Friday 24 July 2015

Pemberdayaan Ekonomi Umat

Muhammad Arrizky Alamsyah
 Program Magister Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
 muhammadalamsyah0@gmail.com
A.  Pendahuluan
Ekonomi dan perdagangan global bukanlah sebuah gejala baru. Nabi Muhammad sendiri tidak menciptakan sistem dagang baru. Perdagangan yang dilakukan oleh Muhammad pada waktu masih muda sampai setelah menjadi Nabi dan para sahabatnya adalah suatu sistem perdagangan internasional yang berpusat di Byzantium, Konstantinopel. Karena itu uang yang berlaku ialah uang Byzantium, uang Yunani (dinnar, dirham). Orang Arab sendiri tidak memiliki uang.
Orang Islam baru memiliki atau menciptakan uang sendiri pada zaman Abd Al-Malik ibn Marwan, sehingga gambar Konstantin diganti dengan lafaz syahadat yang waktu itu ditentang oleh Yunani (Byzantium). Mereka berpikir uang semacam itu tidak akan laku, padahal laku juga karena daerah Islam lebih luas daripada daerah Byzantium.
Gambaran mengenai ekonomi Nabi adalah bahwa beliau tidak menciptakan sistem ekonomi yang baru, tetapi memberikan muatan moral kepada ekonomi itu. Jadi, biarpun menggunakan uang Yunani, namun ada ukuran-ukuran moral yang melibatkan paling tidak dua hal, yaitu ada cara yang benar memperoleh harta, dan ada cara yang benar untuk menggunakan harta. Hal ini tidak seperti kapitalisme. Mungkin kapitalisme juga menganut suatu paham bahwa ada caracara yang benar dalam memperoleh harta tetapi harta itu digunakan terserah kepada yang punya, termasuk dibakar sekalipun.[1]
Di dalam Islam membakar harta benda itu haram hukumnya, meskipun harta benda milik sendiri Inilah gambaran situasi ketika Madinah mengalami inflasi, lalu orang-orang datang kepada Nabi dan mengadukan tentang kenaikan harga-harga. Kemudian mereka minta Nabi untuk menetapkan harga. Di luar dugaan ternyata Nabi marah diminta melakukan penetapan harga seperti itu. Dikumpulkanlah orang di masjid dan beliau berpidato bahwa ia tidak mau menetapkan harga sebab itu berarti merampas hak dan laba orang. Kalau harga naik, apakah barangnya harus dijual murah. Lalu dikatakan bahwa ia tidak mau nanti ketemu Tuhan dan diperintah untuk mengembalikan apa yang ia rampas dari orang-orang hanya karena ia menetapkan harga. Lalu beliau bersabda, al-bay‘u ‘antarâdlin (jual beli itu harus sukarela). Artinya, biarpun mahal asal sukarela tetaplah sah.[2]
Kalau harus diwujudkan dalam bahasa sekarang, sepanjang mengenai hadis inflasi tadi, maka Islam mengajarkan ekonomi bebas namun harus disertai dengan akhlak (free market economy with morality ).
B.     Ekonomi Islam
Dalam bagian yang komprehensif Hukum Islam telah menerangkan tentang aturan berekonomi, termasuk elemen-elemen di dalamnya seperti produksi, distribusi dan konsumsi. Ungkapan ini merupakan pernyataan yang melegitimasi bahwa Islam dengan al Qurannya telah mengatur sistem ekonomi yang sempurna. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam mampu mengimbangi perkembangan sistem ekonomi yang berlaku di kalangan umat manusia.
Dalam perkembangan dewasa ini, ada dua sistem ekonomi yang paling berpengaruh di dunia, yaitu sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis. Sistem ekonomi kapitalis adalah suatu sistem ekonomi yang mengizinkan dimilikinya alat-alat produksi oleh pihak swasta, sedangkan sistem ekonomi Sosialis merupakan kebalikan dari sistem ekonomi Kapitalis yakni suatu sistem ekonomi di mana pemerintah atau pekerja memiliki serta menjalankan semua alat produksi; hingga dengan demikian, usaha swasta dibatasi dan mungkin kadang-kadang dihapuskan sama sekali.
Pada gilirannya, sistem ekonomi yang dianut oleh sekelompok manusia sesungguhnya berfungsi untuk mencapai tujuan atau hasil tertentu yang memiliki nilai yang ditetapkan dan bergantung kepada prioritas masyarakat atau negara penganut sistem tersebut. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin prioritas antara satu sistem ekonomi dengan ekonomi lainnya berbeda. Sistem Ekonomi Kapitalis lebih memprioritaskan individu dari pada kelompok, sedangkan sistem ekonomi sosialis lebih memprioritaskan kepentingan negara daripada kepentingan individu[3].
Berbeda dengan kedua sistem ekonomi diatas, Islam menerapkan sistem ekonominya dengan menggunakan moral dan hukum bersama untuk menegakkan bangunan suatu sistem yang praktis. Berkenaan dengan prioritas, Islam mengetengahkan konsep keseimbangan antara kepentingan individu (khusus) dan kepentingan negara (umum) yang bersumber kepada al-Qur‟an dan al-Sunnah.
Berdasarkan uraian itu, dapat dipahami bahwa ekonomi menurut Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al Quran dan al-Sunnah, dan merupakan bangunan yang didirikan diatas landasan- landasan tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa. Sehubungan dengan hal tersebut, al Quran dan al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam memegang peranan penting dalam memberikan dasar-dasar pada sistem perekonomian menurut Islam.
Prinsip-prinsip utama dalam Islam berkenaan dengan sistem ekonomi adalah dengan hajat manusia terhadap ekonomi, ciri-ciri ekonomi Islam, dan kebebasan ekonomi menurut Islam. Selain hal-hal tersebut, Islam dengan al-Qur‟an dan al-Sunnahnya juga menyinggung persoalan-persoalan yang berkaitan dengan faktor produksi, kerja menurut Islam, hak milik menurut Islam, akad dan pendayagunaan harta Konsep Islam tentang hakikat manusia menegaskan bahwa manusia itu adalah makhluk Allah, yang Allah menjadikan kepada pandangan manusia kecintaan kepada segala sesuatu yang diingini syahwatnya.
“dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” Ali Imran : 14
Namun demikian, Islam memperkenalkan manusia dengan menjelaskan pula fungsinya, yaitu disamping sebagai abid yang bertugas untuk beribadah kepada-Nya, juga sebagai khalifah yang bertugas mengurus bumi dengan seluruh isinya dan berkewajiban untuk memakmurkannya sebagai amanah dari Allah.
“Dan Dia yang menjadikan kamu kholifah-kholifah d bumi dan meninggikan sebagaian kamu atas sebagaian (yang lain) beberapa derajat, untuk menguji kamu melalui apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Al-An’am, Ayat; 165
Penjelasan diatas membuktikan konsep hakikat manusia menurut Islam berbeda dengan konsep yang dikemukakan oleh paham kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme mempunyai asumsi bahwa manusia itu serakah dan materialistis. Sedangkan sosialisme memahami hakikat manusia kepada dua jenis, yaitu hakikat manusia secara umum di mana manusia seperti yang dijumpai sehari-hari serakah dan materialistis dan hakikat manusia sebagai hasil dari suatu proses sejarah.
Konsep manusia itu sangat menentukan terhadap jalan yang ditempuh manusia dalam upaya merealisir kebutuhan hidupnya. Upaya memenuhi, menghasilkan dan membagikan kebutuhan manusia ini dinamakan dengan ekonomi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa konsep Islam dalam kegiatan ekonomi tidak hanya bertujuan untuk kehidupan dunia semata, tetapi bertujuan pula untuk kehidupan akhirat.
Selain itu, ekonomi menurut Islam memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dari sistem ekonomi hasil penemuan manusia. Diantara ciri-ciri tersebut adalah, bahwa ekonomi merupakan bagian dari sistem Islam secara integral dan ekonomi menurut Islam merealisir keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”, Al Qashash: 77.
Karena ekonomi menurut Islam merealisir keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum.
"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah, kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.", Hasyr ; 7
Ciri yang pertama merupakan ciri pembeda dengan sistem ekonomi hasil penemuan manusia yang memisahkan antara kehidupan ekonomi dan agama. Sedangkan ciri yang kedua merupakan ciri yang membedakan dengan sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis, dimana sistem kapitalis lebih mendahulukan kepentingan individu dan sistem Sosialis lebih mendahulukan kepentingan umum, sekalipun hak individu harus dilanggar.
Seiring dengan itu, Islam juga memberikan kebebasan kepada individu dan berekonomi, tidak seperti yang ditentukan oleh sistem Sosialisme; tetapi, Islam juga tidak melepaskannya tanpa kendali seperti yang dilakukan oleh sistem Kapitalis. Hal ini berarti bahwa kebebasan ekonomi menurut Islam adalah kebebasan yang terikat. Artinya, Islam tidak mengizinkan kepada individu kebebasan yang mutlak, tetapi mengikatnya kebebasan itu dengan batas-batas dari nilai-nilai Syari‟at. Islam menekankan bahwa kemerdekaan individu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi itu, terikat oleh syariat Islam
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu, dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku, dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya, Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.", Annisa :29
Individu dalam Islam diberikan kebebasan melakukan kegiatan ekonomi selama tidak dilarang oleh nash.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”, Al Baqoroh : 275
Berdasar pada uraian di atas dapat dipahami bahwa pengakuan Islam akan kebebasan ekonomi dengan menentukan ikatan-ikatan adalah bertujuan untuk merealisasikan dua hal. Pertama, agar kegiatan ekonomi berjalan sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam syari'at Islam. Kedua, terjaminnya hak negara dalam ikut campur, baik untuk mengawasi kegiatan ekonomi terhadap individu maupun untuk mengatur atau melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu ditangani oleh individu atau tidak mampu untuk mengeksploitasinya dengan baik[4].



C.    Pemberdayaan Ekonomi
Pemberdayaan menurut bahasa berasal dari kata daya yang berarti tenaga/ kekuatan, proses, cara, perbuatan memberdayakan.[5]Pemberdayaan adalah upaya yang membangun daya masyarakat dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya
Pemberdayaan diarahkan guna meningkatkan ekonomi masyarakat secara produktif sehingga mampu menghasilkan nilai tambah yang tinggi dan pendapatan yang lebih besar. Upaya peningkatan kemampuan untuk menghasilkan nilai tambah paling tidak harus ada perbaikan akses terhadap empat hal, yaitu akses terhadap sumber daya, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar dan akses terhadap permintaan
Ekonomi masyarakat adalah segala kegiatan ekonomi dan upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (basic need) yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat merupakan satu upaya untuk meningkatkan kemampuan atau potensi masyarakat dalam kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraan mereka dan dapat berpotensi dalam proses pembangunan nasional.[6]
Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut, pertama, Bahwa proses pemusatan kekuasan terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi, kedua, Pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat yang pengusaha pinggiran, ketiga, Kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi, keempat Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik, dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless).[7]
Dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat, pola pemberdayaan yang tepat sasaran sangat diperlukan, bentuk yang tepat adalah dengan memberikan kesempatan kepada kelompok miskin untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang telah mereka tentukan. Disamping itu masyarakat juga diberikan kekuasaan untuk mengelola dananya sendiri, baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak amil zakat, inilah yang membedakan antara partisipasi masyarakat dengan pemberdayaan masyarakat. Perlu difikirkan siapa sesungguhnya yang menjadi sasaran pemberdayaan masyarakat, sesungguhnya juga memiliki daya untuk membangun, dengan ini good governance yang telah dielu-elukan sebagai suatu pendekatan yang dipandang paling relevan, baik dalam tatanan pemerintahan secara luas maupun dalam menjalankan fungsi pembangunan. Good governance adalah tata pemerintahan yang baik merupakan suatu kondisi yang menjalin adanya proses kesejahteraan, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran, serta adanya saling mengontrol yang dilakukan komponen pemerintah, rakyat dan usahawan swasta.[8]
Dalam kondisi ini mengetengahkan tiga pilar yang harus diperlukan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Ketiga pilar tersebut adalah pemerintah, swasta dan masyarakat yang hendaknya menjalin hubungan kemitraan yang selaras. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri, kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Pemberdayaan masyarakat hendaknya mengarah pada pembentukan kognitif masyarakat yang lebih baik, untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses.
Ada dua upaya agar pemberdayaan ekonomi masyarakat bisa dijalankan, diantaranya pertama, mempersiapkan pribadi masyarakat menjadi wirausaha. Karena kiat Islam yang pertama dalam mengatasi masalah kemiskinan adalah dengan bekerja. Dengan memberikan bekal pelatihan, akan menjadi bekal yang amat penting ketikaakan memasuki dunia kerja.
Program pembinaan untuk menjadi seorang wiraswasta ini dapat dilakukan melalui beberapa tahap kegiatan, diantaranya, memberikan bantuan motivasi moril Bentuk motivasi moril ini berupa penerangan tentang fungsi, hak dan kewajiban manusia dalam hidupnya yang pada intinya manusia diwajibkan beriman, beribadah, bekerja dan berikhtiar dengan sekuat tenaga sedangkan hasil akhir dikembalikan kepada Dzat yang Maha Pencipta. Bentuk-bentuk motifasi moril itu adalah pelatihan usaha dan pemodalan.
Dalam jurnal Istiqomah, Pengembangan Masyarakat Islam menjelaskan adanya lima dalam memberdayakan umat antara lain, pertama, Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat sebagai peletakan sebuah tatanan sosial dimana manusia secara adil dan terbuka dapat melakukan usahanya sebagai perwujudan atas kemampuan dan potensi yang dimilikinya sehingga kebutuhannya (material dan spiritual) dapat terpenuhi.
Kedua, Pemberdayaan masyarakat tidak dilihat sebagai suatu proses pemberian dari pihak yang memiliki sesuatu kepada pihak yang tidak memiliki,
 Ketiga, Pemberdayaan masyarakat mesti dilihat sebagai sebuah proses pembelajaran kepada masyarakat agar mereka dapat secara mandiri melakukan upaya-upaya perbaikan kualitas kehidupannya.
Keempat, Pemberdayaan masyarakat tidak mungkin dilaksanakan tanpa keterlibatan secara penuh oleh masyarakat itu sendiri. Partisipasi bukan sekadar diartikan sebagai kehadiran tetapi kontribusi tahapan yang mesti dilalui oleh suatu dalam program kerja pemberdayaan masyarakat, kelima, Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya keterlibatan masyarakat dalam suatu program pembangunan tatkala masyarakat itu sendiri tidak memiliki daya ataupun bekal yang cukup.
Kelima prinsip turunan tersebut sebenarnya cerminan aktualisasi nilai Islam dalam memberikan pandangan hidup sehingga menunu tatanan kehidupan yang berdaya dan sejahtera. Kunci keberhasilan tersebut yakni penyatuan antara dimensi material dan spritual dalam kehidupan sosial.[9]



D.    Pemberdayaan Umat Melalui Zakat
Menurut Dawam Rahardjo, sebagai sebuah konsep yang dianggap sangat relevan dengan  persoalan-persoalan yang konkret zakat bisa jadi sebagai titik masuk terhdap perkembangan ekonomi, zakat sebagai bentuk ibadah, sudah banyak diketahui,  atau disampaikan oleh para ahli. Akan tetapi pandangan mengenai zakat masih belum luas dan hanya terbatas pada kesan bahwa zakat itu ikut membantu kaum muslimin dalam membangun masjid, madrasah,membiayai kegiatan dakwah.
Akan tetapi zakat sebagai instrument pokok dalam program pemberantasan kemiskinan atau pertumbuhan ekonomi dari bawah masih belum banyak mendapatkan perhatian,di Indonesia zakat lebih  banyak diamalkan dari pada di teorikan oleh karena itu tingkat kelaikannya cukuptinggi untuk diwujudkan sebagai suatu program pembangunan atau pengembangan masyarakat.[10]
Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah sebagaimana ditemukan dalam surat keputusan bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 1991/47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. Dalam pasal 1 SKB disebutkan bahwa Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah adalah lembaga swadaya masyarakat yang mengelola, penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan pemanfaatan zakat, infaq dan shadaqah secara berdaya guna dan berhasil guna.[11]
Berdasarkan keputusan tersebut, maka pengelola zakat memiliki tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan harta zakat umat Islam. Obyek atau sasaran dalam penerimaan dan pengumpulan yang dilakukan oleh pengelola selain zakat adalah infaq dan shadaqah dalam pemberdayaan ekonomi umat.         
Menurut Abdul Mannan, zakat merupakan pusat keuangan umat Islam meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat dapat mengikis ketamakan dan keserakahan bagi yang kaya, dalam bidang sosial, zakat merupakan alat yang khas diberikan Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan kepada orang kaya akan tanggung jawab sosial yang dimilikinya, sedangkan dalam bidang ekonomi, zakat dapat mencegah penumpukan kekayaan dalam tangan segelintir orang dan memungkinkan kekayaannya untuk disebarkan kepada yang berhak menerimanya sebelum terjadi bahaya besar di tangan pemiliknya.[12] Hal ini disadari dan dilaksanakan oleh pemilik kekayaan melalui zakat, maka menjadikan ekonomi diantara umat Islam secara adil dan seksama, sehingga si kaya tumbuh semakin kaya dan dapat menghapuskan kemiskinan. Oleh karenanya dalam istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari golongan kaya kepada golongan miskin. Tindakan ini akan mengakibatkan perubahan yang bersifat ekonomi dimana seseorang yang menerima zakat dapat mempergunakannya untuk mengkonsumsi atau memproduksi.
Monzer Khaf menyatakan bahwa zakat adalah sebagai hukuman atas orangorang yang mampu senantiasa menimbun harta dan tidak mau menginvestasikan hartanya pada usaha yang bersifat produktif, dimana secara perlahan tetapi meyakinkan pembayaran zakat akan menghabiskan hartanya.[13] Hal ini memahami kepada setiap muslim yang bijaksana akan senantiasa menginvestasikan modalnya pada usaha yang produktif agar meningkatkan hartanya dan dapat membayar zakat dari keuntungan yang diperolehnya kepada Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah.
Hasil pengumpulan Zakat, Infak dan Shadaqah dari masyarakat (umat Islam) didayagunakan untuk kepentingan umat yang tidak mampu yang berhak memperoleh bagian dari harta zakat (mustahiq). Pendayagunaan zakat, infaq dan shadaqah harus didasarkan pada skala prioritas kebutuhan mustahiq. Selain itu, khusus zakat harta pendayagunaannya harus diorientasikan pada usaha yang bersifat produktif.
Menurut M. Daud Ali proses pemanfaatan dana zakat dapat digolongkan kepada empat macam, yaitu : pertama, mendayagunakan zakat yang bersifat konsumtif tradisional artinya bahwa zakat itu langsung dibagikan kepada yang berhak menerimanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Kedua, mendayagunakan zakat yang bersifat konsumtif kreatif, artinya bahwa pembagian zakat itu bukan berupa uang atau makanan, tetapi berupa alat-alat sekolah atau beasiswa dan lain-lain. Ketiga, mendayagunakan zakat yang bersifat produktif tradisional, artinya bahwa bagian yang mereka terima dari harta zakat berupa barang yang produktif, sehingga cukup sekali diberikan tetapi akan lebih besar keuntungan. Keempat, mendayagunakan zakat yang bersifat produktif kreatif,23 maksudnya dana zakat itu diberikan sebagai modal atau menambah modal yang telah ada dan dapat digunakan pada pembukaan proyek atau usaha[14]
Bagaimanapun cara menyalurkan zakat itu, tetap harus sesuai dengan hukum Islam yaitu mengedepankan mereka yang lebih berhak dan lebih baik diarahkan pada pengembangan usaha mustahiq.[15] 24 Sehingga mereka akan menjadi muzakki dan bukan lagi mustahiq. Orang yang mampu semakin bertambah dan orang yang lemah semakin berkurang. Keadilan ekonomi, sosial dan keamanan masyarakat akan tercipta.
Upaya pendayagunaan harta zakat pada usaha produktif dimaksudkan agar mustahiq tidak dididik menjadi masyarakat yang konsumtif. Ketika diberi harta dari zakat, maka mustahiq berfikir bagaimana memanfaatkan harta zakat itu menjadi modal usaha. Dengan begitu, pada saat pembagian zakat berikutnya ia tidak lagi menjadi mustahiq, melainkan kalau mungkin menjadi muzakki[16]


 Daftar Pustaka
Munawar Rachman, Budhy, 2011, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Pemikiran Islam diKanvas Peradaban (Jakarta : yayasan abad demokras)
Ahmad Muhammad al-„Assal dan Fathi Ahmad „Abdul Karim. Sistem Ekonomi Islam: Prinsip-Prinsip dan tujuan-tujuannya. Terjemahan oleh Abu Ahmadi dan Umar Sitanggal. (Jakarta: Bina Ilmu, 1980)Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
Todaro, Michael P, dan Smith, Stephen C, 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan( Jakarta : Penerbit Erlangga). 21
Istiqomah, Supriyantini. 2008, Pemberdayaan dalam konteks pengembangan masyarakat islam. Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam.
Raharjo, Dawam 1987,  Perspektif deklarasi mekkah menuju ekonomi Islam (Bandung ; Mizan)
Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta : Dana Bhakti. 1995)
Khaf ,Monzer, The Islamic Ekonomi diterjemahkan oleh Husain Machnun dengan Judul Ekonomi Islam Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam (Cet. II; Yogyakarta : Aditiya Madia, 2000)
Ali, M. Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta : UI Pres, 1988)
Mahmud Syaltout, Al-Islam Aqidah wa Syari‟ah, diterjemahkan oleh Abdurrahman Zain dengan judul Islam Aqidah dan Syari‟ah (Jakarta : Pustaka Amani, 1986)
Djazuli, H. A, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002)




[1] Budhy Munawar Rachman, 2011, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Pemikiran Islam diKanvas Peradaban (Jakarta : yayasan abad demokras), 634.
[2] Ibid. 
[3] Ahmad Muhammad al-„Assal dan Fathi Ahmad „Abdul Karim. Sistem Ekonomi Islam: Prinsip-Prinsip dan tujuan-tujuannya. Terjemahan oleh Abu Ahmadi dan Umar Sitanggal. (Jakarta: Bina Ilmu, 1980), h. 11
[4] Ahmad Muhammad al-Assal, op-cit., h. 79-80
[5] 1Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 242
[6] Todaro, Michael P, dan Smith, Stephen C, 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan( Jakarta : Penerbit Erlangga). 21
[7] Ibid, 21.
[8] Ibid.
[9] Istiqomah, Supriyantini. (2008) Pemberdayaan dalam konteks pengembangan masyarakat islam. Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam. (Online), Volume 4, Nomor 1, Juni, Halaman 65-78, Istiqomah (2008, h.67-68)
[10]  Dawam Raharjo, 1987,  Perspektif deklarasi mekkah menuju ekonomi Islam (Bandung ; Mizan)
[11] Dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pada Pasal 1 ayat 1 Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai ketentuan agama
[12] Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta : Dana Bhakti. 1995), h. 256
[13] Monzer Khaf, The Islamic Ekonomi diterjemahkan oleh Husain Machnun dengan Judul Ekonomi Islam Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam (Cet. II; Yogyakarta : Aditiya Madia, 2000). H. 103
[14] M. Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta : UI Pres, 1988) h. 62- 63
[15] Mahmud Syaltout, Al-Islam Aqidah wa Syari‟ah, diterjemahkan oleh Abdurrahman Zain dengan judul Islam Aqidah dan Syari‟ah (Jakarta : Pustaka Amani, 1986), h. 150
[16] H. A. Djazuli, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002, h. 49

No comments:

Post a Comment