Monday 12 October 2015

Pendidikan Agama Islam dalam Perspektik Filsafat

Pendidikan Agama Islam dalam Perspektik Filsafat 



A.    Pendahuluan
Hubungan filsafat dengan pendidikan adalah pendidikan memiliki ruang lingkup pembahasan yang luas, menyangkut seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia. permasalahan pendidikan tersebut terkadang harus menggunakan analisa pemikiran dengan filsafat. Secara rinci filsafat dalam pendidikan sebagai suatu lapangan studi mengarahkan pusat perhatiannya dan memusatkan kegiatannya pada dua fungsi tugas normatif ilmiah, yaitu,

1.      Merumuskan dasar-dasar dan tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang sifat hakikat manusia, serta konsepsi hakikat dan pendidikan serta isi moral pendidikannya.[1]
2.      Kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan (science of education) yang meliputi politik pendidikan, kepemimpinann atau organisasi pendidikan, metodologi pendidikan dan pengajaran, termasuk pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat dan negara.[2]

Filsafat sebagai suatu ikhtiar berfikir bukan berarti merumuskan suatu doktrin yang final, konklusif dan tidak bisa diganggu gugat. Filsafat hanya yang suatu kegiatan perenungan yang bertujuan mencapai tujuan tentang hakikat dari segala yang nyata.
Sebagai salah satu yang melandasi pemikiran pentingnya transformasi pendidikan dalam konteks nilai-nilai moralitas keagamaan, maka menurut Hasan Langgulung, pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga sudut pandang yakni [4], yang pertama,pengembangan potensi, potensi manusia sebagai karunia Tuhan itu harus dikembangkan. Kedua, pendidikan adalah pewarisan budaya memindahkan nilai-nilai budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya. ketiga,interaksi antar potensi dan budaya
Pendidikan dengan nilai memiliki relevansi yang sangat erat. Nilai terlibat dalam tiap tindakan pendidikan baik dalam merencanakan suatu proses belajar maupun dalam pengajaran karena dengan nilai guru dapat memberikan tindakan pembelajaran dan evaluasi, demikian pula siswa dapat mengukur hasil proses pembelajaran yang diterima dengan nilai tersebut. Maka  nilai-nilai  yang terkandung dalam kajian aksiologi akan memberikan pemahaman dalam makna nilai etika dan nilai estetika 

B.     Pendidikan Agama Islam dalam Kajian Ontologi

Penjelasan mengenai Ontologi penulis sampaikan sebagaimana disebutkan oleh Amsal Bakhtiar, dalam bukunya “Filsafat Ilmu”, menyatakan bahwa, orang akan menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini ? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan yang kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).[3]

Permasalahan pendidikan Islam yang menjadi perhatian ontologi menurut Muhaimin adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia[4]. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini berkisar pada: apa saja potensi yang dimiliki manusia? Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith terdapat istilah fitrah, samakah potensi dengan fitrah tersebut? Potensi dan atau fitrah apa dan dimana yang perlu mendapat prioritas pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah potensi dan atau fitrah itu merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui lingkungan  atau faktor ajar?

Lebih luas lagi apa hakekat budaya yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Ataukah hanya ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujud dalam realitas sejarah umat Islam yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis yang perlu mendapat penegasan.

Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna. Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan di akhirat[5]
Oleh karena itu dalam al Quran Allah Swt berfirman,

“ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs,Al Baqoroh, 30)

C.    Pendidikan Agama Islam dalam Kajian Epistimology
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub system dari filsafat bersama ontologi dan aksiologi. Epistemologi merupakan teori pengetahuan, yakni membahas tentang bagaimana cara mendapat pengetahuam dari objek yang ingin dipikirkan. Setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai cirri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan itu disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, dan tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari intologi dan aksiologi. Namun demikian, ketika kita membicarakan epistemologi di sini, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Berikut ini adalah pengertian epistemology menurut para ahli,
1.      Menurut D.W.Hamlyn epistemologi merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan ruang lingkup pengetahuan, dasar, dan pengandai-andaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
2.      Menurut Dagobert D. Runes mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang  membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.
3.      Menurut Azyrumardi Azra, epistemologi merupakan ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan aliditas ilmu pengetahuan[6]
Dalam filsafat terdapat dua jenis objek, yakni objek material dan forma. Objek material adalah sarwa –yang ada, yang secara garis besar meliputi hakekat Tuhan, hakekat alam, dan hakekat manusia. Sedangkan objek forma adalah usaha mencari keterangan secara radikal tentang objek material filsafat. Lebih khusus lagi, objek material pendidikan adalah manusia sedangkan objek formanya adalah persoalan-persoalan kemampuan manusia. Menurut Jujun S. Suriasumantri, objek epistemologi berupa segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.
Sedangkan dalam pendidikan Agama Islam, menurut Hasan Basri merupakan proses pembinaan manusia secara jasmaniah dan rohaniah. Adapun hakikat pendidikan agama Islam dapat diartikan secara praktis sebagai pengajaran al-Qur’an dan Hadits. Secara spesifik M.Arifin menambahkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengajarkan, mengarahkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.[7]
Adapun objek formal pendidikan agama Islam sebagaimana pendidikan lainnya, yakni manusia, atau lebih spesifiknya muslim. Adapun objek materialnya meliputi semua persoalan pengalaman keagamaan manusia. Dalam hal ini, materi PAI meliputi: Qur’an Hadits, Fiqih, Akidah Akhlak, dan SKI.
Menurut Hasan Basri, epistemologi pendidikan Islam merupakan seluk-beluk dari sumber-sumber pendidikan Islam sebagaimana telah ditegaskan bahwa al-Qur’an adalah segala sumber hukum dalam ajaran Islam. Pendidikan Islam merujuk pada nilai-nilai al-Qur’an yang universal dan abadi. Al-qur’an selain sebagai sumber hukum, juga digunakan sebagai penentu validitas suatu kebenaran.[8] Di samping al-Qur’an, pendidikan Islam juga menggunakan sumber kebenaran lainnya yaitu as-Sunnah, atsar dan ijma’ sahabat, dan ijtihad ulama.[9]
Membicarakan epistemology, tidak bisa terlepas dari metode. Metode pendidikan Islam dalam hal ini membahas hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan Islam. Di antara metode yang digunakan dalam menyusun ilmu pendidikan Islam, dengan merujuk pada sumber utama, al-Qur’an, di antaranya dengan metodologi hermeneutik. Hermeneutik adalah kiat untuk memahami teks-teks keagamaan dalam pencarian melalui pencarian makna dari susunan kalimat, konteks budaya, tafsir transendensi dan yang lainnya. Menurut Noeng Muhadjir, konsep teoritiknya berangkat dari linguistik, narasi bahasa, historis, hukum, etika dan lain-lain.[10]
Al-Quran yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan Islam perlu untuk diinterpretasikan dalam pencarian kebenaran kontekstual. Dalam hermeneutik, Arkoun membagi model-model teks menjadi dua, yaitu teks pembentuk naskah al-Qur’an, dan teks penjelas dan hermeneutik, literatur-literatur yang memberikan interpretasi dan penjelasan terhadap teks pembentuk yang dimunculkan oleh para pemikir Islam sejak empat abad pertama hijriah hingga sekarang termasuk juga hadits Nabi SAW.[11]
Dalam kajian epistimologi Islam Muhammad Abid al-Jabiri membagi epistemologi ilmu keislaman menjadi tiga, yaitu, pertama, epistemologi bayani, Yakni, menyingkap makna dari suatu pembicaraan serta menjelaskan secara terinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada taklif (orang yang terbebani hukum). Epistemologi ini menjadikan teks sebagai rujukan pokok dalam membangun konsepsi tentang alam semesta untuk memperkuat akidah Islam
Dalam memahami teks ini, segala potensi akal dikerahkan untuk mendapatkan pengetahuan maupun kebenaran, yang kemudian dikenal dengan istilah ijtihad. Adapun dalam mengimplementasikannya melalui metode qiyas (analogi) dan istinbat (penetapan kesimpulan)
Kedua, epistemologi Irfani, Yakni pengalaman atau pengetahuan langsung dengan objek pengetahuan (ma’rifat). Epistemology ini mulai dikenal seiring berkembangnya doktrin ma’rifat yang diyakini sebagai pengetahuan batin, terutama tentang Tuhan.
Karena sumber ilmunya berasal dari pengalaman, maka metode yang digunakan adalah penghayatan intuitif, sedangkan teknik yang digunakan adalah riyadhoh. Adapun validitas kebenaran hasil pengetahuannya sulit untuk diukur menggunakan akal, karena pengalaman atau perasaan sangat subjektif. Oleh karena itu melalui simpati, empati, memahami orang lain, perlu dikedepankan untuk mengukur validitas kebenaran pengetahuan tersebut. Adapun akal hanya bersifat partisipatif.
Ketiga, epistemologi Burhani, Epistemologi ini menyatakan bahwa sumber atau asal pengetahuan adalah realitas, baik realitas alam, social, maupun kemanusiaan dan keagamaan. Pengetahuan burhani diperoleh melalui proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang sahih. Tujuannya adalah mencari sebab dan musabab. Ukuran validitas hasil pengetahuan burhani adalah korespondensi yaitu kesesuaian antar rumus yang diciptakan manusia dengan hokum-hukum alam, koherensi yakni keruntutan dan keteraturan berpikir logis.[12]
Jika Pendidikan Agama Islam diurai menjadi empat mata pelajaran, yakni Qur’an Hadits, Akidah Akhlak, Fiqih, dan SKI, maka bisa ditentukan epistemology mana yang mendominasi antar sub-mata pelajaran tersebut.
Qur’an Hadits lebih menekankan pada epistemology bayani, karena pembahasannya terpusat pada penafsiran teks al-Qur’an dan Hadits. Sementara Akidah Akhlak akan lebih didominasi pengetahuan Irfani, karena memfokuskan pada pengalaman intuisi berupa keyakinan dan pengalaman psikologi berupa sikap.
Adapun Fiqih akan berimbang antara epistemology bayani dan burhani, karena selain menyangkut pengkajian teks dalil yang menjadi bahasan ushul fiqih, juga mempertimbangkan pengetahuan social yang menyangkut korespondensi dan koherensi dengan kondisi social kemasyarakatan. Demikian pula Sejarah Kebudayaan Islam, akan didominasi kedua epistemology tersebut, karena sejarah Islam selain ditelisik dari teks-teks naqli (asbabun nuzul/ wurud), juga membutuhkan kesesuaian antara pengalaman inderawi dengan teks-teks kesejarahan (baik dalam hal kronologi dan periodisasi).
D.    Pendidikan Agama Islam dalam Kajian Aksiology
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.[13]
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjaudari segi baik dan tidak baik dalam suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimilki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.

Etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbutan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia. Filsafat Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat.[14]

Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral.Sangat sulit membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika agama.

Untuk itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan etik-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas.

Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya kondisi mental, moral dan spritual religius menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan Islam.

Oleh sebab itu berdasarkan pada pendekatan etik moral pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.
Disamping penjelasan mengenai etika dalam  kajian aksiologi, terdapat penjelasan mengenai estetika seperti yang telah di jelaskan sebelumnya, bahwa kajian aksiologi merupakan kajian tentang nilai  dari etika dan estetika.

                Dalam dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada tiga interpretasi tentang hakikat seni, Seni sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman, Seni sebagai alat kesenangan, Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.[15]
Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni yang sesuai dengan Islam.         




E.     Kesimpulan
1.      Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi adalah merupakan cabang-cabang dan dasar-dasar utama daripada Filsafat Ilmu, oleh karena itu maka setiap berbicara tentang Filsafat ilmu pastilah salah satunya membicarakan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
2.      Ontologi adalah berbicara tentang hakekat ataupun kenyataan sesuatu yang ada baik yang jasmani maupun yang rohani. Untuk dapat melihat hakekat realitas maka ada dua pendekatan utama, yaitu Pertama, Pendekatan Kuantitatif dan Kedua, Pendekatan Kualitatif. penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia
3.      Epistemologi adalah membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan. Adapun cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dapat dilakukan dengan beberapa metode
4.      Aksiologi adalah berbicara tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi haruslah diberi nilai-nilai agama dan kemanusiaan



Daftar Pustaka

Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993)
Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, diterjemahkan oleh Hidayatullah, (Bandung : Pustaka, 2000)
Aziz, Abdul, 2009, Filsafat  Pendidikan Islam,sebuah gagasan membangun pendidikan Islam, (Yogyakarta : Teras)
Basri , Hasan, FIlsafat Pendidikan Islam. (Pustaka Setia, Bandung, 2009)
Bakhtiar, Amsal, Dr., MA., Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT. Raja Grafindo)
Muhadjir, Noeng,  Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komperatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998. )
Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi. (Jakarta: Raja Grafindo Persada.)
Kattsoff. O.Louis Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono( Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana, 1996)
Prasetya,1997, Filsafat Pendidikan, Pustaka Setia, (Bandung: Pustaka Setia)
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam. (Erlangga: Jakarta. 2005)
Sadulloh, Uyoh Pengantar Filsafat Pendidikan,(Bandung: Penerbit Alfabeta, 2007)
Saifullah, Ali 1983, Antara Filsafat Dan Pendidikan, (Surabaya :Usaha Nasional)
Ulya, FIlsafat Ilmu Pengetahuan, (, Kudus, : STAIN Press 2011. )




[1] Prasetya,1997, Filsafat Pendidikan, Pustaka Setia, (Bandung: Pustaka Setia),  157
[2] Ali Saifullah, 1983, Antara Filsafat Dan Pendidikan, (Surabaya :Usaha Nasional)
[3] Amsal Bakhtiar, Dr., MA., Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT. Raja Grafindo)
[4] Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 65
[5] Abdul Aziz, 2009, Filsafat  Pendidikan Islam,sebuah gagasan membangun pendidikan Islam, (Yogyakarta : Teras)
[6]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam. Erlangga: Jakarta. 2005. h. 4
[7] M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1993, h.15.
[8] Hasan Basri, FIlsafat Pendidikan Islam. Pustaka Setia, Bandung, 2009, h 19
[9]Ibid, 149
[10] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komperatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998. h 85
[11] M.Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, diterjemahkan oleh Hidayatullah, Bandung : Pustaka, 2000, h.234
[12] Ulya, FIlsafat Ilmu Pengetahuan, STAIN Press, Kudus, 2011. h 120-126
[13] Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono( Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana, 1996), 327
[14] Basri , Hasan, FIlsafat Pendidikan Islam. (Pustaka Setia, Bandung, 2009)
[15] Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono, 328

No comments:

Post a Comment