BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan dunia terapi
psikoproblem (psikoterapi) sekarang sejalan dengan kamajuan masyarakat.
Pekerjaan di masyarakat kita sudah terdiferensiasi kearah yang lebih baik.
Pekerjaan-pekerjaan yang semula satu jenis, kini mulai terbagi menjadi
bagian-bagian yang amat spesifik, misalnya konseling sebagai salah satu
hubungan pemberian bantuan yang profesional. Dalam perkembangan terakhir ini
kita ketahui bahwa konseling ini begitu sangat pesat baik dari segi riset-riset
yang dilakukan maupun teknik-teknik yang dikembangkan.
Diantara berbagai disiplin ilmu, yang memiliki kedekatan
hubungan dengan konseling adalah psikologi, bahkan secara khusus dapat
dikatakan bahwa konseling merupakan aplikasi dari psikologi, terutama jika dilihat
dari tujuan , teori yang digunakan, dan proses penyelenggaraan. Dalam
penyelenggaraan konseling dan psikoterapi tersebut seorang konselor atau
psikoterapis menggunakan berbagai model pendekatan.
Dapat kita simak pendapat William James seorang ahli psikologi
dari Amerika Serikat yang mengatakan bahwa tidak diragukan lagi, bahwa terapi
yang terbaik bagi keresahan jiwa adalah kimanan kepada Tuhan. Menurutnya
keimanan kepada Tuhan adalah salah satu kekuatan yang tidak boleh tidak harus
dipenuhi untuk membimbing seseorang dalam hidup ini. Ia melanjutkan bahwa
antara manusia dan Tuhan terdapat ikatan yang tidak terputus, apabila manusia
menundukkan diri di bawah pengarahannya, cita-cita dan keinginan manusia akan
tercapai. Manusia yang benar-benar relegius akan terlindung dari keresahan dan
selalu terjaga keseimbangannya dan selalu siap untuk menghadapi segala
malapetaka yang terjadi.[1]
Bahkan menurut Ar-nold Toynbee; sejarawan asal Inggris,
krisis yang dialami oleh bangsa-bangsa Eropa pada zaman modern ini adalah
disebabkan oleh karena ‘kemiskinan spiritual’ sehingga jalan untuk
menyembuhkannya adalah tiada lain kembali kepada agama.[2]
Agama Islam yang ajarannya sangat kompleks telah memberikan
bimbingan terhadap hamba-Nya untuk dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani
kehidupan di dunia ini, yang kesemuanya
terangkum dalam praktik ibadah shalat. Karena shalat merupakan inti
dalam ajaran Islam.
Shalat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh (khusyu’)
mewujudkan ubudiyah yang benar-benar karena Allah, ikhlas, pasrah, rendah diri
terhadap dzat yang maha tinggi. Di dalam shalat; mereka meminta segala sesuatu
kepada Allah dan meminta dari-Nya hidayah untuk menuju jalan yang lurus, dan
Allah-lah maha kaya lagi mulia.
Shalat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik untuk
mendidik jiwa dan memperbaharui semangat dan sekaligus sebagai pensucian
akhlak. Bagi pelakunya sendiri, shalat itu merupakan tali penguat yang dapat
mengendalikan, ia adalah pelipur lara dan mengamankan dari rasa takut dan
cemas, juga memperkuat kelemahan, dan senjata bagi yang merasa terasing.[3]
Dengan shalat kita dapat memohon pertolongan atas ujian
zaman, tekanan orang lain dan kekejaman para durjana. Shalat juga sebagai
pencegahan dan pengobatan bagi gangguan kejiwaan.[4]
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas maka memunculkan rumusan masalah sebagai berikut
“Implikasi Shalat dalam Terapi Psikoproblem”
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Psikoproblem
Istilah psikoproblem terdiri dari dua kata, yaitu psike dan problem. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kontemporer psike memiliki tiga pengertian; yaitu
(1) berarti jiwa manusia, (2) berarti pikiran, dan (3) berarti pelaksanaan
kegiatan psikologis yang terdiri atas bagian sadar dan bagian tak sadar.
Sedangkan problem memiliki arti persoalan atau masalah.
Dari pengertian tersebut maka psikoproblem dapat diartikan sebagai masalah atau persoalan yang
berhubungan dengan jiwa manusia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia jiwa
memiliki arti; (1) roh manusia (yang ada dalam tubuh yang menyebabkan hidup),
(2) seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran,
angan-angan, dan sebagainya).
Di dalam ilmu psikiatri
[5] (Kesehatan Jiwa) dipakai istilah “jiwa”
dan tidak lagi dipakai istilah “roh”. Karena hal-hal yang berhubungan dengan
roh atau ruh ( وح ر ) itu masuk urusan Allah. Sekarang kita mengetahui bahwa setiap
manusia mempunyai jiwa. Akan tetapi apa dan bagaimana jiwa itu, tidak kita
ketahui. Yang dapat kita ketahui dan pelajari adalah manifestasinya. Jiwa
bermanifestasi dalam bentuk perasaan, akal fikiran dan perbuatan.
Sebagai contoh manifestasi jiwa adalah:
“kalau
saya sedang duduk merenung, dalam diri saya tidak diam. Dalam diri saya itu
berlangsung bermacam-macam hal. Saya teringat pada waktu saya lulus ujian
masuk. Saya masih dapat menangkap atau membayangkan dengan jelas saat kepala
sekolah datang mengumumkan hasil ujian kepada kami. Mula-mula cemas karena ragu-ragu,
setelah itu rasa gembira yang meluap-luap. Saya lulus ? lalu saya pun
melanjutkan khayal saya itu. Terus menuntut ilmu. Terus meneruskan tidak
henti-hentinya saya ingin mencapai sesuatu.”[6]
Apa yang dikemukakan dalam kutipan tersebut merupakan pernyataan-pernyataan (manifestasi)
jiwa “saya”. Pernyataan-pernyataan jiwa itu dinamakan gejala psychis atau jiwa. Gejala-gejala psychis itu adalah menangkap, mengingat,
memikir, merasa, menghendaki, dan sebagainya. Gejala psychis itu tidak terpisah-pisah yang satu dari yang lain.
Masalah atau persoalan yang berhubungan dengan jiwa itu
dipengaruhi oleh faktor gangguan dalam pergaulan, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Anna dalam bab pengantarnya ia
mengatakan:
“Dalam kedokteran kita menemukan penyakit yang disebabkan oleh virus,
baksil atau racun, tetapi dalam ilmu paikoterapi hanya ada satu penyebab
penyakit, yaitu gangguan dalam pergaulan, pergaulan sejak kita dilahirkan.”[7]
Adanya gangguan dalam pergaulan tersebut maka manusia
akan menemui berbagai kendala dalam melangsungkan hidupnya di masyarakat, ia
akan menemui berbagai tekanan jiwa (masalah macam-macam tekanan jiwa akan
dibahas dalam sub-bab setelah bahasan ini) yang akhirnya manusia akan mengalami
stress, depresi dan gangguan jiwa lainnya.
Menurut Sukardi[8]
dalam kehidupan sehari-hari psikoproblem mucul disebabkan karena beberapa macam
seperti; masalah-masalah pribadi, percintaan, rumah tangga, kerja, dan
lain-lain.
Masalah-masalah pribadi dianggap sebagai sesuatu yang
menganggu dan jarang sekali orang melihat masalah-masalah pribadi ini dari
kacamata proses perkembangan dan pendewasaan pribadi. Bahkan banyak orang
menanggapi masalah pribadi ini sebagai penderitaan seumur hidup.
Dalam kehidupan rumah tangga banyak juga muncul
psikoproblem yang dikarenakan terjadinya gangguan komunikasi antara
suami-istri, kekecewaan terhadap partner
dan lain sebagainya.
Dalam dunia kerja
masalah psikoproblem biasa muncul akibat adanya dua faktor yaitu: office politicking dan power game[9]. Ada
semacam konsesus bahwa dalam dunia kerja dibutuhkan office politicking dan power
game. Dan ada konsesus pula bahwa
jangan sampai kedua hal ini mengalahkan etos kerja. Sekali gejala itu
lebih dominan dari etos kerja, suasana kerjapun menjadi tidak sehat lagi
seperti yang diungkapkan oleh Horne dan fromm: dunia kerja menjadi penghasil
manusia-manusia patologis yang pada gilirannya menjadi orang tua yang tidak
efektif.
B.
Pengertian
Shalat
Dalam arti yang asli, shalat ialah do’a kebaikan. Dan menurut
bahasanya dalam syari’at, shalat adalah beberapa perkataan dan perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu.[10]
Secara dimensi fiqh shalat adalah beberapa ucapan atau rangkaian ucapan dan
perbuatan (gerakan) yang dimulai dengan salam, yang dengannnya kita beribadah
kepada Allah, dan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama.
Menurut Ash-Shiddieqiy pengertian shalat dibedakan menjadi
beberapa ta’rif yang menerangkan
hakikat shalat dan jiwanya:
a.
Pengertian yang melukiskan haqieqatush shalat, atau
“sir” (rupanya yang batin) atau hakikat.
Shalat berarti berhadap hati (jiwa) kepada Allah, dengan mendatangkan
takut kepada-Nya, serta menumbuhkan
didalamnya jiwa rasa keagungan kebesaran-Nya dan kesempurnaan
kekuasaan-Nya.
b. Pengertian
yang menggambarkan ruhus shalat (jiwa shalat)
Ruh shalat itu ialah berharap kepada Allah dengan sepenuh jiwa, dengan
segala khusyu’ di hadapan-Nya dan berikhlas bagi-Nya, serta hadir hati dalam
berdzikir, berdo’a dan memuji.
c.
Pengertian yang melengkapi rupa hakikat dan jiwa shalat
Shalat berarti berhadap hati (jiwa) kepada Allah SWT., hadap yang
mendatangkan takut, menumbuhkan rasa kebesaran-Nya dan kekuasaan-Nya dengan
penuh khusyu’ dan ikhlas di dalam beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai
dengan takbir disudahi dengan salam.
Shalat dengan pengertian yang tersebut ini (pengertian
hakikatnya) di dalam Islam lahir dalam bentuk yang indah, didalamnya terkandung
hikmah bahwa di dalam shalat itu terdapat tawajjuh
(usaha berhadap diri kepada Allah) dan do’a
(seruan memohon hajat dan ampunan kepada Allah swt).
Shalat yang baik dan benar harus memiliki roh. Maksud
dari roh shalat atau jiwa shalat adalah khusyu’,
hadir hati, dan ikhlas. Ayat al-qur’an yang memerintahkan shalat dengan khusyu’
adalah Q.S. al-Baqarah (2): 238
حافظوا علىالصلوت
والصلوة الوسطى وقوموالله قنتين
Artinya: Peliharalah segala
shalatmu, dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu’.[11]
Menurut pengertian bahasa, khusyu’ dalam shalat berarti
khudu’ . keduanya memiliki arti yang
sama yaitu merendahkan diri. Dalam segi suara, khusyu’ berarti diam. Sedangkan dalam hal pandangan mata, khusyu’ menundukkan mata.[12]
Para ulama mempunyai pengertian sendiri mengenai khusyu’. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa khusyu’ itu mencegah penglihatan dari
keharaman dan merendahkan diri. Kemudian Amr bin Dinar berkata bahwa khusyu’ adalah tenang dan gerakan yang
baik dalam mengerjakan shalat. Ibn Sirrin berkata bahwa khusyu’ adalah konsentrasi
pikiran tentang shalat dan lepas dari pemikiran lainnya.[13]
Sedangkan Ibn Jubair berkata bahwa
khusyu’ adalah tetap mengarahkan
fikiran kepada shalat sehingga tiada mengetahui orang sebelah kanan sebelah
kiri. Atha’ berpendapat bahwa khusyu’ adalah tiada mempermain-mainkan tangan, tidak
memegang-megang benda dalam shalat.
Dari beberapa devinisi diatas dapat disimpulkan, khusyu’ adalah amalan hati; suatu
keadaan yang mempengaruhi jiwa, membekas pada anggota badan seperti tenang dan
menundukkan diri.
Khusyu’ memiliki
kedudukan yang penting dalam shalat, karena orang yang mengerjakan shalat pada
dasarnya bermunajat kepada Allah. Sedangkan apabila bermunajat dalam keadaan
lengah, maka tidak disebut bermunajat sama sekali. Oleh karenanya, orang yang
mendirikan shalat dengan khusyu’ pantas mendapatkan keberuntungan seperti
disebut dalam surat al- Mu’minun (23): 1-2
قد
افلح المؤ منون * الذين هم في صلو تهم خا شعون
Artinya: sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya.[14]
Roh shalat yang kedua adalah hadir hati. Hadir hati
adalah memusatkan segala fikiran kepada yang dikerjakan (shalat), tidak
berpaling kepada yang lainnya. Jadi hati harus kosong dari selain apa yang
sedang dikerjakan dan diucapkan, sehingga kesadaran berbuat dan berucap selalu
bersama-sama dengan perbuatan dan ucapan. Kemudian untuk dapat mengantarkan
fikiran kepada apa yang sedang dikerjakan dan diucapkan itu, maka bacaan yang
diucapkan dalam shalat itu harus dimengerti, dipahami, dan dihayati.
Pada dasarnya mendirikan shalat sedang bermunajat,
berkomunikasi dengan Tuhan. Sehingga telah nyata bahwa kedudukan mengerti,
memahami, dan menghayati bacaan shalat ketika mendirikan shalat, menempati
posisi yang penting.[15]
Allah telah melarang hamba-Nya untuk shalat dalam keadaan tidak mengerti apa
yang diucapkan. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nisa’ (4): 43
يايهاالذين امنوالا
تقربوا الصلوة وانتم سكارى حتى تعلمواما تقولون......
Artinya: Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk. Sehingga
kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…[16]
Bacaan yang dimengerti, dipahami, dan dihayati akan
mengantarkan jiwa manusia untuk berkomunikasi dengan Allah. Dapat menyadarkan
manusia dari keagungan, kebesaran Allah dan kehinaan manusia. Sehingga diharapkan
terapresiasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ucapan-ucapan yang dimengerti,
dipahami dan dihayati seharusnya diterjemahkan dalam perilaku, perkataan dan
perbuatan manusia baik sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial. Apabila
manusia dapat mengerti, memahami, menghayati dan melakukan apa yang diucapkan
dalam shalat maka akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar serta lebih
siap menghadapi persoalan/problem hidup.
Roh shalat yang ketiga adalah ikhlas. Ikhlas adalah
niat hati yang murni hanya untuk memperoleh keridhoan Allah semata.[17]
Mendirikan shalat merupakan salah satu ibadah kepada Allah dan bukti seseorang
hambah membutuhkan khaliqnya. Oleh karena itu dalam menjalankan ibadah kepada
Allah diperintahkan untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah saja,
sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya surat al-Mu’minun (40): 14
فادعواالله مخلصين له
الدين ولوكره الكفرون
Artinya: Maka sembahlah Allah
dengan memurnikan ibadah kepada-Nya , meskipun orang-orang kafir tidak
menyukainya.[18]
Dengan demikian dalam mendirikan shalat harus
diikhlaskan karena Allah bukan karena pengaruh yang lain, tidak mengharapkan
sanjungan dan perhatian umum, sebagimana telah diperintahkan oleh Allah dalam
surat al-A’raf (7): 29
قل
امرربي بالقسط واقيموا وجوهكم عند كل مسجد وادعوه مخلصين له الدين كمابداكم تعودون
Artinya: Katakanlah: “Tuhan-ku
menyuruh menjalankan keadilan.” Dan katakanlah, “Luruskanlah mukamu disetiap
shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaanmu kepada-Nya.
Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu
akan kembali kepada-Nya.”[19]
Hal senada diungkap pula dalam surat al-An’am (6): 162
قل ان صلاتي ونسكي
ومحياي ومماتي لله رب العالمين
yang artinya: Katakanlah:
“sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam.[20]
Ayat ini memerintahkan mengikhlaskan shalat dan seluruh ibadah yang lain bahkan
hidup mati hanya untuk Allah.
C.
Implikasi
Shalat dalam Terapi Psikoproblem
Setiap manusia memerlukan sesuatu di luar dirinya yang
mempunyai kekuatan, kebijaksanaan dan kemampuan yang melebihinya. Karena tidak
selamanya manusia mampu menghadapi kesukaran dan keperluan hidupnya sendirian,
bahkan juga keperluan kejiwaan, yang akan mempengaruhi kesehatan jiwanya.
Sesuatu itu harus selalu ada, disaat apapun ia memerlukannya, terutama ketika
menghadapi kesulitan dan kesukaran yang tak terpecahkan. Bagi orang beragama
sesuatu adalah keimanan yakni keimanan kepada Allah SWT.[21]
Keimanan (rasa keagamaan) bukanlah perasaan yang hanya
bersandar pada formalitas agama, tanpa subtansi, atau sekedar penunaian seruan
ajaran yang dimanfaatkan untuk menyatakan kepentingan diri sendiri. rasa
keagamaan, sebaliknya ialah pemahaman secara intens dan pengamalan terhadap agama, sehingga terjadi keselarasan
dalam menyembah Allah dan hidup bermasyarakat. Dengan begitu agama serta para
pemeluknya tidak akan terisolasi dari realitas kehidupan.
Dalam Islam, keimanan merupakan ajaran yang terpenting yang
berdiri atas bangunan dua kalimah syahadat. Pernyataan syahadat ini tidak
berarti dan berpengaruh apa-apa tanpa adanya penghayatan dan disertai dengan
pengamalan nilai-nilai ibadah yang dikandung – dalam hal ini ibadah shalat –
dan demikianlah bahwa iman selalu disertai dengan amal.
Buah iman adalah amal. Dan amalan yang pokok dalam ajaran
Islam adalah shalat. Didalam al-Qur’an Allah telah menegaskan bahwa shalat
adalah suatu rangka pokok iman. Shalat merupakan ibadah terpokok dan terpenting
dalam Islam. Shalat menjadi kewajiban setiap muslim, terutama yang sudah baligh
atau dewasa. Dan perlu ditekankan disini bahwa shalat mencakup semua rukun
Islam.[22]
Seorang yang shalat wajib membaca dua kalimat syahadat. Setelah takbiratul
ihram seorang yang shalat diharamkan makan dan minum atau mengucapkan apapun,
kecuali bacaan yang sudah disyari’atkan,
ini berarti ia berpuasa dari apa yang diharamkan didalam shalat.
Keimanan yang dimanifestasikan dalam bentuk shalat, dimana
shalat merupakan satu bentuk ibadah yang didalamnya berisi olah rohani, sebagai
penyeimbang olah jasmani. Shalat disini tidak hanya sekedar “dilakukan” tetapi
juga harus “didirikan”.
Shalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka
menghadapkan wajahnya kepada Allah sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala
shalat itu dilakukan secara tekun dan kontinyu, akan menjadi alat pendidikan
rohani yang efektif, memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk
pertumbuhan kesadaran. Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan
bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani dilatih menghadapi
Zat Yang Maha Suci, efeknya akan membawa kesucian rohani dan jasmani.
Jelas bahwa Islam tidak sekedar memerintahkan manusia untuk
“melakukan” shalat tetapi “mendirikan” shalat, yang mengandung pengertian yang
dalam, yaitu mengkonsentrasikan pikiran dan perasaan, penyucian roh, jiwa dan
badan, serta kekhusyu’an anggota badan. bahwa khusyu’ memiliki pengaruh besar
dan kuat bagi jiwa seseorang, karena khusyu’ dapat mengantarkan seseorang kepada hal-hal sebagai berikut:
1.
Menumbuhkan kemampuan untuk berkonsentrasi. Ketika
sesorang akan mengerjakan shalat untuk menghadap Tuhanya, biasanya akan muncul
hal-hal lain dalam pikirannya. Maka dia harus berusaha untuk menghilangkan
pikiran tersebut supaya dapat hadir ketika mengagungkan dan bermunajat kepada
Allah. Cara ini akan membantu terbentuknya daya konsentrasi pada diri
seseorang.
2.
Dapat mempengaruhi jiwa seseorang dikala ruhnya
berhubungan dengan Tuhan dan menjadi khusyu’ kepada-Nya, sekalipun dalam waktu
sebentar. Pengaruh khusyu’ bagi jiwa ini merupakan suatu hal yang pasti
terjadi. Karena ruh seseorang yang tidak pernah berkomunikasi terhadap Dzat
yang menciptakannya atau bahkan jarang, maka akan muncul dalam dirinya rasa
gelisah, tidak qana’ah, cinta dunia, bingung dan lain sebaginya. Tetapi dengan
shalat dan bermunajat kepada Allah SWT, seseorang akan dapat berserah diri dan
meminta apa saja yang dikehendaki sehingga ia merasa lega dari perasaan-perasaan yang menyertainya.
Selain itu, ia akan mencari kekuatan, rasa qana’ah dan ridho dengan memohon kepada Allah SWT.
Jika mushalli semakin khusyu’ dan dekat dengan Allah maka
semakin bertambah keyakinannya terhadap Allah SWT, sehingga ia tidak mengenal
putus asa dan keluh kesah dalam hatinya. Selain itu dia juga akan memilki jiwa
yang kuat dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kecil maupun besar dalam
kehidupannya.
3.
Khusyu’ membuat seseorang memiliki sifat rendah hati,
sebab ia melihat keangungan Allah, dan sifat tawadhu’ karena ia melihat
kemegahan-Nya. Sifat-sifat inilah yang harus dimiliki oleh hamba Allah SWT.
Seseorang yang meninggalkan tabiatnya
dan mengikuti keinginan hawa nafsunya maka akan muncul dalam dirinya sifat
sombong atau bahkan sifat yang lebih jelek dari itu. hal ini terjadi karena
manusia keluar dari tabi’atnya dengan tidak mengagungkan Allah dan memujinya.
4.
Shalat merupakan bentuk wasilah mensyukuri
nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Adalah menjadi kewajiban
seorang muslim untuk tunduk kepada Dzat
yang memberikan nikmat dan menyembah kepada-Nya. Salah satu bentuknya adalah
dengan melaksanakan shalat. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat
berarti ia ingkar terhadap nikmat Tuhan, Dzat yang maha Mulya dan Agung,
menyia-nyiakan hak dan kewajiban atasnya, melangggar sumpah (ikrar) untuk
beramal kepada-Nya dan ingkar untuk mengakui keutamaan Dzat yang memberi rizki
kepadanya.
Zakiah mengatakan bahwa dengan terlaksananya shalat wajib
lima kali sehari semalam secara sempurna akan bersihlah jiwa dari berbagai
dorongan dan keinginan yang bertentangan dengan ketentuan Allah. Dan kekuatan
iman pun dapat mengendalikan dorongan hawa nafsu yang tidak mengenal aturan,
nilai dan sopan santun, bahkan sering didukung dan didorong-dorong oleh setan
yang selalu mencari kesempatan untuk menghasut manusia berbuat salah.
Keadaan seperti diatas akan mengangkat jiwa manusia diatas
dorongan-dorongan jasmani, membebaskannya dari belenggu-belenggu hawa nafsu dan
menutup pintu syaitan. Orang yang mendirikan shalat dalam arti serius akan
dijauhkan oleh Allah dari sifat keluh kesah dan kikir seperti yang terdapat
pada kebanyakan orang.
Dalam sebuah kasus
yang pernah ditangani oleh Zakiah, penyembuhan dapat diatasi dengan menggunakan
terapi shalat:
Pada suatu senja, sepasang suami istri datang menghadap
kepada ahli jiwa untuk memohon dibantu dalam meyelesaikan persoalan yang mereka
hadapi. Suami tampaknya seorang yang berada, tampan dan berwibawa, sedang istri
halus, lembut dan parasnya cantik. Sepintas lalu tampaknya pasangan itu serasi
dan bahagia, akan tetapi setelah didengar keluhan dan pengalaman yang mereka
lalui dalam kehidupan rumah tangga yang telah berjalan 15 tahun, maka pendapat
kita akan berubah, karena kehidupan mereka tidak pernah tentram. Rupanya suami
yang tampaknya berwibawah dan tampan itu, telah banyak berbuat salah di luar
rumah, banyak wanita cantik yang memuja dan mengejarnya, kadang-kadang diantara
mereka itu ada yang dibawanya kerumah. Si istri merasa takut bicara karena
setiap kali ia mulai bertanya atau berkomentar tentang wanita yang dibawah
suaminya itu, ia selalu dimarahi dan disuruh bungkem. Pada mulanya istri tampak
menerima kenyataan itu, Karena ia merasa bahwa ia menopangkan hidupnya kepada
suaminya yang mampu mencukupi segala keperluannya. Suami semakin bangga diri
dan telah meninggalkan shalat sejak beberapa tahun. Ia tenggelam dalam
kesenangan lahiriah, pada suatu malam istrinya berkata: “sudah lama kita
berkeluarga, kita tidak pernah bertengkar, namun hati saya tidak pernah tenang,
saya tidak pernah merasakan lagi kasih saying Abang. Abang sibuk dengan
wanita-wanita cantik lain, sedangkan saya Abang kurung dalam sangkar emas yang
indah ini. Saya tidak sanggup meneruskan hidup seperti ini, biarlah saya
tinggal digubuk buruk, makan dan minum seadanya. Marilah kita besok pergi ke
kantor urusan agama, dan ceraikan saya secara baik.”
Sang suami terperanjat, seolah-olah ia disambar petir
mendengar ucapan istrinya itu. terbayang diruang matanya semua perlakuan kepada
istrinya selama ini, ia selalu mengatakan bahwa istrinya itu bodoh, tidak
mengerti apa-apa, bahkan dia teringat ucapan kepada istrinya di satu hari: “Ah
diam kau, jangan banyak tanya, tahu apa orang perempuan.” Lama dia terdiam,
pikirannya melayang ke masa-masa dimana
dirinya sebagai bintang yang diagungkan oleh wanita-wanita cantik yang tidak
berakhlak, sehingga hidupnya dipenuhi oleh dosa dan lupa kepada Allah. Setelah
sadar, dengan nada lembut, ia membujuk istrinya untuk bersabar, karena ia akan
bertaubat dan mohon ampun kepada Allah, serta memperbaiki perlakuan terhadap
istrinya. Istri menolak, karena dia telah jenuh dengan kehidupan tidak
menetramkan itu.
Rupanya persoalan itu tidak teratasi lagi, karena itulah
suami terpikir untuk minta tolong kepada seorang ahli jiwa. Beberapa kali
pertemuan berlangsung dengan ahli jiwa tersebut, kadang-kadang mereka bersama
masuk ke ruang konsultasi, kadang-kadang bergantian agar masing-masing dapat
mengungkapkan seluruh perasaan yang mencekam di dada mereka masing-masing.
Sejak berkonsultasi itu suami mulai shalat kembali, dan
memohon ampun kepada Allah atas segala dosa yang telah dibuatnya. Pada mulanya
ia tidak berani mohon ampun kepada Allah, takut, jangan-jangan Allah murka, dan
tidak mau mengampuni kesalahannya. Kepadanya dikatakan bahwa Allah Maha
Pengampun dan menyuruh manusia untuk minta ampun.
Setelah beberapa kali pertemuan konsultasi, tampaknya istri
mulai dapat menerima permintaan suami, agar tidak bercerai. Rupanya terbuka
hatinya melihat suaminya yang mau shalat, bahkan sangat rajin dimana
kadang-kadang ia bangun tengah malam untuk shalat tahajut.[23]
Itulah contoh kasus problem keluarga yang akhirnya klien
mampu mengatasi problemnya dengan melaksanakan shalat. Mendirikan shalat
berarti meluruskan pandangan hidup kearah keabadian sejati, yaitu keridhaan
Allah, bersandar pada hukum-hukum Allah, karena dengan hukum-hukum dan aturan
Allah sajalah yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan.
Dalam Islam shalat dicanangkan sebagai pembersih jiwa,
pelembut kalbu dan penghias manusia dengan keutamaan-keutamaan perasaan tunduk,
khusyu’, hadir, akrab, mohon kepada Allah dan dekat dengan-Nya. Dalam bab
sebelunya penyusun sudah membahas tentang shalat dan pengaruhnya dalam jiwa. Di
sana secara teoritis ditemukan bahwa sesorang yang melakukan shalat dengan
sempurna akan lebih mampu menghadapi segala persoalannya, ini diperkuat juga dalam contoh kasus yang
dijelaskan di atas.
Dadang Hawari[24]
mengungkapkan bahwa do’a atau shalat yang dilakukan sehari semalam sebanyak
lima kali merupakan kekuatan spiritual yang akan mampu memberikan kebutuhan
akan rasa aman dan terlindungi bagi setiap manusia. Zakiah mengungkapkan hal
yang sama, bahwa shalat sebagai obat (kuratif)
bagi gangguan kejiwaan dan shalat sebagai pencegahan (preventif) terhadap gangguan kejiwaan.
BAB III
PENUUTUP
A. KESIMPULAN
Keimanan yang
dimanifestasikan dalam bentuk shalat, dimana shalat merupakan satu bentuk
ibadah yang didalamnya berisi olah rohani, sebagai penyeimbang olah jasmani.
Shalat disini tidak hanya sekedar “dilakukan” tetapi juga harus “didirikan”.
Shalat merupakan
aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan wajahnya kepada Allah
sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu dilakukan secara tekun dan
kontinyu, akan menjadi alat pendidikan rohani yang efektif, memperbaharui dan
memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran. Makin banyak
shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan keterpaksaan, maka
semakin banyak pula rohani dilatih menghadapi Zat Yang Maha Suci, efeknya akan
membawa kesucian rohani dan jasmani.
B.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
·
Tarmizi,
Kesehatan Jiwa (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), hlm. 8
·
Gazali,
et al., Ilmu Jiwa (Jakarta: Ganaco
N.V., 1980)
·
Anna
Alisjabana, M. Sidharta & M.A.W. Brouwer, Menuju Kesejahteraan Jiwa (Jakarta: PT. Gramedia, 1983)
·
Imam
santoso sukardi, Psikoproblem (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995)
·
M.
Dachlan Arifin, Kompilasi Shalat dan
Persoalannya (Yogyakarta: Dian, 1990)
·
M.
Munir Jimbaz, Karakter Orang Sukses Dunia
Akhirat, Penj: A.M. Basalamah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993)
·
M.
Yunus bin Abdullah as-Sattar, Dimanakah Shalat yang Khusyu’ ? , Penj: Abdullah
Shonhadji, Sani Abu Zahra (Semarang: C.V. asy-Syifa’, 1991),
·
M.
Zainal arifin, Shalat Mi’raj Kita
Kehadirat-Nya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)
·
Ahmad
Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
·
Departemen
Agama RI.
·
Zakiah
Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta:
Gunung Agung, 1995),
·
Aziz
Salim Basyrahl, Shalat; Hikmah, Falsafah
dan Urgensinya (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Zakiah Daradjat, Shalat Menjadikan Hidup Bermakna, (Bandung:
Rosdakarya Offset, 1990),
·
Dadang
Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa
dan Kesehatan Jiwa (Jakarta: Dana Bhakti Yasa, 1996)
[1] M. ‘Utsman Najati, al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Terj: Ahmad Rofi’i Utsman (Bandung:
Pustaka, 1985),
[2] Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 96
[3] syeh Mustafa Masyhur, Berjumpa Allah Lewat Shalat, Perj: Abu
Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
[5] Tarmizi, Kesehatan Jiwa (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 8
[6] A. Gazali, et al., Ilmu Jiwa (Jakarta: Ganaco N.V., 1980)
[7] Anna Alisjabana, M. Sidharta &
M.A.W. Brouwer, Menuju Kesejahteraan Jiwa
(Jakarta: PT. Gramedia, 1983)
[8] Imam santoso sukardi, Psikoproblem (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995)
[9] Ibid,
hlm. 336
[10] M. Dachlan Arifin, Kompilasi Shalat dan Persoalannya (Yogyakarta: Dian, 1990)
[11] Departemen Agama RI,
[12] M. Munir Jimbaz, Karakter Orang Sukses Dunia Akhirat, Penj: A.M. Basalamah (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 1993), hlm. 71
[13] M. Yunus bin Abdullah as-Sattar, Dimanakah
Shalat yang Khusyu’ ? , Penj: Abdullah Shonhadji, Sani Abu Zahra
(Semarang: C.V. asy-Syifa’, 1991), hlm.90
[14] Departemen Agama RI
[15] M. Zainal arifin, Shalat Mi’raj Kita Kehadirat-Nya (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 23
[16] Departemen Agama RI.
[17] Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
[18] Departemen Agama RI.
[19] Ibid.,
[20] Ibid.
[21] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1995),
[22] Aziz Salim Basyrahl, Shalat; Hikmah, Falsafah dan Urgensinya
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 63
[24] Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Jakarta: Dana
Bhakti Yasa, 1996), hlm. 261
No comments:
Post a Comment