Thursday 15 October 2015

Fisafat dan Tasawuf Ibnu Arabi dan Suhrawardi

Suhrawardi
Dengan berkembangnya Islam pada masa Khulafaur-Rasyidin (tahun 11-40 H) dan kemudian dipegang oleh dinasti Umayyah sejak tahun 40-132 H, dunia Islam mulai dimasuki kebudayaan-kebudayaan asing yang datang dari Parsi, Yunani, India dan sebagainya. Pada masa pemerintahan Abasyiyah, khususnya pada masa pemerintahan Al-Makmun dan Harun Al-Rasyid, umat Islam telah sampai ke puncak ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang tinggi.[1] Menurut Prof. Dr. Hasan Ibrahim Hasan dalam Tarikhul-Islam, pada abad-abad tersebut ilmu tasawuf memang sudah berkembang dan dalam perkembangannya sudah masuk ke tahap sinkretisme antara ajaran tasawuf dan ajaran filsafat Neo-Platonisme, ajaran Hindu dan Budha serta Zoroaster sehingga membentuk suatu metode tasawuf yang dinamakan ”Filsafat Tasawuf”.[2]
Akibat persinggungan dengan filsafat Yunani khususnya Neo-Platonisme, faham Syi'ah serta aliran mistik Kristen dan kebudayaan "tempatan" lainnya, tasawuf yang semula bertujuan memperhalus akhlak berkembang menjadi pandangan hidup yang disistematisir atas dasar pemikiran filsafat. Corak tasawuf ini bertujuan tidak sekedar mendekatkan diri kepada Tuhan bahkan juga untuk bersatu dengan-Nya. Oleh karenanya tasawuf ini dikenal dengan tasawuf non sunni atau tasawuf falsafi.[3]
Usaha Tasawuf yang dilancarkan para sufi ortodoks, termasuk al-Gazali, ternyata tidak menghilangkan kontroversi Tasawuf, dalam kenyataannya sepeninggal al-Gazali yang dipandang sebagai tokoh yang paling berjasa dalam mendamaikan tasawuf dan syariat telah tampil beberapa tokoh kontroversial seperti Ain al-Qudat al-Hamdani, as-Suhrawardi hingga Ibnu Arabi.[4]
Suhrawardi al-maqtul adalah generasi pertama para sufi filosuf. Nama lengkapnya abu al-futuh yahya ibnu amrak bergelar Shihabuddin as-suhrawardi di lahirkan karena di lahirkan disuhrawad, Iran tahun 550 H dan di anggap mengajarkan aliran sesat pada tahun 578 H dan sejak itulah ia di gelari al maqtul (yang di bunuh)[5]
Sejak usia muda suhrawardi dikenal seorang jenius yang haus ilmu pengetahuan. Di negeri sekitar Persia pernah di jelajahinya untuk menimba ilmu, ia sangat tertarik tentang persoalan filsafat dan Tasawuf, ia juga belajar Fiqih dan teologi kepada masjudin Al-Jilli guru Fahrudin al-Razi dan belajar logika pada Ibnu Sahlan al-Sahwi, ia juga bergabung dengan para sufi serta hidup secara asketik. Pengembaraanya berakir di Aleppo suriah ketika sultan Sihabuddin Yusuf seorang penguasa yang amat cinta pada para sufi memintanya untuk menyumbangkan ilmunya[6]
Sebagai seorang sufi dan filosuf As-Suhrawardi banyak menghasilkan karya ilmiah. Dlam hidupya yang relatif singkat hanya 38 tahun. Ia telah menghasilkan 50 karya ilmiah dalam bentuk buku. Seperti karya besarnya yang yang berkaitan filsafat isyraqiah adalah at-talwihat (kedekatan) al-muqawamat (tambahan) al-masyariwa almutarahat (jalan-jalan dan tempat berlabuh) dan karya monumentalnya adalah hikmah al-isyraqiah (filsafat iluminasi).[7]
Dalam Tasawufnya Suhrawardi berpendapat jika jiwa manusia ingin mencapai hakekat dirinya harus dengan latihan rohaniah, Jiwa manusia tidak bisa sampai pada alam suci serta tidak bisa menerima cahaya-cahaya iluminasi selama masih kotor, sebab alam suci maupun cahaya adalah substansi malakut, dimana alam suci itu sendiri tidak membutuhkan kekuatan fisik. Jelasnya seandainya jiwa manuisa menguat dengan keutamaan rohaniah dan kontrol kekuatan fisik dengan menguragi makan dan tidur malam jiwa pun melesat menuju alam suci dan bertemu dengan induk sucinya bahkan menerima berbagai pengetahuan-nya. Dengan latiahan rohani dan meninggalkan kefaaan dunia yang berupa materi, jiwa manusia akan suci dan merasakan kebahagiaan menerima cahaya dan menyaksikan cahaya yang maha besar dan terpesona dalam lautan cahya yang maha indah dan suci.[8]
Inti ajaran Tasawuf Isyraqiah yang dibawa Suhrawardi adalah bahwa sumber segala sesuatau yang ada (al-maujudat) adalah nur al-anwar (cahaya mutlak atau cahaya segala cahaya) kosmos di ciptakan Tuhan melalui penyinaran sehingga kosmos terdiri dari tingkatn-tingkatan pancaran cahaya. Cahaya tertinggi sumber dari segala cahaya itu, di namakan nur a-anwar dan menurutnya itulah Tuhan yang abadi[9]
Menurut As-Suhrawardi adalah bahwa sumber segala sesuatu yang ada (almaujudat) adalah Nur al-Anwar) (Cahaya Mutlak atau Cahaya Segala Cahaya). Kosmos diciptakan Tuhan melalui penyinaran sehingga kosmos terdiri atas tingkatantingkatan pancaran cahaya. Cahaya tertinggi, sebagai sumber segala cahaya itu dinamakan Nur al-anwar, dan menurutnya. itulah Tuhan Yang Abadi. ini sama dengan pandangan Al-Ghazali dalam Misykat Al-Anwar. Menurut As-Suhrawardi, manusia berasal dari nur Al-Anwar melalui proses penyinaran yang hampir sama dengan proses emanasi (al-faidh) dalam filsafat Al-Farabi (257 H./870 M.-339 H./950 M). Dengan demikian, manusia dan Tuhan mempunyai hubungan timbal balik. dan dari paradigma ini dimungkinkan terjadinya persatuan antara manusia dan Tuhan (ittihad)[10]
Pendapat ini As-Suhrawardi mengandung pengertian bahwa secara empiris cahaya pertama yang muncul berasal dari matahari yang terbit dari timur: sedangkan dalam dunia akal (nonempiris), cahaya pertama dimaksudkan sebagai saat munculnya pengetahuan sejati (ma'rifat) atau munculnya cahaya aka yang menembus jiwa, yang dirasakan ketika jiwa benar-benar terbebas dari pengaruh indrawi. Dengan demikian kata isyraq dipergunakan sebagai simbol al-kasvaf (ketersingkapan batin) dan musyahadah (penyaksian secara mistik). Dalam hal i n i, As-Suhrawardi menggabungkan filsafat yang bersifat rasional dengan Tasawuf yang dilakukan melalui latihan kejiwaan (rivadhali) dan koruemplasi. Dengan kata lain, As-Suhrawardi memadukan daya-daya rasio (filsafat) dan rasa (Tasawuf) yang bersifat dzuqi.[11]
Melalui kalimat-kalimat simbolis Suhrawardi mengatakan bahwa Allah yang maha esa adalah nur al-anwar yang merupakan sumber asal dari segala yang ada dan seluruh kejadian. Dari nur al-anwar memancar cahaya-cahaya yang menjadi sumber kejadian alam rohani dan alam materi. cahaya pertama yang memancar dari nur alanwar di sebutnya nur al-hakim dan juga di sebut nur al-qohir. Setelah nur al hakim lepas dari nur al anwar, ia memendang sumbernya itu dengan melihat dirinya sendiri yang tampak gelap di bandingkan dengan yang asalnya (nur al anwar)akibat akasi memandang kedua arah itu yang mengakibatkan terjadinya proses energi maka terpancarlah cahaya kedua yang di sebut barzakh al-awal (materi pertama), dengan melalui proses yang sama, dari barzakh al-awal memancar pula nur-nur serta barzah yang lainya yang lebih gelap cahayanya, seluruh barzakh yang telah lepas dari bola cahaya nur al-anwar memiliki potensi dan aktual karena secara terus menerus mendapat limpahan daya dari nur al anwar yang berfungsi sebagai penggerak dan penguasa yang di sebut al qohir. Sedangkan al barzah sebagai yang digerakkan[12]
Selain mengombinasiakan teori filsafat dengan Tasawuf berangkat dari teori emanasi dia berpendapat bahwa dengan melalui usaha keras dan sungguh-sungguh seperti yang dilakukan para sufi, seorang dapat membebaskan jiwanya dari perangkap ragawi untuk kemudian kembali kepada pangkalan pertama yakni alam Malakut atau alam Illahiyat, konsepsi lengkap teori ini dikenal dengan isyraqiyah.[13]
Ibnu Arabi
Dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa Allah adalah “wujud mutlak“ yaitu zat yang mandiri, yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh sesuatu apa pun. di halaman lain dari kitab futuhat dia menulis “ pertama-tama yang harus diketahui bahwa Allah SWT adalah zat yang awal, yang tidak ada sesuatu pun mendahului-Nya tidak ada sesuatupun yang awal bersama-Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak membutuhkan sesuatu selain Dia. Dia adalah Tuhan yang maha Esa, yang tidak berhajat pada alam semesta[14]
Ibnu ‘Arabi dikenal dengan pembawa ajaran wahdat al-wujud (kesatuan wujud ) yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu yaitu hanya ada satu wujud yang sejati, yakni Allah SWT (al-Haqq). Sedang alam ini tidak lain adalah sekedar dari manifestasi (tajalliat) dari wujud yang sejati tersebut yang pada dirinya (alam) tidak memilki wujud sejati tau mutlak seperti Tuhan. Hubungan wujud sejati (Tuhan) dengan alam digambarkan lewat wajah dengan gambar, wajah itu muncul dari sejumplah cermin. Ibnu ‘Arabi pernah berkata wajah itu satu tetapi cermin seribu, sehingga wajah yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin, dan karena kaulitas dan posisi cermin berbeda antara satu cermin dengan cermin yang lain, maka pantulan wajah sama dan satu itu pun tampak berbeda-beda. itulah sebabnya. maka sekalipun Tuhan itu esa tetapi pantulannya (yaitu alam semesta) beraneka dan berjenis jenis[15]
Inti ajaran Tasawuf wahdatul wujud diterangkan Ibnu Arabi dengan menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya bergantung pada Tuhan Sang Pencipta. Yang tampak hanya bayangbayang dari Yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan, yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lain pun tidak ada karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanya Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu" wujud, yaitu wujud Tuhan, sedangkan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang[16]
Ibnu ‘Arabi menggambarkan bentuk tajalli dengan simbol wajah dengan cermin, diibaratkan semisal kita ingin melihat wajah kita, kita tidak dapat melihatnya kecuali dalam cermin, yang nantinya kelihatan dalam cermin kelihatan gamblang dan jelas, tetapi kita tahu bahwa satu-satunya wajah yang riel adalah yang ada pada diri kita, bukan yang terpantul dalam cermin. Karena yang ada dalam cermin hanyalah sebuah bayangan.
Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud menjadi nyata oleh karena Tuhan sebagai yang zhahir memperlihatkan dirinya dalam suatu “wadah manifestasi” yakni di dalam kosmos itu sendiri. Tuhan tidak dapat memperlihatkan dirinya sebagai yang batin, karena menurut definisi, Tuhan sebagai yang batin tidak dapat dijangkau dan diketahui di dalam kosmos ini.[17]
Setiap makhluk merupakan wadah manifestasi bagi wujud demikian juga masing-masing adalah bentuk (shurah) dari wujud. tidak ada kosmos dapat memiliki wujud selain berasal dari al-Haqq, sebuah hadits berbunyi “Bahwa Tuhan menciptakan Adam menurut bentuknya sendiri. Ibnu ‘Arabi menunjukkan banyak sekali fakta bahwa hadits menggunakan nama Tuhan-(Allah) yakni nama yang komprehensif yang menjadi rujukan semua nama selain Tuhan. oleh karena itu Manusia diciptakan lengkap dengan kemampuan potensialnya untuk menampilkan Tuhan sebagai Tuhan, yakni Tuhan yang di namai seluruh nama-nya, sementara makhluk lainnya di dalam kosmos hanya mampu menyuguhkan nama Tuhan tertentu saja dan terbatas[18]
Bagi Ibnu ‘Arabi alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, Tuhan dan alam semesta tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi -kontradiksi ontologis. kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. hal ini tampak seperti dalam uraian al-Qur’an bahwa Tuhan adalah yang tersembunyi (al Bathin) sekaligus yang tampak (al-Dzahir), yang esa (al-Wahid) sekaligus yang banyak (al-Katsir), yang terdaulu (al-Qadim) sekaligus yang baru (al-Hadits) yang ada (al-Wujud) sekaligus yang tiada (al-Adam). Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi realitas adalah satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda: sifat keTuhanan sekaligus sifat kemakhlukkan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen eksistensi sekaligus non eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di alam ini[19]
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (Khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud Khalik dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu ‘Arabi sebagai berikut : “Maha suci Tuhan yang lelah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu” [20]
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid (penyembah) dengan ma 'bud (yang disembah). Bahkan antara yang penyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam. Ibnu ‘Arabi mengemukakan nya Kalau antara Khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu ‘Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu. tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduanya, yakni Dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah[21]
Paham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Kemudian diciptakanlah alam sebagai cermin yang merefleksikan gambaran diri-Nya. Setiap kali ingin melihat diri-Nya, Dia melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat aspek al-Haqq. Jadi, walaupun segala benda ini kelihatannya banyak, sebenarnya yang ada hanya satu wujud, yaitu al-Haqq[22]
Untuk menjelaskan ontologis Tuhan dan alam semesta, Ibnu ‘Arabi menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. simbol ini pertama. untuk menjelaskan sebab penciptaan alam yakni bahwa penciptaan alam ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah harta simpanan (kanz nahfi) yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai hadits Rasul yang menyatakan hal itu. Kedua untuk menjelaskan hubungan yang satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta. yakni Tuhan yang bercermin adalah satu tetapi gambar-nya banyak dan beragam. Dan apa yang tampak dalam cermin adalah dia, sama sekali bukan selainya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.[23]
Penggambaran tersebut sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybih dan tanzih, imanen dan transenden yang digunakan Ibnu ‘Arabi dari segi tasybih Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualisasi sifatsifatnya. dari segi tanzih Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas Ibnu ‘Arabi menyatakan “huwa la huwa” (Dia bukan Dia-yang kita bayangkan) sedekat dekat Manusia menyatu dengan Tuhan, tetapi tidak akan pernah menyatu dengan Tuhan, ia hanya menyatu dengan asma dan sifat-sifatnya menyatu dengan bayangan-Nya bukan dengan zat-Nya.[24]
Ibnu ‘Arabi membuat keterkaitan yang sangat jelas manifestasi sempurna wujud dalam peran Manusia di dalam kosmos. dengan doktrinya yang terkenal ”manusia sempurna” yakni manusia yang mampu mengaktualisasikan semua potensialitas batinnya sesuai sifat dan asma Tuhan secara lengkap dan total. Di satu pihak dalam Manusia sempurna yang sangat berbeda dengan makluk lain. manusia yang mampu mewujudkan kausalitas yang terpuji. Insan kamil ini menjadi teladan bagi kebijaksanaan, kasih sayang dan segala kebaikan moral serta spiritual manusia. Mereka membibing individu dan masyarakat ke tingkatan tertinggi yakni Tuhan, dan insane kamil bertindak mencerminkan tindakan al-Haqq, dan mengarahkan kepada kebahagiaan tertinggi di alam akhirat, dalam manifastasi manuisawinya Ia seperti Nabi dan para auliya’.
Manusia sempurna adalah tujuan Tuhan dalam menciptakan kosmos tatkala disadari melalui insan kamil lah. Dia dapat menampakkan sifat-sifat-Nya secara total, hanya di dalam diri insan kamil saja terbentang kesempatan bagi wujud untuk menggapai kesempurnaan, tidak ada makhluk selain Manusia yang memiliki kesiapan yang dibutuhkan dalam menampilkan sifat Tuhan. jika wujud di dalam esensinya yang tidak tampak, maka ia sepenuhnya bukan fenomenalnya, hanya di dalam diri manusia sempurna (insan kamil) yang sanggup menampilkan setiap nama Tuhan dalam keselarasan dan keseimbangan secara sempurna[25]




[1] Muin, K.H.M. Taib Thahir Abdul. 1986. (Ilmu Kalam. Jakarta : Wijaya), 18
[2] Syukur, Asywadi. 1982. Ilmu Tasawuf I. (Surabaya : Bina Ilmu), 65
[3] Schimmel, Annimarie , 1982. As Through a Veil: Mystical Poetry in Islam.( New York: Columbia University Press), 3
[4] Taufik Abdullah et all, 2002, Ensiklopedi tematis dunia Islam Pemikiran dan Peradaban (Jakarta : PT Ichtiar baru van hoeve), 161
[5] A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hal 247
[6] Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman…, hal 147
[7] Ibid, 148
[8] A.Mustofa, Filsafat Islam…, hal 252
[9] Solihin, Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema…,hal 118
[10] Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman…, hal 149
[11] Ibid 149
[12].Rifay Siregar, Tasawuf Dari sufisme Klasik ke Neo-Sufisme…,hal165
[13] A.Rifay Siregar, Tasawuf Dari sufisme Klasik…,hal 144
[14] Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan…., 205
[15] Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar…hal,64
[16] Solihin, Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema …,hal 86
[17] Wiliam C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi Kreatifitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama,
(Surabaya, Risalah Gusti, 2001), hal 31
[18] Ibid. 39
[19] A.Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat…,148
[20] Solihin, Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema…,hal 90
[21] Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hal 156
[22] Solihin, Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema …,hal 88
[23] A.Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat ...,hal 149
[24] Ibid, 150
[25] Wiliam C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi …,hal 41

No comments:

Post a Comment