Suhrawardi
Dengan
berkembangnya Islam pada masa Khulafaur-Rasyidin (tahun 11-40 H) dan kemudian
dipegang oleh dinasti Umayyah sejak tahun 40-132 H, dunia Islam mulai dimasuki
kebudayaan-kebudayaan asing yang datang dari Parsi, Yunani, India dan sebagainya.
Pada masa pemerintahan Abasyiyah, khususnya pada masa pemerintahan Al-Makmun
dan Harun Al-Rasyid, umat Islam telah sampai ke puncak ilmu pengetahuan dan
kebudayaan yang tinggi.[1] Menurut
Prof. Dr. Hasan Ibrahim Hasan dalam Tarikhul-Islam, pada abad-abad tersebut
ilmu tasawuf memang sudah berkembang dan dalam perkembangannya sudah masuk ke
tahap sinkretisme antara ajaran tasawuf dan ajaran filsafat Neo-Platonisme,
ajaran Hindu dan Budha serta Zoroaster sehingga membentuk suatu metode tasawuf
yang dinamakan ”Filsafat Tasawuf”.[2]
Akibat
persinggungan dengan filsafat Yunani khususnya Neo-Platonisme, faham Syi'ah
serta aliran mistik Kristen dan kebudayaan "tempatan" lainnya,
tasawuf yang semula bertujuan memperhalus akhlak berkembang menjadi pandangan hidup
yang disistematisir atas dasar pemikiran filsafat. Corak tasawuf ini bertujuan
tidak sekedar mendekatkan diri kepada Tuhan bahkan juga untuk bersatu
dengan-Nya. Oleh karenanya tasawuf ini dikenal dengan tasawuf non sunni atau tasawuf
falsafi.[3]
Usaha
Tasawuf yang dilancarkan para sufi ortodoks, termasuk al-Gazali, ternyata tidak
menghilangkan kontroversi Tasawuf, dalam kenyataannya sepeninggal al-Gazali
yang dipandang sebagai tokoh yang paling berjasa dalam mendamaikan tasawuf dan
syariat telah tampil beberapa tokoh kontroversial seperti Ain al-Qudat
al-Hamdani, as-Suhrawardi hingga Ibnu Arabi.[4]
Suhrawardi
al-maqtul adalah generasi pertama para sufi filosuf. Nama lengkapnya abu
al-futuh yahya ibnu amrak bergelar Shihabuddin as-suhrawardi di lahirkan karena
di lahirkan disuhrawad, Iran tahun 550 H dan di anggap mengajarkan aliran sesat
pada tahun 578 H dan sejak itulah ia di gelari al maqtul (yang di bunuh)[5]
Sejak
usia muda suhrawardi dikenal seorang jenius yang haus ilmu pengetahuan. Di
negeri sekitar Persia pernah di jelajahinya untuk menimba ilmu, ia sangat
tertarik tentang persoalan filsafat dan Tasawuf, ia juga belajar Fiqih dan
teologi kepada masjudin Al-Jilli guru Fahrudin al-Razi dan belajar logika pada
Ibnu Sahlan al-Sahwi, ia juga bergabung dengan para sufi serta hidup secara
asketik. Pengembaraanya berakir di Aleppo suriah ketika sultan Sihabuddin Yusuf
seorang penguasa yang amat cinta pada para sufi memintanya untuk menyumbangkan
ilmunya[6]
Sebagai
seorang sufi dan filosuf As-Suhrawardi banyak menghasilkan karya ilmiah. Dlam
hidupya yang relatif singkat hanya 38 tahun. Ia telah menghasilkan 50 karya
ilmiah dalam bentuk buku. Seperti karya besarnya yang yang berkaitan filsafat
isyraqiah adalah at-talwihat (kedekatan) al-muqawamat (tambahan) al-masyariwa
almutarahat (jalan-jalan dan tempat berlabuh) dan karya monumentalnya adalah
hikmah al-isyraqiah (filsafat iluminasi).[7]
Dalam
Tasawufnya Suhrawardi berpendapat jika jiwa manusia ingin mencapai hakekat
dirinya harus dengan latihan rohaniah, Jiwa manusia tidak bisa sampai pada alam
suci serta tidak bisa menerima cahaya-cahaya iluminasi selama masih kotor,
sebab alam suci maupun cahaya adalah substansi malakut, dimana alam suci itu
sendiri tidak membutuhkan kekuatan fisik. Jelasnya seandainya jiwa manuisa
menguat dengan keutamaan rohaniah dan kontrol kekuatan fisik dengan menguragi
makan dan tidur malam jiwa pun melesat menuju alam suci dan bertemu dengan
induk sucinya bahkan menerima berbagai pengetahuan-nya. Dengan latiahan rohani
dan meninggalkan kefaaan dunia yang berupa materi, jiwa manusia akan suci dan
merasakan kebahagiaan menerima cahaya dan menyaksikan cahaya yang maha besar
dan terpesona dalam lautan cahya yang maha indah dan suci.[8]
Inti
ajaran Tasawuf Isyraqiah yang dibawa Suhrawardi adalah bahwa sumber segala
sesuatau yang ada (al-maujudat) adalah nur al-anwar (cahaya mutlak atau cahaya
segala cahaya) kosmos di ciptakan Tuhan melalui penyinaran sehingga kosmos
terdiri dari tingkatn-tingkatan pancaran cahaya. Cahaya tertinggi sumber dari
segala cahaya itu, di namakan nur a-anwar dan menurutnya itulah Tuhan yang
abadi[9]
Menurut
As-Suhrawardi adalah bahwa sumber segala sesuatu yang ada (almaujudat) adalah
Nur al-Anwar) (Cahaya Mutlak atau Cahaya Segala Cahaya). Kosmos diciptakan
Tuhan melalui penyinaran sehingga kosmos terdiri atas tingkatantingkatan
pancaran cahaya. Cahaya tertinggi, sebagai sumber segala cahaya itu dinamakan
Nur al-anwar, dan menurutnya. itulah Tuhan Yang Abadi. ini sama dengan
pandangan Al-Ghazali dalam Misykat Al-Anwar. Menurut As-Suhrawardi, manusia
berasal dari nur Al-Anwar melalui proses penyinaran yang hampir sama dengan
proses emanasi (al-faidh) dalam filsafat Al-Farabi (257 H./870 M.-339 H./950
M). Dengan demikian, manusia dan Tuhan mempunyai hubungan timbal balik. dan dari
paradigma ini dimungkinkan terjadinya persatuan antara manusia dan Tuhan
(ittihad)[10]
Pendapat
ini As-Suhrawardi mengandung pengertian bahwa secara empiris cahaya pertama
yang muncul berasal dari matahari yang terbit dari timur: sedangkan dalam dunia
akal (nonempiris), cahaya pertama dimaksudkan sebagai saat munculnya
pengetahuan sejati (ma'rifat) atau munculnya cahaya aka yang menembus jiwa,
yang dirasakan ketika jiwa benar-benar terbebas dari pengaruh indrawi. Dengan
demikian kata isyraq dipergunakan sebagai simbol al-kasvaf (ketersingkapan
batin) dan musyahadah (penyaksian secara mistik). Dalam hal i n i,
As-Suhrawardi menggabungkan filsafat yang bersifat rasional dengan Tasawuf yang
dilakukan melalui latihan kejiwaan (rivadhali) dan koruemplasi. Dengan kata
lain, As-Suhrawardi memadukan daya-daya rasio (filsafat) dan rasa (Tasawuf)
yang bersifat dzuqi.[11]
Melalui
kalimat-kalimat simbolis Suhrawardi mengatakan bahwa Allah yang maha esa adalah
nur al-anwar yang merupakan sumber asal dari segala yang ada dan seluruh
kejadian. Dari nur al-anwar memancar cahaya-cahaya yang menjadi sumber kejadian
alam rohani dan alam materi. cahaya pertama yang memancar dari nur alanwar di
sebutnya nur al-hakim dan juga di sebut nur al-qohir. Setelah nur al hakim
lepas dari nur al anwar, ia memendang sumbernya itu dengan melihat dirinya
sendiri yang tampak gelap di bandingkan dengan yang asalnya (nur al
anwar)akibat akasi memandang kedua arah itu yang mengakibatkan terjadinya
proses energi maka terpancarlah cahaya kedua yang di sebut barzakh al-awal
(materi pertama), dengan melalui proses yang sama, dari barzakh al-awal
memancar pula nur-nur serta barzah yang lainya yang lebih gelap cahayanya,
seluruh barzakh yang telah lepas dari bola cahaya nur al-anwar memiliki potensi
dan aktual karena secara terus menerus mendapat limpahan daya dari nur al anwar
yang berfungsi sebagai penggerak dan penguasa yang di sebut al qohir. Sedangkan
al barzah sebagai yang digerakkan[12]
Selain
mengombinasiakan teori filsafat dengan Tasawuf berangkat dari teori emanasi dia
berpendapat bahwa dengan melalui usaha keras dan sungguh-sungguh seperti yang
dilakukan para sufi, seorang dapat membebaskan jiwanya dari perangkap ragawi
untuk kemudian kembali kepada pangkalan pertama yakni alam Malakut atau alam
Illahiyat, konsepsi lengkap teori ini dikenal dengan isyraqiyah.[13]
Ibnu
Arabi
Dalam
kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa Allah adalah
“wujud mutlak“ yaitu zat yang mandiri, yang keberadaan-Nya tidak disebabkan
oleh sesuatu apa pun. di halaman lain dari kitab futuhat dia menulis “
pertama-tama yang harus diketahui bahwa Allah SWT adalah zat yang awal, yang
tidak ada sesuatu pun mendahului-Nya tidak ada sesuatupun yang awal
bersama-Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak membutuhkan sesuatu selain Dia.
Dia adalah Tuhan yang maha Esa, yang tidak berhajat pada alam semesta[14]
Ibnu
‘Arabi dikenal dengan pembawa ajaran wahdat al-wujud (kesatuan wujud )
yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu yaitu hanya ada satu wujud
yang sejati, yakni Allah SWT (al-Haqq). Sedang alam ini tidak lain adalah sekedar
dari manifestasi (tajalliat) dari wujud yang sejati tersebut yang pada
dirinya (alam) tidak memilki wujud sejati tau mutlak seperti Tuhan. Hubungan
wujud sejati (Tuhan) dengan alam digambarkan lewat wajah dengan gambar, wajah
itu muncul dari sejumplah cermin. Ibnu ‘Arabi pernah berkata wajah itu satu
tetapi cermin seribu, sehingga wajah yang sejati itu terpantul dalam ribuan
cermin, dan karena kaulitas dan posisi cermin berbeda antara satu cermin dengan
cermin yang lain, maka pantulan wajah sama dan satu itu pun tampak
berbeda-beda. itulah sebabnya. maka sekalipun Tuhan itu esa tetapi pantulannya
(yaitu alam semesta) beraneka dan berjenis jenis[15]
Inti
ajaran Tasawuf wahdatul wujud diterangkan Ibnu Arabi dengan menekankan
pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya,
seluruh yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya
bergantung pada Tuhan Sang Pencipta. Yang tampak hanya bayangbayang dari Yang
Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan, yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada,
yang lain pun tidak ada karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud. Yang
sebenarnya memiliki wujud hanya Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya
satu" wujud, yaitu wujud Tuhan, sedangkan yang lainnya hanya merupakan
bayang-bayang[16]
Ibnu
‘Arabi menggambarkan bentuk tajalli dengan simbol wajah dengan cermin,
diibaratkan semisal kita ingin melihat wajah kita, kita tidak dapat melihatnya kecuali
dalam cermin, yang nantinya kelihatan dalam cermin kelihatan gamblang dan jelas,
tetapi kita tahu bahwa satu-satunya wajah yang riel adalah yang ada pada diri
kita, bukan yang terpantul dalam cermin. Karena yang ada dalam cermin hanyalah
sebuah bayangan.
Ibnu
‘Arabi menjelaskan bahwa wujud menjadi nyata oleh karena Tuhan sebagai yang
zhahir memperlihatkan dirinya dalam suatu “wadah manifestasi” yakni di dalam
kosmos itu sendiri. Tuhan tidak dapat memperlihatkan dirinya sebagai yang batin,
karena menurut definisi, Tuhan sebagai yang batin tidak dapat dijangkau dan diketahui
di dalam kosmos ini.[17]
Setiap
makhluk merupakan wadah manifestasi bagi wujud demikian juga masing-masing
adalah bentuk (shurah) dari wujud. tidak ada kosmos dapat memiliki wujud
selain berasal dari al-Haqq, sebuah hadits berbunyi “Bahwa Tuhan menciptakan
Adam menurut bentuknya sendiri. Ibnu ‘Arabi menunjukkan banyak sekali fakta
bahwa hadits menggunakan nama Tuhan-(Allah) yakni nama yang komprehensif
yang menjadi rujukan semua nama selain Tuhan. oleh karena itu Manusia
diciptakan lengkap dengan kemampuan potensialnya untuk menampilkan Tuhan
sebagai Tuhan, yakni Tuhan yang di namai seluruh nama-nya, sementara makhluk
lainnya di dalam kosmos hanya mampu menyuguhkan nama Tuhan tertentu saja
dan terbatas[18]
Bagi
Ibnu ‘Arabi alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, Tuhan dan
alam semesta tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara
kontradiksi -kontradiksi ontologis. kontradiksi ini tidak hanya bersifat
horisontal tetapi juga vertikal. hal ini tampak seperti dalam uraian
al-Qur’an bahwa Tuhan adalah yang tersembunyi (al Bathin)
sekaligus yang tampak (al-Dzahir), yang esa (al-Wahid) sekaligus
yang banyak (al-Katsir), yang terdaulu (al-Qadim)
sekaligus yang baru (al-Hadits) yang ada (al-Wujud)
sekaligus yang tiada (al-Adam). Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi realitas adalah
satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda: sifat keTuhanan sekaligus sifat kemakhlukkan,
temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen eksistensi sekaligus non
eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segala
sesuatu yang ada di alam ini[19]
Menurut
Ibnu ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada
hakikatnya adalah wujud Khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya
(Khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang
mengira bahwa antara wujud Khalik dan makhluk ada perbedaan, hal
itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas
kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah
yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu
‘Arabi sebagai berikut : “Maha suci Tuhan yang lelah menjadikan segala
sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu” [20]
Menurut
Ibnu ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah
hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khalik
dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara
abid (penyembah) dengan ma 'bud (yang disembah). Bahkan
antara yang penyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada
rupa dan ragam. Ibnu ‘Arabi mengemukakan nya Kalau antara Khalik dan makhluk
bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu ‘Arabi menjawab, sebabnya
adalah manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu. tetapi memandang
keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khalik dari sisi yang satu dan
makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang
satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan
dapat mengetahui hakikat keduanya, yakni Dzatnya satu yang tidak terbilang dan
berpisah[21]
Paham
wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya
di luar diri-Nya. Kemudian diciptakanlah alam sebagai cermin yang merefleksikan
gambaran diri-Nya. Setiap kali ingin melihat diri-Nya, Dia melihat alam karena
pada setiap benda alam terdapat aspek al-Haqq. Jadi, walaupun segala
benda ini kelihatannya banyak, sebenarnya yang ada hanya satu wujud, yaitu al-Haqq[22]
Untuk
menjelaskan ontologis Tuhan dan alam semesta, Ibnu ‘Arabi menggunakan simbol
cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. simbol ini pertama. untuk
menjelaskan sebab penciptaan alam yakni bahwa penciptaan alam ini adalah sarana
untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia
adalah harta simpanan (kanz nahfi) yang tidak bisa dikenali kecuali
lewat alam, sesuai hadits Rasul yang menyatakan hal itu. Kedua untuk
menjelaskan hubungan yang satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta.
yakni Tuhan yang bercermin adalah satu tetapi gambar-nya banyak dan beragam.
Dan apa yang tampak dalam cermin adalah dia, sama sekali bukan selainya, tetapi
bukan Dia yang sesungguhnya.[23]
Penggambaran
tersebut sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybih dan tanzih,
imanen dan transenden yang digunakan Ibnu ‘Arabi dari segi tasybih
Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan
aktualisasi sifatsifatnya. dari segi tanzih Tuhan berbeda dengan alam,
karena alam terikat ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak.
Secara tegas Ibnu ‘Arabi menyatakan “huwa la huwa” (Dia bukan Dia-yang
kita bayangkan) sedekat dekat Manusia menyatu dengan Tuhan, tetapi tidak akan
pernah menyatu dengan Tuhan, ia hanya menyatu dengan asma dan sifat-sifatnya
menyatu dengan bayangan-Nya bukan dengan zat-Nya.[24]
Ibnu
‘Arabi membuat keterkaitan yang sangat jelas manifestasi sempurna wujud dalam
peran Manusia di dalam kosmos. dengan doktrinya yang terkenal ”manusia
sempurna” yakni manusia yang mampu mengaktualisasikan semua potensialitas
batinnya sesuai sifat dan asma Tuhan secara lengkap dan total. Di satu pihak
dalam Manusia sempurna yang sangat berbeda dengan makluk lain. manusia yang
mampu mewujudkan kausalitas yang terpuji. Insan kamil ini menjadi
teladan bagi kebijaksanaan, kasih sayang dan segala kebaikan moral serta
spiritual manusia. Mereka membibing individu dan masyarakat ke tingkatan
tertinggi yakni Tuhan, dan insane kamil bertindak mencerminkan tindakan al-Haqq,
dan mengarahkan kepada kebahagiaan tertinggi di alam akhirat, dalam manifastasi
manuisawinya Ia seperti Nabi dan para auliya’.
Manusia
sempurna adalah tujuan Tuhan dalam menciptakan kosmos tatkala disadari melalui insan
kamil lah. Dia dapat menampakkan sifat-sifat-Nya secara total, hanya di
dalam diri insan kamil saja terbentang kesempatan bagi wujud untuk
menggapai kesempurnaan, tidak ada makhluk selain Manusia yang memiliki
kesiapan yang dibutuhkan dalam menampilkan sifat Tuhan. jika wujud di dalam
esensinya yang tidak tampak, maka ia sepenuhnya bukan fenomenalnya, hanya di
dalam diri manusia sempurna (insan kamil) yang sanggup menampilkan
setiap nama Tuhan dalam keselarasan dan keseimbangan secara sempurna[25]
[1] Muin, K.H.M. Taib Thahir Abdul.
1986. (Ilmu Kalam. Jakarta : Wijaya), 18
[2] Syukur, Asywadi. 1982. Ilmu
Tasawuf I. (Surabaya : Bina Ilmu), 65
[3] Schimmel, Annimarie , 1982. As
Through a Veil: Mystical Poetry in Islam.( New York: Columbia University
Press), 3
[4] Taufik Abdullah et all, 2002, Ensiklopedi
tematis dunia Islam Pemikiran dan Peradaban (Jakarta : PT Ichtiar baru
van hoeve), 161
[5] A.Mustofa, Filsafat Islam,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hal 247
[6] Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas
Zaman…, hal 147
[7] Ibid, 148
[8] A.Mustofa, Filsafat Islam…, hal
252
[9] Solihin, Tasawuf Tematik
Membedah Tema-Tema…,hal 118
[10] Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi
Lintas Zaman…, hal 149
[11] Ibid 149
[12].Rifay Siregar, Tasawuf Dari
sufisme Klasik ke Neo-Sufisme…,hal165
[13] A.Rifay Siregar, Tasawuf Dari
sufisme Klasik…,hal 144
[14] Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi
Tauladan…., 205
[15] Mulyadi Kartanegara, Gerbang
Kearifan Sebuah Pengantar…hal,64
[16] Solihin, Tasawuf Tematik
Membedah Tema-Tema …,hal 86
[17] Wiliam C.
Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi Kreatifitas Imajinasi dan Persoalan
Diversitas Agama,
(Surabaya, Risalah Gusti, 2001), hal 31
[18] Ibid. 39
[19] A.Khudori Soleh, Wacana Baru
Filsafat…,148
[20] Solihin, Tasawuf Tematik
Membedah Tema-Tema…,hal 90
[21] Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi
Lintas Zaman, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hal 156
[22] Solihin, Tasawuf Tematik
Membedah Tema-Tema …,hal 88
[23] A.Khudori Soleh, Wacana Baru
Filsafat ...,hal 149
[24] Ibid, 150
[25] Wiliam C. Chittick, Dunia
Imajinal Ibnu ‘Arabi …,hal 41
No comments:
Post a Comment