaknya. Untuk itu idealnya seorang da’i yang profesional memenuhi syarat sebagai berikut:[3]
a)      Syarat yang bersifat akidah
Para da’i harus yakin dengan agama Islam yang dianut, keimanan harus kuat mampu menyelaraskan antara ucapan dan perbuatan.
b)      Syarat yang bersifat ibadah
Seorang da’i banyak memberi contoh dalam menjalankan ibadah, baik itu yang diwajibkan Allah atau yang disunahkan Allah.
c)      Syarat yang bersifat ilmiah
Salah satu dengan menguasai ilmu agama, ilmu umum, cerdas serta intelektual serta mampu mengikuti arus perkembangan zaman.
d)     Syarat yang bersifat akhlakul karimah
Syarat yang bersifat akhlakul karimah tidak hanya berkaitan dengan manusia (hablum minannas) tetapi juga (hablum minallah) sabar, syukur, tawakal, dan beribadah dengan mengharapkan ridho Allah .
e)      Syarat yang bersifat jasmani
Sehat secara fisik ataupun mental, sebagai salah satu usaha untuk memperlancar kesuksesan dakwah.
f)       Syarat kelancaran berbicara (retorika)
Seorang da’i harus berbicara dengan fasih serta bisa di terima dengan akal sehingga dengan bahasa yang dilontarkan bisa menyentuh perasaan si pendengar.
g)      Syarat mujadalah
Seorang da'i harus bersemangat dalam berdakwah berjuang menegakkan agama Allah dengan mengharap ridhonya .
2)      Objek sasaran dakwah
Mad’u adalah isim maf’ul dari da’a, berarti orang yang diajak, atau dikenakan perbuatan dakwah, laki-laki atau perempuan, tua atau muda semua manusia tanpa terkecuali.[4]  Bila dilihat kondisi masyarakat yang majemuk dengan karakteristik yang berbeda maka dituntut, penggunaan metode dan strategi dakwah yang efektif dan efisien. Untuk itu sasaran dakwah yang di lakukan kaum muslimin tidak dibatasi pada satu kaum saja melainkan rahmatan lil alamin.
Sementara Hamzah Ya’cub dalam buku Publisitik Islam mengemukakan sasaran dakwah sebagai berikut :[5]
1.  Umat rasional
Yaitu orang yang berfikir kritis, berpendidikan, berpengalaman serta terbiasa berfikir mendalam.
2.   Umat tradisional
Yaitu orang yang mudah dipengaruhi oleh faham baru tanpa pertimbangan lebih dahulu, kemudian mengikutinya tanpa berfikir salah atau benar
3.   Umat bertaklid
Yaitu orang yang fanatik buta dan berpegang pada tradisi yang turun-temurun dipandang benar tanpa diselidiki dahulu

3)      Pesan dakwah
Pesan dakwah dalam hal ini pernyataan yang terdapat pada sumber atau bahan dalam mencapai tujuan dakwah. Sumber pokok yang dimaksud Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah, berupa petunjuk, tuntunan dan hukum bagi kehidupan manusia. Menurut M. Natsir dalam Fiqh  ad-Dakwah membagi pesan dakwah ke dalam tiga bagian :[6]
1)      Menyempurnakan hubungan manusia dengan khalik-nya hablumminallah atau mu’amalah ma’al khalik.
2)      Menyempurnakan hubungan manusia dengan sesama manusia, hablumminannas atau mu’amalah ma’annas.
3)      Mengadakan keseimbangan (tawazun) antara  kedua itu dan mengaktifkan keduanya selaras dan seimbang .

4)      Tujuan dakwah
Tujuan dakwah yang dilakukan da’i, mengajak manusia ke jalan Allah dan menyembah-Nya dengan tidak menyekutukan selain Allah. Menyeru kepada manusia mengindahkan seruan Allah dan rasul-Nya serta memenuhi panggilan-Nya untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :

يَاَيُّهَا النَّبىِ اِنَّا اَرْسَلْنكَ شاَهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيْرًا وَدَاعِيًا اِلَى اللهِ بِاِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا

Artinya:
Hai Nabi, sesungguhnya kami mengutusmu untuk menjadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan ,dan untuk menjadi da'i (penyeru) kepada (agama) Allah dengan izin-Nya untuk menjadi cahaya yang menerangi (Al Azhab 45-46).

Aktivitas dakwah dari masa ke masa disatukan satu tujuan utama yaitu menyeru ke jalan Allah. Apabila tujuan dakwah selain Allah atau menyertakan tujuan-tujuan yang lain seperti tujuan duniawi dan segala bentuk kepentingan pribadi selain Allah adalah penyimpangan.
                  5) Metodologi dakwah
Secara umum metodologi dakwah merupakan interpretasi dari ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang memuat prinsip-prinsip metode dakwah dalam menyeru dan mengajak manusia ke jalan Allah. Maka, penyampaian risalah dakwah kepada mad’u hendaknya disesuaikan dengan pemahaman dan pengalaman keagamaaannya. Maka, penyampaian dakwah dilakukan dengan hikmah sesuai dengan firman Allah surat An–Nahl ayat 125 :[7]
a.       Cara berdakwah dengan hikmah ditujukan kepada ahli pikir dan ahli ilmu yang kritis.
b.      Cara berdakwah mawizhah hasanah ditujukan kepada mereka masih awam.
c.       Cara berdakwah dengan mujadalah dengan sebaik-baiknya ditujukan kepada orang yang tingkat pemikirannya tidak dapat mencapai pada tingkat sebagai ahli pikir atau ahli yang matang ilmunya, namun juga tidak jatuh ke tingkat berfikir orang awam. tanpa terkecuali.
2.   Tinjauan Umum Pengembangan Sumber Daya Manusia (da'I(
1.   Pengembangan  Sumber Daya Manusia (da’i)
Kata pengembangan berasal dari kata kembang, berkembang yang berarti menjadi besar, tersebar. Adapun pengembangan yaitu cara atau hasil yang mengembangkan.[8] Terjadinya perkembangan menurut   Herbert karena adanya unsur-unsur berasosiasi sebagai suatu simple atau unsur yang sedikit semakin lama semakin banyak dan komplek.
Jadi pengembangan merupakan suatu perubahan yang menunjukkan ke arah yang lebih besar dan lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh dua unsur atau lebih yang saling berhubungan hingga kecil menjadi besar yang diusahakan oleh seorang atau kelompok dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Pengembangan atau pertumbuhan yang menggambarkan suatu proses tambahnya identitas meningkatnya kemampuan dan kapasitas untuk mempertahankannya, eksistensi, adaptasi terhadap lingkungan. Mewujudkan secara efektif, sehingga proses perkembangan berdasarkan pada teori :[9]
1)     Evolusionisme: menggambarkan perkembangan yang mengikuti jenjang tahap demi tahap menuju ke arah kemajuan (progresif), ke arah yang semakin sempurnna
2)     Adaptasi:  setiap perubahan yang senantiasa berusaha untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan (mempunyai) kehendak untuk menciptakan struktur baru, bersifat inovasi dan modernisasi sehingga proses tersebut lebih kepada bentuk perkembangan.
Pengembangan yang dimaksud adalah jalannya proses suatu usaha yang dilaksanakan seorang atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Sumber daya manusia berarti segenap potensi manusia yang dapat di aktualisasikan untuk melakukan sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.[10]  Dimana Pengembangan Sumber Daya Manusia merupakan suatu proses merencanakan pendidikan pelatihan dan pengelolaan tenaga / karyawan untuk mencapai suatu yang optimal.[11] Jadi Pengembangan Sumber Daya manusia dalam organisasi dakwah, pada hakikatnya adalah upaya untuk merencanakan (planning) meningkatkan kemampuan dengan pendidikan dan pelatihan (education dan training) dan mengelola (managemen) penyampai dakwah (da'i) sehingga di peroleh produktivitas dakwah.  [12]


2.   Bentuk Pengembangan Sumber Daya Manusia
Menurut Canadian Internasional Agency (CIDA) dimuat MC Whinney, kemudian dikutip Tadjudin Noer efendi[13] mengemukakan bahwa :
Pengembangan menekankan sebagai alat (mens) mempunyai tujuan akhir dalam jangka pendek dapat diartikan sebagai pengembangan pendidikan dan pelatihan untuk memenuhi segala kebutuhan segera tenaga, ahli tehnik, kepemimpinan ,tenaga administrasi dan tenaga ini di tujukan pada kelompok sasaran untuk mempermudah mereka terlibat dalam sistem ekonomi di negeri ini.

Salah satu bentuk pengembangan sumber daya manusia meliputi pendidikan dan pelatihan (diklat) terutama dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian intelektual dan kepribadian manusia. Pendidikan (education) dalamm suatu organisasi adalah suatu proses pengembangan kemampuan kearah yang diinginkan oleh organisasi bersangkutan. Sedangkan pelatihan (training) merupakan bagian kemampuan / keterampilan khusus /sekelompok orang.[14] Arah pendidikan di organisasi dakwah adalah untuk membentuk kredibilitas ,sedangkan pelatihan untuk mencapai kapabilitas bagi penyampai dakwah (da'i)
Pendidikan pada umumnya berhubungan dengan mempersiapkan calon da'i yang di perlukan oleh suatu organisasi dakwah, sedangkan latihan lebih berkaitan dengan peningkatan kemampuan /keterampilan kader dakwah yang sudah menduduki suatu pekerjaan tugas tertentu.
Pendidikan dan pelatihan dalam suatu organisasi dakwah sebagai upaya pengembangan sumber daya manusia (da'i) adalah suatu proses yang harus terus menerus untuk mengantisipasi perubahan - perubahan yang terjadi di luar organisasi dakwah. Adapun tahap-tahap dalam proses pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan adalah sebagai berikut:
1.      Menganalisa kebutuhan pendidikan dan pelatihan [15]    
a)      Analisis organisasi yang pada intinya menyangkut pertanyaan di mana atau bagaimana didalam suatu organisasi dakwah ada personil yang memerlukan pendidikan.
b)      Analisis aktivitas,yang antara lain menjawab pertanyaan: apa yang harus diajarkan atau di berikan dalam diklat agar peserta mampu melakukan aktivitas secara efektif.
c)      Analisis pribadi, yang menjawab pertanyaan: Siapa yang membutuhkan diklat dan bentuknya apa.Adanya penilaian dari masing-masing pribadi mengenai  kemampuan dari tiap individu.
2.      Menetapkan tujuan
Tujuan pendidikan dan pelatihan pada dasarnya adalah perumusan kemampuan yang diharapkan dari diklat tersebut. Karena tujuan diklat adalah perubahan perilaku (kemampuan), maka tujuan diklat di rumuskan dalam bentuk perilaku (behavior objectives).[16] Misalnya setelah mengikuti diklat diharapkan peserta dapat melakukan ceramah secara benar. Sedangakan menurut Abdurrrahman Saleh Abdullah, klasifikasi tujuan pendidikan adalah:
a.       Tujuan pendidikan jasmani (Ahdhaf al-Jismiah), yaitu mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi, melalui keterampilan- keterampilan fisik.
b.      Tujuan pendidikan Ruhani (Ahdhaf al-Ruhaniyah), meningkatkan jiwa jiwa kesetiaan yang hanya kepada Allah dan melaksanakan moralitas islami yang diteladani oleh nabi SAW dengan berdasarkan cita-cita ideal dalam Al-Quran.
c.       Tujuan pendidikan Akal (Ahdhaf al-Aqliyah),pengarahan intelegensia untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan-pesan ayat yang membawa iman kepada Allah dan menemukan pesan-pesan ayat yang membawa iman kepada pencipta.
d.      Pendidikan sosial (Ahdhaf al-Ijtima'iyah), guna membentuk kepribadian yang utuh dalam pengaktualisasian di masyarakat.[17]

3.   Pengembangan Materi
Dari tujuan–tujuan yang telah di rumuskan akan di ketahui kemampuan–kemampuan apa yang harus di berikan dalam diklat. Sehingga selanjutnya dapat diidentifikasi materi yang di berikan dalam diklat tersebut.
4.   Evaluasi
Setelah berakhirnya diklat, dilakuakan evaluasi. Yang perlu dievaluasi adalah peoses penyelenggaraan diklat dan juga evaluasi terhadap hasil sejauh mana materi yang di berikan dapat di kuasai oleh peserta diklat.
3.      Metodologi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Dalam buku Pengembangan sumber daya manusia, Soekidjo Notoatmodjo mengemukakan bahwa pada garis besarnya ada dua macam metode yang di gunakan dalam mengembangkan sumber daya manusia yaitu:[18]
a)      Metode "Off The Job Site" (di luar kegiatan)
                 Pengembangan sumber daya manusia melalui diklat menggunakan metode ini berarti peserta didik keluar sementara dari kegiatannya, untuk mengikuti diklat. Pada umumnya metode ini mempunyai dua macam tehnik, yaitu :


a.1 Tehnik Presentasi Informasi
Yang dimaksud dengan tehnik ini adalah menyajikan informasi yang tujuannya mengintroduksikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan baru kepada para paserta didik. Harapan akhir dari proses pengetahuan, sikap dan keterampilan peserta diadopsi oleh peserta diklat. Termasuk dalam tehnik ini antara lain : ceramah biasa, diskusi, tehnik pemodelan perilaku dan tehnik magang.
a.2 Tehnik Simulasi adalah peniruan karakteristik atau perilaku tertentu dari dunia riil sedemikian rupa sehingga, para peserta didik dapat merealisasikan seperti keadaan sebenarnya .
Metode-Metode simulasi ini mencakup: imulator alat -alat, studi kasus, permainan peran , tehnik di dalam keranjang.
b)                        Metode "On The Job Site” (Di dalam Kegiatan)
Pelatihan ini berbentuk penugasan peswerta didik baru kepada yang telahberpengalaman (senior). Hal ini berarti, kepada peserta didik yang sudah berpengalaman untuk membimbing atau megajarkan kepada yang baru .
Selanjutnya, Edwin B. Fillopo, mengemukakan ada empat metode dasar yang digunakan dalam Pengembangan sumber daya manusia melalui pelatihan,[19]yaitu:
1)      Pelatihan di tempat kerja (On The Job Training) keberhasilan pelatian tergantung para instruktur dalam menjelaskan seperangkat prosedur untuk melaksanakan tugas tertentu yang dikembangkan dari pengalaman dan penelitian.
2)      Sekolah Vestibul
Yaitu sekolah yang dibentuk untuk mengatasi masalah pelatihan di tempat kerja untuk kebutuhan fungsional khusus untuk para eksekutif dibidang personel manajemen dalam pengembangan diri sampai proses produksi tertentu.
3)      Magang
Dirancang untuk keterampilan yang lebih tinggi yang mengutamakan pengetahuan dalam pelaksanaan suatu keterampilan atau serangkaian pekerjaan yang sangat berhubungan.
4)     Kursus-Kursus
Pelatihan ditujukan untuk megawasi keahlian dibidang tertentu, dilakukan dalam waktu yang singkat, menutamakan sistem yang pratis dan keberhasilannya memerlukan peran aktif peserta didik.



[1] Toha Yahya Umar , Ilmu Dakwah , Jakarta , Wijaya , hal. 1

[2]Nasarudin Latif, Teori dan Praktek Dakwah Islamiah, Firma Dara, Jakarta hal. 11.
[3].M.Masyhur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, Amien Pres Yogyakarta ,1997 hal. 70
[4] Cahyadi Takariawan, Yang Tegar di Jalan Dakwah, Tiga Lentera Utama, Yogyakarta, 2003 hal. 32

[5] Hamzah  Ya’cub, Publisistik Islam, Diponegoro, Bandung 1981 hal. 14

[6] M.Natsir, Fiqhud Dakwah, Media Dakwah, 2000, hal.  36
[7] Mashur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral. Hal.. 28
[8] Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta 1983 hal. 137

[9]Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta 1993 hal. 162-163  
[10] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, 1988) hal. 86
 
[11] Soekidjo Notoatmojo, Pengembangan Sumber Daya Manusia  PT.Rineka Cipta, Jakarta hal..3

[12] T.Hani Handoko, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, BPFE Yogyakarta, 1989, hal. 117
[13] Tadjudin Noer Efendi ibid hal 5

[14] Agus Tulus, Managemen Sumber Daya Manusia, Gramedia Pustaka Utama Jakarta 1992 hal. 10
[15] Wexley dan Yukl, 1977, p.283, dikutip dari M.As'ad Psikologi Industri (Seri Ilmu Sumber Daya Manusia) , (Yogyakarta :Liberty, 1987 ), hal. 70
[16] Les Donaldson dan Edward E.Scannel, Pengembangan Sumber Daya Manusia (Panduan Bagi Pelatih Pemula) Terjemahan, Jakarta Gaya Media Pramana 1993 hal. 64

[17] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Triganda karya, Bandung, 1993, hal. 150
[18] Soekidjo Notoatmodjo loc.sit hal..33-36
[19] Bashir Barthos, Manajemen Sumber Daya Manusia: Suatu Pendekatan Makro, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 95

Saturday 7 November 2015

FENOMENA PLURALISME KEAGAMAAN

Fenomena Pluralisme Keagamaan Dewasa Ini

“Perang-perang agama cenderung lebih ganas. Jika orang memperebutkan suatu daerah untuk kepentingan ekonomi, mereka mencapai suatu titik di mana pertempuran dianggap merugikan dibanding biayanya dan kemudian berkompromi. Jika penyebabnya adalah agama, kompromi dan perdamaian dianggap suatu kejahatan.” (Roger Shinn, profesor etika sosial, Union Theological Semanary, New York)
Jika mempertimbangkan fenomena pluralisme agama, maka akan didapati fakta-fakta yang menyedihkan. Di Bosnia, umat-umat Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan umat Protestan saling bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim, umat Yahudi, Kristen, dan Islam saling menggunakan bahasa kekerasan dalam berkomunikasi dan berinteraksi di antara sesama mereka. Di Sudan, senjata adalah alat komunikasi antar umat beragama Islam dan Kristen. Di Kashmir, pengikut agama Hindu dan umat Muhammad saling bersitegang. Di Sri Lanka, kaum Budha dan kelompok Hindu bercakar-cakaran. Di Armenia-Azerbaijan, umat Kristen dan Islam saling berlomba untuk berkuasa dengan cara destruktif. Atau yang tampak langsung dihadapan kita saat ini adalah peperangan yang terjadi antara orang-orang sebangsa, bersaudara namun beda agama; Kristen dan Islam di ambon, Maluku Utara, saling berperang yang hingga saat ini belum ada titik terang menuju perdamaian.
Apakah manusia beragama untuk berkonflik? Pertanyaan ini selalu muncul setiap kali terjadi peretentangan, kekerasan, dan kerusuhan sosial yang melibatkan komunitas agama. Ada nuansa kegetiran dalam pertanyaan itu, karena seringnya agama tampil dalam wajah yang paradoks. Jonathan Swift (1667-1745) menyatakan bahwa:
“Kita mempunyai cukup banyak agama untuk membuat kita membenci, tetapi tidak cukup untuk membuat kita saling mengasihi”[1]
Agama sebagai tempat mencari ketenangan dan motivasi, sepertinya hanya menjadi semacam lembaga-lembaga militer tidak resmi yang setiap saat siap melakukan penekanan (pressure) pada yang lainnya. Wajah agama sebagai penganjur kedamaian menjadi semakin kabar oleh ketidakpahaman manusia untuk hidup secara damai, bersanding dengan saudara yang lain. Untuk itu Klause Meine[2], salah seorang pentolan group musik terkenal asal Jerman-Scorpions, dalam salah satu syair lagunya mengatakan:
“Do you ever ask your self there is heaven in the sky. Why can’t we get it right. Cause we all live under the some sun we all walk under the some moon. Then why, why can’t we live as one” (Gold Albums)

Agama sebagai sarana pendekatan diri kepada Tuhan dan alam semesta, seringkali tampil dalam suatu komunitas yang menyeramkan dan menakutkan terhadap komunitas agama lain. Seperti yang terjadi di Ambon maupun Maluku Utara saat ini, setelah terjadinya serangkaian kekerasan dan peperangan, situasi psikologis dan sosiologis keagamaan masyarakat mulai diliputi perasaan saling curiga, tidak nyaman, dan tidak aman. Alhasil, situasi konflik kini paling tidak mulai menyelimuti pada sebagian besar pemeluk agama. Dan yang lebih menarik lagi seperti yang diungkapkan Syamsul Arifin dalam Merambah Jalan Baru Dalam Beragama, bahwa karena wilayah konflik itu berada dalam ranah agama, yang selalu dipandang sebagai “problem of ultimate concern”, suatu problem yang berhubungan dengan kepentingan mutlak, maka biasanya konflik akan melahirkan trauma yang cukup mendalam, dan karena itu akan membentuk jaringan konflik.
Berbicara tentang timbulnya pertentangan dan perseteruan antar agama yang berbeda, paling tidak bisa disebabkan oleh beberapa sebab yang begitu pelik, yang antara satu dan yang lainnya saling berkaitan. Sebab-sebab itu sebagian berasal dari umat itu sendiri (faktor intern), dan ada yang berasal dari luar lingkungannya (faktor ekstern)
1.      Eksklusifisme
Dalam sejarah, telah lama berkembang doktrin mengenai eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai saat sekarang ini, seperti termuat dalam tidak hanya dalam buku-buku polemis, tetapi juga buku ilmiah.
Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer, misalnya, (Republika, 24 Juni 2000 dalam Opini) masih menarik untuk diungkapkan. Katanya, “Other religions are false paths, that mislead their followers” (Agama lain adalah jalan yang sesat, dan menyesatkan pengikutnya). Ungkapan tersebut memang sangat keras dan langsung tergambar segi keeksklusivitasnya. Dan ia menganggap bahwa kitab suci membenarkan hal tersebut.
Pandangan eksklusif seperti itu menurut Budhy Munawar Rachman seorang staf pengajar Universitas Paramadina (2000), memang bisa dilegitimasikan, atau tepatnya dicarikan legitimasinya lewat kitab suci. Tetapi itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sebagai contoh dalam tradisi katolik, sejak konsili Vatikan ii (1965), sudah jelaslah bahwa pandangan menjadi sangat terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama non-kristiani.
Dalam Theological Investigations seperti dikutip Budhy Munawar Rahman (2000) bahwa Karl Rahner, teolog besar yang menafsirkan Konsili Vatikan II, merumuskan teologi inklusifisnya yang begitu terbuka, dengan mengatakan, “Other religions are emplicit form of our own religion” (Agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dari agama kita). Dalam pemikiran Islam, masalah ini juga terjadi secara ekspresif. Walaupun dalam Islam sejak awal sudah ada konsep “ahl al-kitab” yang memberi kedudukan kurang lebih setara pada kelompok non-Muslim, dan ini dibenarkan oleh al-qur’an sendiri, tetapi selalu saja ada “interpretation away”, yaitu suatu cara penafsiran yang pada akhirnya menafsirkan sesuatu tidak sesuai lagi dengan bunyi tekstual Kitab Suci, sehingga ayat yang inklusif misalnya malah dibaca secara eksklusif.
Dari sinilah paling tidak bisa diberikan pemahaman kepada umat tentang perlunya memahami arti pluralisme agama yang didalamnya juga menyadari adanya pluralisme teolog. Secara teologis, umat manusia dijadikan Allah dalam satu kesatuan dan kemudian berbeda-beda.
Dalam kesadaran “millah Ibrahim” (Abrahamic religions) sesungguhnya cermin adanya kesatuan “ummatiyah” yang didasarkan kepatuhan kepada Allah.  Namun dengan adanya sikap eksklusif, yang cenderung menutup diri dari kenyataan yang ada, jelas sangat merugikan dan merupakan salah satu penyebab adanya konflik yang terjadi. Pemimpin sufi seperti Jalaluddin Rumi, misalnya melukiskan pandangan pluralismenya dengan menggunakan gambaran sebagai berikut:
“Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyakjalan menuju ka’bah? … oleh karena itu apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat  tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan.”

Terdapat sebuah ayat dalam al-Qur’an yang menarik untuk dikaji, yaitu surat al-Baqarah ayat 62

ان الذين امنوا والذين هادوا والنصرى والصابئين من امن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون (البقرة:62)


Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang shabiin, siapa saja diantara mereka beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tiada pula mereka bersedih hati” [3]

Alwi Shihab dalam Islam Inklusif[4] menyatakan bahwa pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok; alladzina aamanuu (menunjuk kepada umat Islam), alladziina haaduu (umat Yahudi), al-nashaaraa (umat Kristen), dan al-shaabi’iin. Para pakar tafsir menyadari kesulitan menafsirkan ayat ini, mengingat ayat-ayat lain menunjukkan hanya Islamlah yang dijanjikan keselamatannya oleh Allah. Al-Thabari, ahli tafsir kenamaan abad ke sepuluh yang banyak memberikan ispirasi buat ahli-ahli tafsir selanjutnya, berpendapat bahwa jaminan Allah tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman (man aamana), percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk, beriman kepada Allah dan Muhammad Saw. Atau, dengan kata lain, yang dimaksudkan dalam ayat ini ialah mereka yang telah memeluk Islam. Pendapat Al-Thabari tersebut mendapat dukungan dari Fakhruddin Al-Razi, dan Al-Zamakhsyari.[5]
Lain halnya dengan Muhammad Abduh, ia berpendapat bahwa syarat pertama, yakni beriman kepada Allah, tidak harus dibatasi dengan keimanan menurut cara Islam. Selanjutnya, Rasyid Ridha, murid Abduh, ikut memperkuat pendapat gurunya. Ia mengakui bahwa keimanan sejati kepada Allah dapat juga ditemukan di luar Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Al-Thabathabai lain pula penafsirannya. Baginya, Allah tidak memandang pada agama tertentu, tapi yang penting adalah substansi dan esensi yang terkandung dalam agama itu. Selama tiga syarat dalam ayat tersebut terpenuhi, janji Tuhan itu akan terlaksana.[6]



[1] Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York: Internasional) Bible Students Assosiation, 1991), hal. 14
[2]Arifin, Syamsul, Merambah Jalan Baru dalam Beragama, (Yogyakarta: ITTIBA Pers dan UMM, Cet. I, 2000) 
[3]Al Qur’an dan terjemah, Depag,  Al Baqarah (2) : 62, hal. 19
[4]Alwi Shihab, Islam Iklusif, (Bandung: Mizan 1997), hal. 79
[5]Shihab, M. Quraish Wawasan ….., Op. Cit., hal.  
[6]Ibid.

SEJARAH PERKEMBANGAN HUBUNGAN ANTAR AGAMA

Sejarah Perkembangan Hubungan Antar Agama

Beda pendapat merupakan ketentuan alam (order of nature) atau dalam bahasa al-Qur’an, “sunatullah”. Perbedaan pandangan, keyakinan, dan agama, merupakan fenomena alamiah. Barang siapa mengingkari adanya perbedaan berarti mengingkari sunatullah, ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan.
Perbedaan yang ada, di satu sisi akan menjadi suatu hal yang menguntungkan bagi manusia. Dengan adanya perbedaan seseorang dapat merasakan berfariasinya hidup ini. Kekurangan yang dimiliki seseorang ada pada kelebihan yang dimiliki orang lain demikian pula sebaliknya. Tanpa adanya perbedaan tidak akan mungkin ada kemajuan. Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan tersebut kadang meruncing sampai ke titik perseteruan. Untuk mempertahankan posisi masing-masing, tidak jarang agama atau interpretasi teks-teks keagamaan dijadikan sarana legitimasi.
Agama sebagai pedoman keselamatan hidup dipahami secara sempit sehingga tidak heran ada asumsi tentang bolehnya berbuat kekerasan dan permusuhan dengan umat dari agama lain karena itu merupakan perbuatan suci. Di sinilah paling tidak akan tampak betapa perluanya mengetahui perbedaan sekaligus persamaan yang ada pada agama lain untuk kemudian menjadikannya sebagai pengetahuan yang sangat berguna.
1.      Asal Mula Agama
Dalam Watch Tower Bible And Tract Society of Pennsylvana disinggung bahwa:
“Sejarah agama itu pada hakikatnya sudah setua sejarah itu sendiri. Demikianlah yang dikatakan oleh para arkeolog dan antropolog kepada kita. Bahkan dalam peradaban yang paling “primitif”, yaitu yang tidak berkembang, ditemukan bukti peribadatan dalam bentuk tertentu. Sebenarnya The New Encyclopedia Britannica mengatakan bahwa, “sejauh yang telah ditemukan para sarjana, tidak pernah ada orang, dimanapun, kapanpun, yang sama sekali tidak religius.”[1]

Pertanyaan-pertanyaan timbul dalam pikiran. Dari mana semua agama muncul? Karena ada perbedaan maupun persamaan yang mencolok, apakah agama-agama ini mulai secara terpisah, atau berkembang dari satu sumber. Atau dapat juga bertanya: Mengapa agama ada? dan bagaimana ia bisa muncul? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini benar-benar penting bagi semua orang yang berminat mengetahui kebenaran mengenai agama.
Untuk apa ada agama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut rasanya tidak terlalu sulit, kalau agama dipahami sebagai pedoman hidup bagi manusia. Artinya, manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesamanya memang membutuhkan aturan yang dapat mengatur hidup mereka. Aturan itu kesepakatan  yang harus ditaati seluruh komponen masyarakat tidak ada kecuali, dan harus dipatuhi semua pihak. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendirian, karena ada sekian banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhinya sendiri.
M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an menganalogkan hidup manusia sebagai lalu lintas, masing-masing ingin berjalan dengan selamat sekaligus cepat sampai tujuan. Namun karena kepentingan mereka berlain-lainan, maka apabila tidak ada peraturan lalu lintas kehidupan, pasti akan terjadi benturan dan tabrakan.[2]
Dengan demikian manusia membutuhkan peraturan demi lancarnya lalu lintas kehidupannya. Manusia membutuhkan rambu-rambu lalu lintas yangakan memberinya petunjuk seperti kapan harus berhenti (lampu merah), kapan hati-hati (lampu kuning), dan lampu hijau (silakan jalan), dan sebaginya. Siapa yang mengatur lalu lintas kehidupan itu? Manusiakah? Paling tidak dalam pengaturan di atas, manusia mempunyai dua kelemaham: pertama keterbatasan pengetahuannya dan kedua sifat egoisme (ingin mendahulukan kepentingan diri sendiri). Kalau demikian yang seharusnya mengatur lalu lintas kehidupan adalah Dia yang paling mengetahui sekaligus yang tidak mempunyai kepentingan sedikitpun. Yang dimaksud adalah Allah, Tuhan Yang Maha Tahu.
Allah, yang menetapkan peraturan-peraturan tersebut, baik secara umum, berupa nilai-nilai, maupun secara rinci khususnya bila perincian petunjuk itu tidak dapat dijangkau oleh penalaran manusia. Peraturan-peraturan itulah yang kemudian dinamakan agama.
Mengapa harus beragama? William James seperti dikutip M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1996) menyatakan: “Selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama” (berhubungan dengan Tuhan). Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama. Jadi dorongan yang ada dalam diri manusia itu tidak lain karena adanya perasaan membutuhkan suatu hal di luar dirinya yang dipercayai dan diyakini sebagai sesuatu yang Maha.[3]
Jika menyangkut asal-usul agama, nama-nama seperti Muhammad, Yesus, Budha, dan Kong Hu Chu timbul dalam pikiran orang-orang dari berbagai agama. Dalam hampir setiap agama, didapati seorang tokoh utama yang diakui sebagai pendiri “iman yang benar”. Beberapa diantaranya pembaharu yang menentang penyembahan berhala. Yang lainnya filsuf moral. Yang lain lagi pahlawan-pahlawan rakyat yang tidak mementingkan diri sendiri. Banyak dari mereka yang meninggalkan karya tulis maupun ucapan-ucapan yang menjadi dasar suatu agama. Bahkan dalam buku Pencarian Manusia Akan Allah dinyatakan bahwa lambat lain apa yang mereka katakan dan lakukan dikembangkan, dibumbui, dan diberi kesan mistik. Beberapa dari para pemimpin ini bahkan dipuja.
Walaupun pribadi-pribadi ini dianggap pendiri agama-agama besar, perlu diperhatikan bahwa mereka bukanlah pencipta dari agama. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pencarian Manusia Akan Allah bahwa dalam kebanyakan kasus, ajaran mereka berkembang dari gagasan-gagasan agama yang sudah ada, meskipun kebanyakan pendiri mengaku mendapat “ilham ilahi” sebagai sumber mereka. Atau mereka mengganti dan mengubah sistem agama yang sudah ada yang dalam satu atau lain cara tidak memuaskan lagi. [4]
Agama, sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai keselamatan dan kediaman, menurut al-Qur’an sudah ada sejak manusia pertama Adam as. Walaupun sistem ataupun ajaran agama yang ada masih sangat sederhana. Karena pada dasarnya risalah agama selalu mengalami perkembangan sampai risalah terakhir, Islam. Dikatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah ayat 5:
اليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الاسلام دينا (المائدة: 5)
Artinya:
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu”. [5]

Agama sudah ada sejak Nabi Adam adalah berdasarkan ayat al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 37:
فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب عليه (البقرة: 37)
Artinya:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya”. [6]

Tentang beberapa kalimat (ajaran-ajaran) dari Tuhan yang diterima oleh Adam sebagai ahli tafsir mengartikan dengan kata-kata bertaubat Artinya bahwa Adam telah menerima pedoman hidup berupa kalimat taubat, jadi agama sudah ada saat itu karena adanya hubungan dari Khaliq dengan makhluk-Nya. Ayat di atas diperkuat oleh ayat berikutnya:
قلنا اهبطوا منها جميعا فإما يأتينكم منى هدى فمن تبع هداي فمن تبع هداي فلا خوف عليهم ولا هم يحزنون (البقرة: 38)
Artinya:
“Kami berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. [7]

Apa yang diperlihatkan oleh begitu banyak ragam pengabdian agama? Yaitu bahwa selama ribuan tahun manusia mempunyai kebutuhan dan kerinduan akan hal-hal rohani. Manusia hidup dengan pencobaan dan kesulitannya, keraguan dan pertanyaan-pertanyaannya, termasuk teka-teki mengenai kematian. Perasaan religius diungkapkan dalam banyak cara sewaktu orang berpaling kepada Allah atau Tuhan-Tuhan mereka, memohonkan berkat dan penghiburan.

2.      Persinggungan Antar Agama
Interaksi antar agama berbeda telah terjadi sejak beberapa abad yang telah lalu. Dan selama berabad-abad sejarah interaksi antar umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalil demi mencapai ridha Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari Yang Maha Kuasa.
Kalau ditelusuri, sebenarnya agama-agama yang ada saat ini adalah berasal dari induk yang sama yaitu agama tauhid. Hal tersebut berdasarkan kenyataan historis, bahwa Ibrahim (Abraham) menurut keimanan Yahudi, Nasrani, dan Islam diakui sebagai bapak agama. Ketiga agama samawi tersebut akarnya adalah dari Nabi Ibrahim as.
Kesamaan tersebut dapat dilihat dari sebagian cara ibadah mereka yang menurut tuntunan aslinya mengenal istilah sujud bagi yang dipujanya. Islam, Kristen, Budha, Yahudi, Nasrani mengenal itu sebagai rangkaian ibadah mereka. Dalam Pencarian Manusia Akan Allah dinyatakan bahwa, dari luar, banyak agama yang dewasa ini tampaknya sangat berbeda satu sama lain. Namun jika, jika kita menanggalkan hal-hal yang hanya merupakan bumbu-bumbu dan yang ditambahkan dikemudian hari, atau jika kita menyingkirkan perbedaan-perbedaan akibat pengaruh iklim, bahasa keadaan tertentu dari negeri asalnya, dan faktor-faktor lain, sungguh menakjubkan betapa serupanya kebanyakan dari agama-agama tersebut.[8] Memang banyak persamaan diantara agama tersebut disamping perbedaan yang sangat menonjol, terutama masalah keimanan yang akhirnya mengalami perkembangan sesuai pengalaman batinnya masing-masing.
Adanya persamaan-persamaan tersebut ternyata tidak cukup membuat mereka untuk tidak bersitegang antara yang satu dengan yang lainnya. Dapat dilihat tentang bagaimana sikap permusuhan orang Yahudi terhadap Nasrani yang begitu banyak menelan korban. Yesus (Isa al-Masih) dikejar-kejar dan akan dibunuh karena sebagai utusan Tuhan dia ternyata bukan berasal dari Yahudi (kebencian serupa juga terjadi pada diri nabi Muhammad Saw).
Dalam surat al-Baqarah ayat 87 diceritakan tentang kebencian mereka terhadap para utusan Allah dari kalangan Nasrani, yaitu:
ولقد آتينا موسى الكتاب وقفينا من بعده بالرسل وآتينا عيسى ابن مريم البينات وأيدناه بروح القدس افكلما جاءكم رسول بما لا تهوى انفسكم استكبرتم ففريقا كذبتم وفريقا تقتلون (البقرة: 87)
Artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mu`jizat) kepada `Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” [9]

Petentangan antara Yahudi dan Nasrani tergambar dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 113:
وقالت اليهود ليست النصرى على شيء وقالت النصرى ليست اليهود على شيء وهم يتلون الكتاب كذلك قال اللذين لا يعلمون مثل قولهم فالله يحكم بينهم يوم القيامة فيما كانوا فيه يختلفون (البقرة: 113)
Artinya:
“Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan”, dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan,”padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka perselisihkan.” [10]

Di dalam surat ar-Ruum ayat 2-5 diceritakan hubungan emosional antara umat Islam Makkah dengan Umat Nasrani  Romawi pernah terjadi, saat tentara Romawi dikalahkan oleh tentara Persia (Majusi), umat Islam merasa sedih dan terpukul. Namun tatkala tentara Romawi dapat memenangkan peperangan, umat Islam Makkah merasa senang. Mengapa demikian? Hal itu karena adanya ikatan emosional sebagai sesama penganut agama Tauhid.
Asal-usul Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah satu. Agama Yahudi dan Kristen adalah dari Nabi Ibrahim as. dan Sarah yang menurunkan garis keturunan Nabi Ishaq as. sampai pada Nabi Isa as. Sedangkan Siti Hajar melahirkan garis keturunan Nabi Ismail as. sampai pada Nabi Muhammad Saw. Sebagai pembawa ajaran dan tradisi agama Islam.[11]
Namun hubungan umat Islam dan Kristen menjadi rusak dengan meletusnya perang salib. Perang yang menghabiskan kerugian materi yang tidak sedikit. perang yang membuat dendam kuat mengakar dihati sanubari generasi kedua agama besar tersebut. Meski sebenarnya banyak orang tidak mengetahui siapa yang memulai peperangan itu, mengapa berperang, atau bagimana peperangan itu dimenangkan.[12] Warisan perang salib ini tergantung pada tempat seseorang berpijak dalam sejarah. Kaum Kristen dan Muslim bersaing dalam visi dan kepentingan, serta masing-masing senantiasa ingat pada komitmennya terhadap agama dan kisah-kisah kepahlawanan para nabi terdahulu melawan kaum “kafir”.
Itu merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri bahwa ternyata hubungan antar agama lebih banyak diwarnai konflik. Konflik anta agama merupakan konflik yang sangat rumit dan sulit mengatasinya tanpa dilandasi kesadaran mencari titik temu kreatif bagi pencipta sebuah kedamaian yang hakiki.


[1]Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York: International Bible Students Association, 1991), hal. 19.
[2]Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal. 211.
[3]Ibid.
[4]Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York: International Bible Students Association, 1990) hal. 20
[5] Al Qur’an dan Terjemahnya, Depag, Al Maidah (5), hal. 158.
[6] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 37, hal. 15.
[7] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag,  Al-Baqarah, (2) : 38, hal. 15
[8] Watch Tower and Tract Society of New York, Op. Cit., hal. 32
[9]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 87, hal. 24
[10] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 113, hal. 30
[11] John L. Esposito, Bahaya Hijau!, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, Cet. I) hal. 62
[12] Ibid., hal. 62.