Muhammad Arrizky Alamsyah
Program Magister Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
muhammadalamsyah0@gmail.com
A. Pendahuluan
Ekonomi dan perdagangan
global bukanlah sebuah gejala baru. Nabi Muhammad sendiri tidak menciptakan
sistem dagang baru. Perdagangan yang dilakukan oleh Muhammad pada waktu masih
muda sampai setelah menjadi Nabi dan para sahabatnya adalah suatu sistem
perdagangan internasional yang berpusat di Byzantium, Konstantinopel. Karena
itu uang yang berlaku ialah uang Byzantium, uang Yunani (dinnar, dirham). Orang
Arab sendiri tidak memiliki uang.
Orang Islam baru
memiliki atau menciptakan uang sendiri pada zaman Abd Al-Malik ibn Marwan,
sehingga gambar Konstantin diganti dengan lafaz syahadat yang waktu itu
ditentang oleh Yunani (Byzantium). Mereka berpikir uang semacam itu tidak akan
laku, padahal laku juga karena daerah Islam lebih luas daripada daerah
Byzantium.
Gambaran mengenai
ekonomi Nabi adalah bahwa beliau tidak menciptakan sistem ekonomi yang baru,
tetapi memberikan muatan moral kepada ekonomi itu. Jadi, biarpun menggunakan
uang Yunani, namun ada ukuran-ukuran moral yang melibatkan paling tidak dua
hal, yaitu ada cara yang benar memperoleh harta, dan ada cara yang
benar untuk menggunakan harta. Hal ini tidak seperti kapitalisme. Mungkin
kapitalisme juga menganut suatu paham bahwa ada caracara yang benar dalam
memperoleh harta tetapi harta itu digunakan terserah kepada yang punya,
termasuk dibakar sekalipun.[1]
Di dalam Islam membakar
harta benda itu haram hukumnya, meskipun harta benda milik sendiri Inilah gambaran situasi ketika Madinah
mengalami inflasi, lalu orang-orang datang kepada Nabi dan mengadukan tentang
kenaikan harga-harga. Kemudian mereka minta Nabi untuk menetapkan harga. Di
luar dugaan ternyata Nabi marah diminta melakukan penetapan harga seperti itu.
Dikumpulkanlah orang di masjid dan beliau berpidato bahwa ia tidak mau
menetapkan harga sebab itu berarti merampas hak dan laba orang. Kalau harga
naik, apakah barangnya harus dijual murah. Lalu dikatakan bahwa ia tidak mau
nanti ketemu Tuhan dan diperintah untuk mengembalikan apa yang ia rampas dari
orang-orang hanya karena ia menetapkan harga. Lalu beliau bersabda, al-bay‘u
‘antarâdlin (jual beli itu harus sukarela). Artinya, biarpun mahal asal
sukarela tetaplah sah.[2]
Kalau harus diwujudkan
dalam bahasa sekarang, sepanjang mengenai hadis inflasi tadi, maka Islam
mengajarkan ekonomi bebas namun harus disertai dengan akhlak (free market
economy with morality ).
B.
Ekonomi
Islam
Dalam
bagian yang komprehensif Hukum Islam telah menerangkan tentang aturan
berekonomi, termasuk elemen-elemen di dalamnya seperti produksi, distribusi dan
konsumsi. Ungkapan ini merupakan pernyataan yang melegitimasi bahwa Islam
dengan al Qurannya telah mengatur sistem ekonomi yang sempurna. Hal ini
merupakan bukti bahwa Islam mampu mengimbangi perkembangan sistem ekonomi yang
berlaku di kalangan umat manusia.
Dalam
perkembangan dewasa ini, ada dua sistem ekonomi yang paling berpengaruh di
dunia, yaitu sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis. Sistem
ekonomi kapitalis adalah suatu sistem ekonomi yang mengizinkan dimilikinya
alat-alat produksi oleh pihak swasta, sedangkan sistem ekonomi Sosialis
merupakan kebalikan dari sistem ekonomi Kapitalis yakni suatu sistem ekonomi di
mana pemerintah atau pekerja memiliki serta menjalankan semua alat produksi;
hingga dengan demikian, usaha swasta dibatasi dan mungkin kadang-kadang
dihapuskan sama sekali.
Pada
gilirannya, sistem ekonomi yang dianut oleh sekelompok manusia sesungguhnya
berfungsi untuk mencapai tujuan atau hasil tertentu yang memiliki nilai yang
ditetapkan dan bergantung kepada prioritas masyarakat atau negara penganut
sistem tersebut. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin prioritas antara satu
sistem ekonomi dengan ekonomi lainnya berbeda. Sistem Ekonomi Kapitalis lebih
memprioritaskan individu dari pada kelompok, sedangkan sistem ekonomi sosialis
lebih memprioritaskan kepentingan negara daripada kepentingan individu[3].
Berbeda
dengan kedua sistem ekonomi diatas, Islam menerapkan sistem ekonominya dengan
menggunakan moral dan hukum bersama untuk menegakkan bangunan suatu sistem yang
praktis. Berkenaan dengan prioritas, Islam mengetengahkan konsep keseimbangan
antara kepentingan individu (khusus) dan kepentingan negara (umum) yang
bersumber kepada al-Qur‟an dan al-Sunnah.
Berdasarkan
uraian itu, dapat dipahami bahwa ekonomi menurut Islam merupakan sekumpulan
dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al Quran dan al-Sunnah, dan
merupakan bangunan yang didirikan diatas landasan- landasan tersebut sesuai
dengan tiap lingkungan dan masa. Sehubungan dengan hal tersebut, al Quran dan
al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam memegang peranan penting dalam memberikan
dasar-dasar pada sistem perekonomian menurut Islam.
Prinsip-prinsip
utama dalam Islam berkenaan dengan sistem ekonomi adalah dengan hajat manusia
terhadap ekonomi, ciri-ciri ekonomi Islam, dan kebebasan ekonomi menurut Islam.
Selain hal-hal tersebut, Islam dengan al-Qur‟an dan al-Sunnahnya juga
menyinggung persoalan-persoalan yang berkaitan dengan faktor produksi, kerja
menurut Islam, hak milik menurut Islam, akad dan pendayagunaan harta Konsep
Islam tentang hakikat manusia menegaskan bahwa manusia itu adalah makhluk
Allah, yang Allah menjadikan kepada pandangan manusia kecintaan kepada segala
sesuatu yang diingini syahwatnya.
“dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga).” Ali Imran : 14
Namun
demikian, Islam memperkenalkan manusia dengan menjelaskan pula fungsinya, yaitu
disamping sebagai abid yang bertugas untuk beribadah kepada-Nya, juga sebagai
khalifah yang bertugas mengurus bumi dengan seluruh isinya dan berkewajiban
untuk memakmurkannya sebagai amanah dari Allah.
“Dan
Dia yang menjadikan kamu kholifah-kholifah d bumi dan meninggikan sebagaian
kamu atas sebagaian (yang lain) beberapa derajat, untuk menguji kamu melalui
apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya,
dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Al-An’am, Ayat; 165
Penjelasan
diatas membuktikan konsep hakikat manusia menurut Islam berbeda dengan konsep
yang dikemukakan oleh paham kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme mempunyai
asumsi bahwa manusia itu serakah dan materialistis. Sedangkan sosialisme
memahami hakikat manusia kepada dua jenis, yaitu hakikat manusia secara umum di
mana manusia seperti yang dijumpai sehari-hari serakah dan materialistis dan
hakikat manusia sebagai hasil dari suatu proses sejarah.
Konsep
manusia itu sangat menentukan terhadap jalan yang ditempuh manusia dalam upaya
merealisir kebutuhan hidupnya. Upaya memenuhi, menghasilkan dan membagikan
kebutuhan manusia ini dinamakan dengan ekonomi. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa konsep Islam dalam kegiatan ekonomi tidak hanya bertujuan untuk kehidupan
dunia semata, tetapi bertujuan pula untuk kehidupan akhirat.
Selain
itu, ekonomi menurut Islam memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dari
sistem ekonomi hasil penemuan manusia. Diantara ciri-ciri tersebut adalah,
bahwa ekonomi merupakan bagian dari sistem Islam secara integral dan ekonomi
menurut Islam merealisir keseimbangan antara kepentingan individu dan
kepentingan umum.
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan”, Al Qashash: 77.
Karena
ekonomi menurut Islam merealisir keseimbangan antara kepentingan individu dan
kepentingan umum.
"Apa
saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah, kepada Rasul-Nya yang berasal
dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.", Hasyr ; 7
Ciri
yang pertama merupakan ciri pembeda dengan sistem ekonomi hasil penemuan
manusia yang memisahkan antara kehidupan ekonomi dan agama. Sedangkan ciri yang
kedua merupakan ciri yang membedakan dengan sistem ekonomi Kapitalis dan
Sosialis, dimana sistem kapitalis lebih mendahulukan kepentingan individu dan
sistem Sosialis lebih mendahulukan kepentingan umum, sekalipun hak individu
harus dilanggar.
Seiring
dengan itu, Islam juga memberikan kebebasan kepada individu dan berekonomi,
tidak seperti yang ditentukan oleh sistem Sosialisme; tetapi, Islam juga tidak
melepaskannya tanpa kendali seperti yang dilakukan oleh sistem Kapitalis. Hal
ini berarti bahwa kebebasan ekonomi menurut Islam adalah kebebasan yang
terikat. Artinya, Islam tidak mengizinkan kepada individu kebebasan yang
mutlak, tetapi mengikatnya kebebasan itu dengan batas-batas dari nilai-nilai
Syari‟at. Islam menekankan bahwa kemerdekaan individu dalam melaksanakan
kegiatan ekonomi itu, terikat oleh syariat Islam
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu, dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku, dengan suka
sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya,
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.", Annisa :29
Individu
dalam Islam diberikan kebebasan melakukan kegiatan ekonomi selama tidak
dilarang oleh nash.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”, Al Baqoroh : 275
Berdasar
pada uraian di atas dapat dipahami bahwa pengakuan Islam akan kebebasan ekonomi
dengan menentukan ikatan-ikatan adalah bertujuan untuk merealisasikan dua hal.
Pertama, agar kegiatan ekonomi berjalan sesuai dengan ketentuan yang termuat
dalam syari'at Islam. Kedua, terjaminnya hak negara dalam ikut campur, baik
untuk mengawasi kegiatan ekonomi terhadap individu maupun untuk mengatur atau
melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu ditangani oleh
individu atau tidak mampu untuk mengeksploitasinya dengan baik[4].
C.
Pemberdayaan
Ekonomi
Pemberdayaan
menurut bahasa berasal dari kata daya yang berarti tenaga/ kekuatan, proses,
cara, perbuatan memberdayakan.[5]Pemberdayaan
adalah upaya yang membangun daya masyarakat dengan mendorong, memotivasi dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk
mengembangkannya
Pemberdayaan
diarahkan guna meningkatkan ekonomi masyarakat secara produktif sehingga mampu
menghasilkan nilai tambah yang tinggi dan pendapatan yang lebih besar. Upaya
peningkatan kemampuan untuk menghasilkan nilai tambah paling tidak harus ada
perbaikan akses terhadap empat hal, yaitu akses terhadap sumber daya, akses
terhadap teknologi, akses terhadap pasar dan akses terhadap permintaan
Ekonomi
masyarakat adalah segala kegiatan ekonomi dan upaya masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya (basic need) yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan dan
pendidikan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pemberdayaan ekonomi
masyarakat merupakan satu upaya untuk meningkatkan kemampuan atau potensi
masyarakat dalam kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan hidup serta
meningkatkan kesejahteraan mereka dan dapat berpotensi dalam proses pembangunan
nasional.[6]
Konsep
pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model
industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun
dari kerangka logik sebagai berikut, pertama, Bahwa proses pemusatan kekuasan
terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi, kedua, Pemusatan kekuasaan
faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat yang
pengusaha pinggiran, ketiga, Kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem
pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk
memperkuat dan legitimasi, keempat Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum,
sistem politik, dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok
masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang
terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang
dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus
dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai
(empowerment of the powerless).[7]
Dalam
upaya peningkatan taraf hidup masyarakat, pola pemberdayaan yang tepat sasaran
sangat diperlukan, bentuk yang tepat adalah dengan memberikan kesempatan kepada
kelompok miskin untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang
telah mereka tentukan. Disamping itu masyarakat juga diberikan kekuasaan untuk
mengelola dananya sendiri, baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak amil
zakat, inilah yang membedakan antara partisipasi masyarakat dengan pemberdayaan
masyarakat. Perlu difikirkan siapa sesungguhnya yang menjadi sasaran
pemberdayaan masyarakat, sesungguhnya juga memiliki daya untuk membangun,
dengan ini good governance yang telah dielu-elukan sebagai suatu pendekatan
yang dipandang paling relevan, baik dalam tatanan pemerintahan secara luas
maupun dalam menjalankan fungsi pembangunan. Good governance adalah tata
pemerintahan yang baik merupakan suatu kondisi yang menjalin adanya proses
kesejahteraan, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran, serta adanya saling
mengontrol yang dilakukan komponen pemerintah, rakyat dan usahawan swasta.[8]
Dalam
kondisi ini mengetengahkan tiga pilar yang harus diperlukan dalam proses
pemberdayaan masyarakat. Ketiga pilar tersebut adalah pemerintah, swasta dan
masyarakat yang hendaknya menjalin hubungan kemitraan yang selaras. Tujuan yang
ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat
menjadi mandiri, kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak
dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Pemberdayaan masyarakat
hendaknya mengarah pada pembentukan kognitif masyarakat yang lebih baik, untuk
mencapai kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses.
Ada
dua upaya agar pemberdayaan ekonomi masyarakat bisa dijalankan, diantaranya
pertama, mempersiapkan pribadi masyarakat menjadi wirausaha. Karena kiat Islam
yang pertama dalam mengatasi masalah kemiskinan adalah dengan bekerja. Dengan
memberikan bekal pelatihan, akan menjadi bekal yang amat penting ketikaakan
memasuki dunia kerja.
Program
pembinaan untuk menjadi seorang wiraswasta ini dapat dilakukan melalui beberapa
tahap kegiatan, diantaranya, memberikan bantuan motivasi moril Bentuk motivasi
moril ini berupa penerangan tentang fungsi, hak dan kewajiban manusia dalam
hidupnya yang pada intinya manusia diwajibkan beriman, beribadah, bekerja dan
berikhtiar dengan sekuat tenaga sedangkan hasil akhir dikembalikan kepada Dzat
yang Maha Pencipta. Bentuk-bentuk motifasi moril itu adalah pelatihan usaha dan
pemodalan.
Dalam
jurnal Istiqomah, Pengembangan Masyarakat Islam menjelaskan adanya lima dalam
memberdayakan umat antara lain, pertama, Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat
dapat dilihat sebagai peletakan sebuah tatanan sosial dimana manusia secara
adil dan terbuka dapat melakukan usahanya sebagai perwujudan atas kemampuan dan
potensi yang dimilikinya sehingga kebutuhannya (material dan spiritual) dapat
terpenuhi.
Kedua,
Pemberdayaan masyarakat tidak dilihat sebagai suatu proses pemberian dari pihak
yang memiliki sesuatu kepada pihak yang tidak memiliki,
Ketiga, Pemberdayaan masyarakat mesti dilihat
sebagai sebuah proses pembelajaran kepada masyarakat agar mereka dapat secara
mandiri melakukan upaya-upaya perbaikan kualitas kehidupannya.
Keempat,
Pemberdayaan masyarakat tidak mungkin dilaksanakan tanpa keterlibatan secara
penuh oleh masyarakat itu sendiri. Partisipasi bukan sekadar diartikan sebagai
kehadiran tetapi kontribusi tahapan yang mesti dilalui oleh suatu dalam program
kerja pemberdayaan masyarakat, kelima, Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu
upaya keterlibatan masyarakat dalam suatu program pembangunan tatkala
masyarakat itu sendiri tidak memiliki daya ataupun bekal yang cukup.
Kelima
prinsip turunan tersebut sebenarnya cerminan aktualisasi nilai Islam dalam
memberikan pandangan hidup sehingga menunu tatanan kehidupan yang berdaya dan
sejahtera. Kunci keberhasilan tersebut yakni penyatuan antara dimensi material
dan spritual dalam kehidupan sosial.[9]
D.
Pemberdayaan
Umat Melalui Zakat
Menurut
Dawam Rahardjo, sebagai sebuah konsep yang dianggap sangat relevan dengan persoalan-persoalan yang konkret zakat bisa
jadi sebagai titik masuk terhdap perkembangan ekonomi, zakat sebagai bentuk
ibadah, sudah banyak diketahui, atau
disampaikan oleh para ahli. Akan tetapi pandangan mengenai zakat masih belum
luas dan hanya terbatas pada kesan bahwa zakat itu ikut membantu kaum muslimin
dalam membangun masjid, madrasah,membiayai kegiatan dakwah.
Akan
tetapi zakat sebagai instrument pokok dalam program pemberantasan kemiskinan
atau pertumbuhan ekonomi dari bawah masih belum banyak mendapatkan perhatian,di
Indonesia zakat lebih banyak diamalkan
dari pada di teorikan oleh karena itu tingkat kelaikannya cukuptinggi untuk
diwujudkan sebagai suatu program pembangunan atau pengembangan masyarakat.[10]
Badan
Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah sebagaimana ditemukan dalam surat keputusan
bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 1991/47
Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. Dalam pasal
1 SKB disebutkan bahwa Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah adalah lembaga
swadaya masyarakat yang mengelola, penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan
pemanfaatan zakat, infaq dan shadaqah secara berdaya guna dan berhasil guna.[11]
Berdasarkan
keputusan tersebut, maka pengelola zakat memiliki tugas mengumpulkan,
mendistribusikan dan mendayagunakan harta zakat umat Islam. Obyek atau sasaran
dalam penerimaan dan pengumpulan yang dilakukan oleh pengelola selain zakat
adalah infaq dan shadaqah dalam pemberdayaan ekonomi umat.
Menurut
Abdul Mannan, zakat merupakan pusat keuangan umat Islam meliputi bidang moral,
sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat dapat mengikis ketamakan dan
keserakahan bagi yang kaya, dalam bidang sosial, zakat merupakan alat yang khas
diberikan Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dengan
menyadarkan kepada orang kaya akan tanggung jawab sosial yang dimilikinya,
sedangkan dalam bidang ekonomi, zakat dapat mencegah penumpukan kekayaan dalam
tangan segelintir orang dan memungkinkan kekayaannya untuk disebarkan kepada
yang berhak menerimanya sebelum terjadi bahaya besar di tangan pemiliknya.[12]
Hal ini disadari dan dilaksanakan oleh pemilik kekayaan melalui zakat, maka
menjadikan ekonomi diantara umat Islam secara adil dan seksama, sehingga si
kaya tumbuh semakin kaya dan dapat menghapuskan kemiskinan. Oleh karenanya
dalam istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari
golongan kaya kepada golongan miskin. Tindakan ini akan mengakibatkan perubahan
yang bersifat ekonomi dimana seseorang yang menerima zakat dapat
mempergunakannya untuk mengkonsumsi atau memproduksi.
Monzer
Khaf menyatakan bahwa zakat adalah sebagai hukuman atas orangorang yang mampu
senantiasa menimbun harta dan tidak mau menginvestasikan hartanya pada usaha
yang bersifat produktif, dimana secara perlahan tetapi meyakinkan pembayaran
zakat akan menghabiskan hartanya.[13]
Hal ini memahami kepada setiap muslim yang bijaksana akan senantiasa
menginvestasikan modalnya pada usaha yang produktif agar meningkatkan hartanya
dan dapat membayar zakat dari keuntungan yang diperolehnya kepada Badan Amil
Zakat, Infaq dan Shadaqah.
Hasil
pengumpulan Zakat, Infak dan Shadaqah dari masyarakat (umat Islam)
didayagunakan untuk kepentingan umat yang tidak mampu yang berhak memperoleh
bagian dari harta zakat (mustahiq). Pendayagunaan zakat, infaq dan shadaqah
harus didasarkan pada skala prioritas kebutuhan mustahiq. Selain itu, khusus
zakat harta pendayagunaannya harus diorientasikan pada usaha yang bersifat
produktif.
Menurut
M. Daud Ali proses pemanfaatan dana zakat dapat digolongkan kepada empat macam,
yaitu : pertama, mendayagunakan zakat yang bersifat konsumtif tradisional
artinya bahwa zakat itu langsung dibagikan kepada yang berhak menerimanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Kedua, mendayagunakan zakat yang
bersifat konsumtif kreatif, artinya bahwa pembagian zakat itu bukan berupa uang
atau makanan, tetapi berupa alat-alat sekolah atau beasiswa dan lain-lain.
Ketiga, mendayagunakan zakat yang bersifat produktif tradisional, artinya bahwa
bagian yang mereka terima dari harta zakat berupa barang yang produktif, sehingga
cukup sekali diberikan tetapi akan lebih besar keuntungan. Keempat,
mendayagunakan zakat yang bersifat produktif kreatif,23 maksudnya dana zakat
itu diberikan sebagai modal atau menambah modal yang telah ada dan dapat
digunakan pada pembukaan proyek atau usaha[14]
Bagaimanapun
cara menyalurkan zakat itu, tetap harus sesuai dengan hukum Islam yaitu
mengedepankan mereka yang lebih berhak dan lebih baik diarahkan pada
pengembangan usaha mustahiq.[15]
24 Sehingga mereka akan menjadi muzakki dan bukan lagi mustahiq. Orang yang
mampu semakin bertambah dan orang yang lemah semakin berkurang. Keadilan
ekonomi, sosial dan keamanan masyarakat akan tercipta.
Upaya
pendayagunaan harta zakat pada usaha produktif dimaksudkan agar mustahiq tidak
dididik menjadi masyarakat yang konsumtif. Ketika diberi harta dari zakat, maka
mustahiq berfikir bagaimana memanfaatkan harta zakat itu menjadi modal usaha.
Dengan begitu, pada saat pembagian zakat berikutnya ia tidak lagi menjadi
mustahiq, melainkan kalau mungkin menjadi muzakki[16]
Daftar Pustaka
Munawar Rachman, Budhy, 2011, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Pemikiran
Islam diKanvas Peradaban (Jakarta : yayasan abad demokras)
Ahmad Muhammad al-„Assal dan Fathi Ahmad
„Abdul Karim. Sistem Ekonomi Islam: Prinsip-Prinsip dan tujuan-tujuannya.
Terjemahan oleh Abu Ahmadi dan Umar Sitanggal. (Jakarta: Bina Ilmu, 1980)Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002)
Todaro, Michael P, dan Smith, Stephen C,
2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan( Jakarta : Penerbit
Erlangga). 21
Istiqomah, Supriyantini. 2008,
Pemberdayaan dalam konteks pengembangan masyarakat islam. Komunitas, Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam.
Raharjo, Dawam 1987, Perspektif
deklarasi mekkah menuju ekonomi Islam (Bandung ; Mizan)
Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi
Islam (Yogyakarta : Dana Bhakti. 1995)
Khaf ,Monzer, The Islamic Ekonomi
diterjemahkan oleh Husain Machnun dengan Judul Ekonomi Islam Telaah Analitik
terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam (Cet. II; Yogyakarta : Aditiya Madia,
2000)
Ali, M. Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat
dan Wakaf (Jakarta : UI Pres, 1988)
Mahmud Syaltout, Al-Islam Aqidah wa
Syari‟ah, diterjemahkan oleh Abdurrahman Zain dengan judul Islam Aqidah dan
Syari‟ah (Jakarta : Pustaka Amani, 1986)
Djazuli, H. A, Lembaga-Lembaga
Perekonomian Umat (, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
[1] Budhy Munawar Rachman, 2011, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Pemikiran
Islam diKanvas Peradaban (Jakarta : yayasan abad demokras), 634.
[2] Ibid.
[3] Ahmad Muhammad al-„Assal dan
Fathi Ahmad „Abdul Karim. Sistem Ekonomi Islam: Prinsip-Prinsip dan
tujuan-tujuannya. Terjemahan oleh Abu Ahmadi dan Umar Sitanggal. (Jakarta: Bina
Ilmu, 1980), h. 11
[4] Ahmad Muhammad al-Assal,
op-cit., h. 79-80
[5] 1Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), hal. 242
[6] Todaro, Michael P, dan Smith,
Stephen C, 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan( Jakarta :
Penerbit Erlangga). 21
[7] Ibid, 21.
[8] Ibid.
[9] Istiqomah, Supriyantini. (2008)
Pemberdayaan dalam konteks pengembangan masyarakat islam. Komunitas, Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam. (Online), Volume 4, Nomor 1, Juni, Halaman
65-78, Istiqomah (2008, h.67-68)
[10]
Dawam Raharjo, 1987, Perspektif deklarasi mekkah menuju ekonomi
Islam (Bandung ; Mizan)
[11] Dalam Keputusan Menteri Agama
Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat pada Pasal 1 ayat 1 Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah
adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari
unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat sesuai ketentuan agama
[12] Abdul Mannan, Teori dan Praktek
Ekonomi Islam (Yogyakarta : Dana Bhakti. 1995), h. 256
[13] Monzer Khaf, The Islamic Ekonomi
diterjemahkan oleh Husain Machnun dengan Judul Ekonomi Islam Telaah Analitik
terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam (Cet. II; Yogyakarta : Aditiya Madia,
2000). H. 103
[14] M. Daud Ali, Sistem Ekonomi
Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta : UI Pres, 1988) h. 62- 63
[15] Mahmud Syaltout, Al-Islam Aqidah
wa Syari‟ah, diterjemahkan oleh Abdurrahman Zain dengan judul Islam Aqidah dan
Syari‟ah (Jakarta : Pustaka Amani, 1986), h. 150
[16] H. A. Djazuli, Lembaga-Lembaga
Perekonomian Umat (, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002, h. 49
No comments:
Post a Comment