Thursday 15 October 2015

JIWA MENURUT FILOSOF

Menurut Al Kindy, Jiwa manusia itu sederhana atau tidak tersusun, mulia, sempurna, dan penting. substansinya berasal dari subsantsi Tuhan seepeti sinar yang berasal dari matahari. Jiwa memiliki wujud sendiri dan lain dengan badan. substansinya bersifat ilahi dan rohani. argument tentang berbedanya jiwa dengan badan didasarkan pada kenyataan bahwa jiwa menentang keinginan nafsu yang berorientasi pada kepentingan badan. jika pada suatu saat nafsu marah dapat mendorong manusia untuk berbuat sesuatu, maka jiwa melarang dan mengontrolnya, seperti penuggang kuda mengontrol dan mengendalikan kuda yang hendak lari semaunya. jika nafsu syahwat tampil kedepan, maka berpikirlah jiwa menilai bahwa ajakan syahwat itu salah dan membawa pada kerendahan. ini adalah indikasi yang jelas  menunjukkan bahwa jiwa lain dari nafsu yang di miliki oleh badan.
Al Kindy mengatakan bahwa jiwa itu mempunyai potensi pikir , potensi marah dan potensi syahwat. manusia bila meremehkan segala yang empiris dan memusatkan bahasannya pada hakekat-hakekat sesuatu, niscaya terbuka bagi jiwanya pengetahuan tentang yang ghaib, mengetahui apa yang tersembunyi dalam jiwanya dan mengetahui rahasia-rahasia ciptaan. jika manusia bisa melakukana demikian padahal jiwanya masih berada dalam badan, yakni alam yang gelap yang niscaya gelap sekali, seperti sinar matahari yang tidak lagi menyinari, maka lebih terbuka lagi jiwanya bila telah meninggalkan badan dan memasuki alam kebenaran yang disinari oleh sinar Tuhan.[1]
Sedangkan menurut filsafat lima kekal yang dianggap sebagai dasar pemikiran dari Abu Bakar Muhammad Bin Zakaria ar-Razi dalam doktrin filsafat lima kekal yang berisi mengenai Tuhan, Jiwa universal, materi pertama, ruang absolute dan zaman absolut. kelima yang kekal tersebut dapat di fahami secara logis dari kenyataan adanya alam benda yang empiris ini. alam benda itu haruslah tersusun dari materi pertama dan hjaruslah membutuhkan ruang. oleh karena itu ruang haruslah ada, dan ruang bagi segenap materi yang ada disebut ruang absolut. materi atau alam benda ini mengalami perubahan atau gerakan, dan dengan gerakan itu terjadilah zaman.
Dalam pemahan mengenai jiwa dan materi filasafat lima kekal menjelaskan bahwa jiwa universal dan materi pertama membutuhkan Tuhan sang pencipta yang Maha Bijaksana. Tuhan pada mulanya belum membentuk alam dari materi pertama. akan tetapi pada suatu ketika jiwa tertarik pada materi pertama dan ingin bermain dengan materi pertama. tetapi terjadi penolakan dari materi pertama, maka Tuhan datang membantu jiwa dengan membentuk alam ini dalam susunan yang kuat sehingga jiwa dapat mencari kesenangan material didalamnya.
Tuhan menciptakan manusia dan jiwa dapat mengambilnya sebagai tempat. karena terikat pada kesenangan material, jiwa lupa pada asalnya dan dan juga lupa bahwa kesenangan sejati tidaklah terletak dalam persatuannya dengan materi, tapi dalam kelepasannya dari materi. untuk itu Tuhan memberikan kepada Jiwa itu daya akal, yang dapat menyadarkan manusia yang telah tertipu oleh kesenangan material. babhwa kesenangan material itu rendah nilainya, serta menyadarkan bahwa alam yang sebenarnya dan kesenangan sejati berada diluar alam materi. jiwa akan tetap tinggal di alam materi selama ia tidak dapat menyucikan diri. penyucian diri dapat dilakukan denan filsafat, dan bila jiwa telah suci , maka jiwa itu dapat kembali memasuki alam asalnya, pada saat itulah alam materi hancur dan kembali menjadi materi asal.[2]
Al Faraby berupaya membuat sintesa antara pandangan Plato dan Aristoteles mengenani Jiwa manusia. mengikuti pandangan Aristoteles, Al Farabby menyatakan bahwa jiwa manusia adalah bentuk bagi tubuhnya, tetapi pandangan Al faraby tidak hanya sampai pada itu karena Al Faraby juga mengikuti Plato yang menyatakan bahwa jiwa manusia itu adalah substansi imateri yang tidak hancur dengan hancurnya badan. akan tetapi dalam pandangannya mengenai jiwa manusia Al Faraby juga tidak sepenuhnya mengikuti pandangan dari Plato dan Aristoteles.Seperti halnya pandangan Plato mengenai Pra-Eksistensi dan Reinkarnasi jiwa.
Adapun mengenai potensi yang dimiliki oleh jiwa, Al Faraby mengikuti jejak Aristoteles dalam memahaminya, yakni bila tercipta seseorang manusia, maka yang yang pertama diaktualisasikan dalam jiwanya adalah potensi makan, kemudian potensi indra yang bisa di indra kan seperti panas, dingin, rasa makanan, bau, suara dll. dan bersamaan dengan itu juga mengaktualisaskan kecenderungan untuk menyenangi, membenci apa yang telah di indra kan. selanjutnya mengatualisasikan potensi mengkhayal, untuk menyimpan gambar-gambar fenomena yang telah di hasilkan. lalu mengaktualisasikan potensi berpikir yang memungkinkan manusia untuk memikirkan atau menangkap apa-apa yang dapat ditangkap oleh akal[3].
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan – akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya[4].
Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Segi-segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
1.   Segi fisika yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan-kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
2.   Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa[5].
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
1.      Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya, diantaranya, Makan (nutrition), Tumbuh (growth), Berkembang biak (reproduction)
2.      Jiwa binatang dengan daya-daya, diantaranya, Gerak (locomotion), Menangkap (perception) dengan dua bagian, Menagkap dari luar dengan panca indera, Menangkap dari dalam dengan indera - indera dalam, Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca     indera, Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera          bersama, Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi, Estimasi yang dapat menangkap hal - hal abstraks yang terlepas dari      materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala., Rekoleksi yang menyimpan hal - hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3.      Jiwa manusia   dengan daya-daya, diantaranya, Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya         adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan sebagai berikut :
             a.    Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir                              dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
             b.   Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang                              hal-hal abstrak.
             c.    Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
             d.   Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal              abstrak dengan tak perlu pada daya upaya[6].

Sedangkan menurut al-Ghazali di dalam buku–buku filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah–ubah yaitu al-Nafs­ atau jiwanya[7].
Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan-pengetahuan intelektual yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr. Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism) dan substansi yang kedua disebut jiwa (al-nafs).[8]
Jiwa memiliki daya-daya sebagai derivatnya dan atas dasar tingkatan daya – daya tersebut, pada diri manusia terdapat tiga jiwa (al-nufus al-tsalatsah):
Pertama, jiwa tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah) merupakan tingkatan jiwa yang paling rendah dan memiliki tiga daya, yaitu daya nutrisi (al-ghadiya),daya tumbuh (al-munmiyah) dan daya reproduksi (al-muwallidah), dengan daya ini manusia dapat berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak sebagaimana tumbuh-tumbuhan.
Kedua, jiwa hewani/sensitif yang memiliki dua daya yaitu, daya penggerak dan daya persepsi. Pada penggerakan terdapat dua daya lagi yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah) dan 2 daya berbuat (al-fa’ilah).
Ketiga, jiwa rasional. Mempunyai dua daya, yaitu, daya praktis dan daya teoritis. Yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya-daya jiwa sensitif/hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teorities. Yang dimaksud akal teoritis adalah al-‘alimah, sebab jiwa rasional disebut juga al ‘aql. Al-‘alimah disebut juga akal praktis. Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal teoritis kepada daya penggerak[9]


[1] Abdul Azis Dahlan, 2002, Filsafat dalam Ensiklopedi Tematis Jilid 4, Jakarta :PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 181
[2] Ibid. 183-184
[3] Ibid.188
[4] Harun Nasution, 1992, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang. hal.34-35
[5] ibid
[6] Ibid., hal. 36 - 37
[7] Al-Ghazali, Ma’rij al-Quds fi Madarij Ma’rofah al-Nafs, (Kairo : Maktabah Al-Jund, 1968), hlm. 19
[8] Al-Ghazali, Madarij Al-salikin, (Kairo : Tsaqofa al-Islamiyah, 1964), hlm. 16
[9] ibid.

No comments:

Post a Comment