Pendidikan Agama Islam dalam Perspektik Filsafat
A. Pendahuluan
Hubungan filsafat dengan pendidikan adalah
pendidikan memiliki ruang lingkup pembahasan yang luas, menyangkut seluruh
aspek kehidupan dan penghidupan manusia. permasalahan pendidikan tersebut
terkadang harus menggunakan analisa pemikiran dengan filsafat. Secara rinci
filsafat dalam pendidikan sebagai suatu lapangan studi mengarahkan pusat
perhatiannya dan memusatkan kegiatannya pada dua fungsi tugas normatif ilmiah,
yaitu,
1. Merumuskan
dasar-dasar dan tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang sifat hakikat manusia,
serta konsepsi hakikat dan pendidikan serta isi moral pendidikannya.[1]
2. Kegiatan
merumuskan sistem atau teori pendidikan (science of education) yang meliputi
politik pendidikan, kepemimpinann atau organisasi pendidikan, metodologi
pendidikan dan pengajaran, termasuk pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan
dalam pembangunan masyarakat dan negara.[2]
Filsafat sebagai suatu ikhtiar berfikir bukan
berarti merumuskan suatu doktrin yang final, konklusif dan tidak bisa diganggu
gugat. Filsafat hanya yang suatu kegiatan perenungan yang bertujuan mencapai
tujuan tentang hakikat dari segala yang nyata.
Sebagai salah satu yang melandasi pemikiran
pentingnya transformasi pendidikan dalam konteks nilai-nilai moralitas
keagamaan, maka menurut Hasan Langgulung, pendidikan Islam dapat dilihat dari
tiga sudut pandang yakni [4], yang pertama,pengembangan
potensi, potensi manusia sebagai karunia Tuhan itu harus dikembangkan. Kedua, pendidikan
adalah pewarisan budaya memindahkan nilai-nilai budaya dari satu
generasi kepada generasi berikutnya. ketiga,interaksi antar potensi
dan budaya
Pendidikan dengan nilai memiliki relevansi yang
sangat erat. Nilai terlibat dalam tiap tindakan pendidikan baik dalam
merencanakan suatu proses belajar maupun dalam pengajaran karena dengan nilai
guru dapat memberikan tindakan pembelajaran dan evaluasi, demikian pula siswa
dapat mengukur hasil proses pembelajaran yang diterima dengan nilai tersebut.
Maka nilai-nilai yang terkandung dalam kajian aksiologi akan
memberikan pemahaman dalam makna nilai etika dan nilai estetika
B.
Pendidikan
Agama Islam dalam Kajian Ontologi
Penjelasan
mengenai Ontologi penulis sampaikan sebagaimana disebutkan oleh Amsal Bakhtiar,
dalam bukunya “Filsafat Ilmu”, menyatakan bahwa, orang akan menghadapi
persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini ?
Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama,
kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan yang kedua, kenyataan yang berupa
rohani (kejiwaan).[3]
Permasalahan pendidikan Islam yang
menjadi perhatian ontologi menurut Muhaimin adalah bahwa dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat
dan dunia[4].
Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini berkisar pada: apa saja potensi yang
dimiliki manusia? Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith terdapat istilah fitrah, samakah
potensi dengan fitrah tersebut? Potensi dan atau fitrah apa dan dimana yang perlu mendapat
prioritas pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah potensi dan atau fitrah itu
merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah
ia dapat berkembang melalui lingkungan atau faktor ajar?
Lebih luas lagi apa hakekat budaya
yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Ataukah hanya
ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujud dalam realitas sejarah umat Islam
yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis yang perlu
mendapat penegasan.
Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam
menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu
yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna. Masing-masing
definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab sebagai
seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi
perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap
individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam
ajaran Islam anak didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam
dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah
yang akan bahagia baik di dunia dan di akhirat[5]
Oleh karena itu dalam al Quran Allah
Swt berfirman,
“ Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs,Al Baqoroh, 30)
C.
Pendidikan
Agama Islam dalam Kajian Epistimology
Dalam pembahasan filsafat,
epistemologi dikenal sebagai sub system dari filsafat bersama ontologi dan
aksiologi. Epistemologi merupakan teori pengetahuan, yakni membahas tentang
bagaimana cara mendapat pengetahuam dari objek yang ingin dipikirkan. Setiap
jenis pengetahuan selalu mempunyai cirri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan itu
disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, dan tidak mungkin bahasan
epistemologi terlepas sama sekali dari intologi dan aksiologi. Namun demikian,
ketika kita membicarakan epistemologi di sini, berarti kita sedang menekankan
bahasan tentang upaya, cara atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan.
Berikut ini adalah pengertian epistemology menurut para ahli,
1. Menurut D.W.Hamlyn epistemologi merupakan cabang filsafat yang
berurusan dengan hakekat dan ruang lingkup pengetahuan, dasar, dan
pengandai-andaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai
penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
2. Menurut Dagobert D. Runes mendefinisikan epistemologi sebagai
cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan
validitas pengetahuan.
3. Menurut Azyrumardi Azra, epistemologi merupakan ilmu yang
membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan aliditas ilmu
pengetahuan[6]
Dalam filsafat
terdapat dua jenis objek, yakni objek material dan forma. Objek material adalah
sarwa –yang ada, yang secara garis besar meliputi hakekat Tuhan, hakekat alam,
dan hakekat manusia. Sedangkan objek forma adalah usaha mencari keterangan
secara radikal tentang objek material filsafat. Lebih khusus lagi, objek
material pendidikan adalah manusia sedangkan objek formanya adalah
persoalan-persoalan kemampuan manusia. Menurut Jujun S. Suriasumantri, objek
epistemologi berupa segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk
memperoleh pengetahuan.
Sedangkan dalam
pendidikan Agama Islam, menurut Hasan Basri merupakan proses pembinaan manusia
secara jasmaniah dan rohaniah. Adapun hakikat pendidikan agama Islam dapat
diartikan secara praktis sebagai pengajaran al-Qur’an dan Hadits. Secara
spesifik M.Arifin menambahkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap
pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengajarkan,
mengarahkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.[7]
Adapun objek
formal pendidikan agama Islam sebagaimana pendidikan lainnya, yakni manusia,
atau lebih spesifiknya muslim. Adapun objek materialnya meliputi semua
persoalan pengalaman keagamaan manusia. Dalam hal ini, materi PAI meliputi:
Qur’an Hadits, Fiqih, Akidah Akhlak, dan SKI.
Menurut Hasan
Basri, epistemologi pendidikan Islam merupakan seluk-beluk dari sumber-sumber
pendidikan Islam sebagaimana telah ditegaskan bahwa al-Qur’an adalah segala
sumber hukum dalam ajaran Islam. Pendidikan Islam merujuk pada nilai-nilai
al-Qur’an yang universal dan abadi. Al-qur’an selain sebagai sumber hukum, juga
digunakan sebagai penentu validitas suatu kebenaran.[8] Di samping al-Qur’an, pendidikan Islam
juga menggunakan sumber kebenaran lainnya yaitu as-Sunnah, atsar dan ijma’
sahabat, dan ijtihad ulama.[9]
Membicarakan
epistemology, tidak bisa terlepas dari metode. Metode pendidikan Islam dalam
hal ini membahas hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan Islam.
Di antara metode yang digunakan dalam menyusun ilmu pendidikan Islam, dengan
merujuk pada sumber utama, al-Qur’an, di antaranya dengan metodologi
hermeneutik. Hermeneutik adalah kiat untuk memahami teks-teks keagamaan dalam pencarian
melalui pencarian makna dari susunan kalimat, konteks budaya, tafsir
transendensi dan yang lainnya. Menurut Noeng Muhadjir, konsep teoritiknya
berangkat dari linguistik, narasi bahasa, historis, hukum, etika dan lain-lain.[10]
Al-Quran yang
sarat dengan nilai-nilai pendidikan Islam perlu untuk diinterpretasikan dalam
pencarian kebenaran kontekstual. Dalam hermeneutik, Arkoun membagi model-model
teks menjadi dua, yaitu teks pembentuk naskah al-Qur’an, dan teks penjelas dan
hermeneutik, literatur-literatur yang memberikan interpretasi dan penjelasan
terhadap teks pembentuk yang dimunculkan oleh para pemikir Islam sejak empat
abad pertama hijriah hingga sekarang termasuk juga hadits Nabi SAW.[11]
Dalam kajian
epistimologi Islam Muhammad Abid al-Jabiri membagi epistemologi ilmu keislaman
menjadi tiga, yaitu, pertama, epistemologi
bayani, Yakni, menyingkap makna dari suatu pembicaraan serta menjelaskan secara
terinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada taklif (orang
yang terbebani hukum). Epistemologi ini menjadikan teks sebagai rujukan pokok
dalam membangun konsepsi tentang alam semesta untuk memperkuat akidah Islam
Dalam
memahami teks ini, segala potensi akal dikerahkan untuk mendapatkan pengetahuan
maupun kebenaran, yang kemudian dikenal dengan istilah ijtihad. Adapun dalam
mengimplementasikannya melalui metode qiyas (analogi) dan istinbat (penetapan
kesimpulan)
Kedua, epistemologi Irfani, Yakni
pengalaman atau pengetahuan langsung dengan objek pengetahuan (ma’rifat).
Epistemology ini mulai dikenal seiring berkembangnya doktrin ma’rifat yang
diyakini sebagai pengetahuan batin, terutama tentang Tuhan.
Karena sumber
ilmunya berasal dari pengalaman, maka metode yang digunakan adalah penghayatan
intuitif, sedangkan teknik yang digunakan adalah riyadhoh. Adapun validitas
kebenaran hasil pengetahuannya sulit untuk diukur menggunakan akal, karena
pengalaman atau perasaan sangat subjektif. Oleh karena itu melalui simpati,
empati, memahami orang lain, perlu dikedepankan untuk mengukur validitas kebenaran
pengetahuan tersebut. Adapun akal hanya bersifat partisipatif.
Ketiga, epistemologi Burhani, Epistemologi
ini menyatakan bahwa sumber atau asal pengetahuan adalah realitas, baik
realitas alam, social, maupun kemanusiaan dan keagamaan. Pengetahuan burhani
diperoleh melalui proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang sahih.
Tujuannya adalah mencari sebab dan musabab. Ukuran validitas hasil pengetahuan
burhani adalah korespondensi yaitu kesesuaian antar rumus yang diciptakan
manusia dengan hokum-hukum alam, koherensi yakni keruntutan dan keteraturan
berpikir logis.[12]
Jika Pendidikan
Agama Islam diurai menjadi empat mata pelajaran, yakni Qur’an Hadits, Akidah
Akhlak, Fiqih, dan SKI, maka bisa ditentukan epistemology mana yang mendominasi
antar sub-mata pelajaran tersebut.
Qur’an Hadits
lebih menekankan pada epistemology bayani, karena pembahasannya terpusat pada
penafsiran teks al-Qur’an dan Hadits. Sementara Akidah Akhlak akan lebih
didominasi pengetahuan Irfani, karena memfokuskan pada pengalaman intuisi
berupa keyakinan dan pengalaman psikologi berupa sikap.
Adapun Fiqih
akan berimbang antara epistemology bayani dan burhani, karena selain menyangkut
pengkajian teks dalil yang menjadi bahasan ushul fiqih, juga mempertimbangkan
pengetahuan social yang menyangkut korespondensi dan koherensi dengan kondisi
social kemasyarakatan. Demikian pula Sejarah Kebudayaan Islam, akan didominasi
kedua epistemology tersebut, karena sejarah Islam selain ditelisik dari
teks-teks naqli (asbabun nuzul/ wurud), juga membutuhkan kesesuaian antara
pengalaman inderawi dengan teks-teks kesejarahan (baik dalam hal kronologi dan
periodisasi).
D.
Pendidikan Agama Islam dalam Kajian Aksiology
Aksiologi ialah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut
pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang
bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis,
etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika
bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah
keindahan.[13]
Etika
menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal
etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa
etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjaudari segi baik dan tidak baik
dalam suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan
dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimilki oleh manusia terhadap
lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Etika
merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbutan manusia. Cara memandangnya
dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku
manusia. Filsafat Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan Antara ilmu
(pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat.[14]
Masalah
moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran,
sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran,
diperlukan keberanian moral.Sangat sulit membayangkan perkembangan iptek tanpa
adanya kendali dari nilai-nilai etika agama.
Untuk
itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan
sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan etik-moral,
dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang
mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru,
pemerintah, pendidik serta masyarakat luas.
Ini
berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu
kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada
siswa melainkan pada seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam. Terwujudnya kondisi mental, moral dan spritual religius
menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan Islam.
Oleh
sebab itu berdasarkan pada pendekatan etik moral pendidikan Islam harus
berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada
peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan tetap memperhatikan
dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki serta
latar belakang sosio budaya masing-masing.
Disamping
penjelasan mengenai etika dalam kajian
aksiologi, terdapat penjelasan mengenai estetika seperti yang telah di jelaskan
sebelumnya, bahwa kajian aksiologi merupakan kajian tentang nilai dari etika dan estetika.
Dalam
dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan
ada tiga interpretasi tentang hakikat seni, Seni sebagai penembusan terhadap
realitas, selain pengalaman, Seni sebagai alat kesenangan, Seni sebagai
ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.[15]
Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah
nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan
yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan
pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan
kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik
serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya
menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni yang sesuai dengan Islam.
E. Kesimpulan
1.
Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi adalah merupakan cabang-cabang dan dasar-dasar utama daripada
Filsafat Ilmu, oleh karena itu maka setiap berbicara tentang Filsafat ilmu
pastilah salah satunya membicarakan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
2.
Ontologi adalah berbicara tentang
hakekat ataupun kenyataan sesuatu yang ada baik yang jasmani maupun yang
rohani. Untuk dapat melihat hakekat realitas maka ada dua pendekatan utama,
yaitu Pertama, Pendekatan Kuantitatif dan Kedua, Pendekatan Kualitatif. penyelenggaraan
pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat
dan dunia
3.
Epistemologi adalah membahas
tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran yang berurusan dengan hakikat
dan lingkup pengetahuan. Adapun cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dapat
dilakukan dengan beberapa metode
4.
Aksiologi adalah berbicara tentang
nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi haruslah diberi nilai-nilai agama dan kemanusiaan
Daftar Pustaka
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993)
Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, diterjemahkan oleh Hidayatullah,
(Bandung : Pustaka, 2000)
Aziz, Abdul, 2009, Filsafat Pendidikan Islam,sebuah
gagasan membangun pendidikan Islam, (Yogyakarta : Teras)
Basri
, Hasan, FIlsafat Pendidikan
Islam. (Pustaka Setia,
Bandung, 2009)
Bakhtiar, Amsal, Dr., MA., Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo)
Muhadjir,
Noeng, Filsafat Ilmu Telaah
Sistematis Fungsional Komperatif, (Yogyakarta
: Rake Sarasin, 1998. )
Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada.)
Kattsoff. O.Louis Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono( Yogyakarta.
Penerbit Tiara Wacana, 1996)
Prasetya,1997,
Filsafat Pendidikan, Pustaka Setia,
(Bandung: Pustaka Setia)
Qomar,
Mujamil, Epistemologi
Pendidikan Islam. (Erlangga: Jakarta. 2005)
Sadulloh, Uyoh Pengantar Filsafat
Pendidikan,(Bandung: Penerbit Alfabeta, 2007)
Saifullah,
Ali 1983, Antara Filsafat Dan Pendidikan,
(Surabaya :Usaha Nasional)
Ulya, FIlsafat Ilmu Pengetahuan, (, Kudus, : STAIN Press 2011.
)
[1] Prasetya,1997, Filsafat Pendidikan, Pustaka Setia,
(Bandung: Pustaka Setia), 157
[2] Ali Saifullah, 1983, Antara Filsafat Dan Pendidikan,
(Surabaya :Usaha Nasional)
[3] Amsal Bakhtiar, Dr.,
MA., Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT. Raja Grafindo)
[4]
Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 65
[5] Abdul Aziz, 2009, Filsafat
Pendidikan Islam,sebuah gagasan membangun pendidikan Islam, (Yogyakarta
: Teras)
[6]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam.
Erlangga: Jakarta. 2005. h. 4
[7] M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1993, h.15.
[8] Hasan Basri, FIlsafat Pendidikan Islam. Pustaka
Setia, Bandung, 2009, h 19
[9]Ibid, 149
[10] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis
Fungsional Komperatif, Yogyakarta
: Rake Sarasin, 1998. h 85
[11] M.Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, diterjemahkan oleh Hidayatullah, Bandung
: Pustaka, 2000, h.234
[12] Ulya, FIlsafat Ilmu Pengetahuan, STAIN Press, Kudus, 2011. h
120-126
[13] Louis O.
Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa
Soejono Soemargono( Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana, 1996), 327
No comments:
Post a Comment