Menurut
Al Kindy, Jiwa manusia itu sederhana atau tidak tersusun, mulia, sempurna, dan
penting. substansinya berasal dari subsantsi Tuhan seepeti sinar yang berasal
dari matahari. Jiwa memiliki wujud sendiri dan lain dengan badan. substansinya
bersifat ilahi dan rohani. argument tentang berbedanya jiwa dengan badan
didasarkan pada kenyataan bahwa jiwa menentang keinginan nafsu yang
berorientasi pada kepentingan badan. jika pada suatu saat nafsu marah dapat
mendorong manusia untuk berbuat sesuatu, maka jiwa melarang dan mengontrolnya,
seperti penuggang kuda mengontrol dan mengendalikan kuda yang hendak lari
semaunya. jika nafsu syahwat tampil kedepan, maka berpikirlah jiwa menilai
bahwa ajakan syahwat itu salah dan membawa pada kerendahan. ini adalah indikasi
yang jelas menunjukkan bahwa jiwa lain
dari nafsu yang di miliki oleh badan.
Al
Kindy mengatakan bahwa jiwa itu mempunyai potensi pikir , potensi marah dan
potensi syahwat. manusia bila meremehkan segala yang empiris dan memusatkan
bahasannya pada hakekat-hakekat sesuatu, niscaya terbuka bagi jiwanya
pengetahuan tentang yang ghaib, mengetahui apa yang tersembunyi dalam jiwanya
dan mengetahui rahasia-rahasia ciptaan. jika manusia bisa melakukana demikian
padahal jiwanya masih berada dalam badan, yakni alam yang gelap yang niscaya
gelap sekali, seperti sinar matahari yang tidak lagi menyinari, maka lebih
terbuka lagi jiwanya bila telah meninggalkan badan dan memasuki alam kebenaran
yang disinari oleh sinar Tuhan.[1]
Sedangkan
menurut filsafat lima kekal yang dianggap sebagai dasar pemikiran dari Abu
Bakar Muhammad Bin Zakaria ar-Razi dalam doktrin filsafat lima kekal yang berisi
mengenai Tuhan, Jiwa universal, materi pertama, ruang absolute dan zaman
absolut. kelima yang kekal tersebut dapat di fahami secara logis dari kenyataan
adanya alam benda yang empiris ini. alam benda itu haruslah tersusun dari
materi pertama dan hjaruslah membutuhkan ruang. oleh karena itu ruang haruslah
ada, dan ruang bagi segenap materi yang ada disebut ruang absolut. materi atau
alam benda ini mengalami perubahan atau gerakan, dan dengan gerakan itu
terjadilah zaman.
Dalam
pemahan mengenai jiwa dan materi filasafat lima kekal menjelaskan bahwa jiwa
universal dan materi pertama membutuhkan Tuhan sang pencipta yang Maha
Bijaksana. Tuhan pada mulanya belum membentuk alam dari materi pertama. akan
tetapi pada suatu ketika jiwa tertarik pada materi pertama dan ingin bermain
dengan materi pertama. tetapi terjadi penolakan dari materi pertama, maka Tuhan
datang membantu jiwa dengan membentuk alam ini dalam susunan yang kuat sehingga
jiwa dapat mencari kesenangan material didalamnya.
Tuhan
menciptakan manusia dan jiwa dapat mengambilnya sebagai tempat. karena terikat
pada kesenangan material, jiwa lupa pada asalnya dan dan juga lupa bahwa
kesenangan sejati tidaklah terletak dalam persatuannya dengan materi, tapi
dalam kelepasannya dari materi. untuk itu Tuhan memberikan kepada Jiwa itu daya
akal, yang dapat menyadarkan manusia yang telah tertipu oleh kesenangan
material. babhwa kesenangan material itu rendah nilainya, serta menyadarkan
bahwa alam yang sebenarnya dan kesenangan sejati berada diluar alam materi.
jiwa akan tetap tinggal di alam materi selama ia tidak dapat menyucikan diri.
penyucian diri dapat dilakukan denan filsafat, dan bila jiwa telah suci , maka
jiwa itu dapat kembali memasuki alam asalnya, pada saat itulah alam materi
hancur dan kembali menjadi materi asal.[2]
Al
Faraby berupaya membuat sintesa antara pandangan Plato dan Aristoteles
mengenani Jiwa manusia. mengikuti pandangan Aristoteles, Al Farabby menyatakan
bahwa jiwa manusia adalah bentuk bagi tubuhnya, tetapi pandangan Al faraby
tidak hanya sampai pada itu karena Al Faraby juga mengikuti Plato yang
menyatakan bahwa jiwa manusia itu adalah substansi imateri yang tidak hancur
dengan hancurnya badan. akan tetapi dalam pandangannya mengenai jiwa manusia Al
Faraby juga tidak sepenuhnya mengikuti pandangan dari Plato dan Aristoteles.Seperti
halnya pandangan Plato mengenai Pra-Eksistensi dan Reinkarnasi jiwa.
Adapun
mengenai potensi yang dimiliki oleh jiwa, Al Faraby mengikuti jejak Aristoteles
dalam memahaminya, yakni bila tercipta seseorang manusia, maka yang yang
pertama diaktualisasikan dalam jiwanya adalah potensi makan, kemudian potensi
indra yang bisa di indra kan seperti panas, dingin, rasa makanan, bau, suara
dll. dan bersamaan dengan itu juga mengaktualisaskan kecenderungan untuk
menyenangi, membenci apa yang telah di indra kan. selanjutnya mengatualisasikan
potensi mengkhayal, untuk menyimpan gambar-gambar fenomena yang telah di
hasilkan. lalu mengaktualisasikan potensi berpikir yang memungkinkan manusia
untuk memikirkan atau menangkap apa-apa yang dapat ditangkap oleh akal[3].
Pemikiran
terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar
akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama,
demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke
sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan.
Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril
Pemikiran
ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi
kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau
ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti
bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu
mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang
lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan.
Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai
wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan – akan
tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud
(kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya
bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud
bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.
Ibnu
Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya
sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari
hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible
in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya
sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya[4].
Dari
pemkiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai
wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin
wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala
apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Segi-segi
kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu
:
1. Segi fisika yang membicarakan tentang macam-macamnya
jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan-kebaikan,
jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk
dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
2. Segi metafisika, yang membicarakan tentang
wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa[5].
Ibnu
Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
1.
Jiwa tumbuh-tumbuhan
dengan daya-daya, diantaranya, Makan (nutrition), Tumbuh (growth), Berkembang
biak (reproduction)
2.
Jiwa binatang
dengan daya-daya, diantaranya, Gerak (locomotion), Menangkap (perception)
dengan dua bagian, Menagkap dari luar dengan panca indera, Menangkap dari dalam
dengan indera - indera dalam, Indera bersama yang menerima segala apa yang
ditangkap oleh panca indera, Representasi
yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama, Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan
dalam representasi, Estimasi yang dapat menangkap hal - hal abstraks yang
terlepas dari materi umpamanya
keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala., Rekoleksi yang menyimpan hal
- hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3.
Jiwa
manusia dengan daya-daya, diantaranya, Praktis
yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan
sebagai berikut :
a. Akal
materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih
walaupun sedikitpun.
b. Intelectual
in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
c. Akal
actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
d. Akal
mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya
upaya[6].
Sedangkan
menurut al-Ghazali di dalam buku–buku filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia
mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah–ubah yaitu al-Nafs atau
jiwanya[7].
Adapun
yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak
bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan-pengetahuan
intelektual yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr. Hal ini menunjukkan
bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik
adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang
tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara
dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas
dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak
berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan.
Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism)
dan substansi yang kedua disebut jiwa (al-nafs).[8]
Jiwa
memiliki daya-daya sebagai derivatnya dan atas dasar tingkatan daya – daya
tersebut, pada diri manusia terdapat tiga jiwa (al-nufus al-tsalatsah):
Pertama, jiwa
tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah)
merupakan tingkatan jiwa yang paling rendah dan memiliki tiga daya, yaitu daya
nutrisi (al-ghadiya),daya tumbuh (al-munmiyah) dan daya reproduksi (al-muwallidah), dengan daya ini manusia
dapat berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak sebagaimana tumbuh-tumbuhan.
Kedua, jiwa
hewani/sensitif yang memiliki dua daya yaitu, daya penggerak dan daya persepsi.
Pada penggerakan terdapat dua daya lagi yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah) dan 2 daya berbuat (al-fa’ilah).
Ketiga, jiwa rasional. Mempunyai dua daya, yaitu, daya
praktis dan daya teoritis. Yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui
daya-daya jiwa sensitif/hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai
oleh akal teorities. Yang dimaksud akal teoritis adalah al-‘alimah, sebab jiwa
rasional disebut juga al ‘aql. Al-‘alimah disebut juga akal praktis.
Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal teoritis kepada
daya penggerak[9]
[1] Abdul Azis Dahlan, 2002,
Filsafat dalam Ensiklopedi Tematis Jilid 4, Jakarta :PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
181
[2] Ibid. 183-184
[3] Ibid.188
[4] Harun Nasution, 1992, Falsafat
dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang. hal.34-35
[5] ibid
[6] Ibid., hal. 36 - 37
[7] Al-Ghazali, Ma’rij al-Quds fi
Madarij Ma’rofah al-Nafs, (Kairo : Maktabah Al-Jund, 1968), hlm. 19
[8] Al-Ghazali, Madarij Al-salikin,
(Kairo : Tsaqofa al-Islamiyah, 1964), hlm. 16
[9] ibid.
No comments:
Post a Comment