Sunday 11 October 2015

makalah kesehatan mental

BAB I
 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
  Kemajuan dunia terapi psikoproblem (psikoterapi) sekarang sejalan dengan kamajuan masyarakat. Pekerjaan di masyarakat kita sudah terdiferensiasi kearah yang lebih baik. Pekerjaan-pekerjaan yang semula satu jenis, kini mulai terbagi menjadi bagian-bagian yang amat spesifik, misalnya konseling sebagai salah satu hubungan pemberian bantuan yang profesional. Dalam perkembangan terakhir ini kita ketahui bahwa konseling ini begitu sangat pesat baik dari segi riset-riset yang dilakukan maupun teknik-teknik yang dikembangkan.
Diantara berbagai disiplin ilmu, yang memiliki kedekatan hubungan dengan konseling adalah psikologi, bahkan secara khusus dapat dikatakan bahwa konseling merupakan aplikasi dari psikologi, terutama jika dilihat dari tujuan , teori yang digunakan, dan proses penyelenggaraan. Dalam penyelenggaraan konseling dan psikoterapi tersebut seorang konselor atau psikoterapis menggunakan berbagai model pendekatan.
Dapat kita simak pendapat William James seorang ahli psikologi dari Amerika Serikat yang mengatakan bahwa tidak diragukan lagi, bahwa terapi yang terbaik bagi keresahan jiwa adalah kimanan kepada Tuhan. Menurutnya keimanan kepada Tuhan adalah salah satu kekuatan yang tidak boleh tidak harus dipenuhi untuk membimbing seseorang dalam hidup ini. Ia melanjutkan bahwa antara manusia dan Tuhan terdapat ikatan yang tidak terputus, apabila manusia menundukkan diri di bawah pengarahannya, cita-cita dan keinginan manusia akan tercapai. Manusia yang benar-benar relegius akan terlindung dari keresahan dan selalu terjaga keseimbangannya dan selalu siap untuk menghadapi segala malapetaka yang terjadi.[1]
Bahkan menurut Ar-nold Toynbee; sejarawan asal Inggris, krisis yang dialami oleh bangsa-bangsa Eropa pada zaman modern ini adalah disebabkan oleh karena ‘kemiskinan spiritual’ sehingga jalan untuk menyembuhkannya adalah tiada lain kembali kepada agama.[2]
Agama Islam yang ajarannya sangat kompleks telah memberikan bimbingan terhadap hamba-Nya untuk dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yang kesemuanya  terangkum dalam praktik ibadah shalat. Karena shalat merupakan inti dalam ajaran Islam.
Shalat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh (khusyu’) mewujudkan ubudiyah yang benar-benar karena Allah, ikhlas, pasrah, rendah diri terhadap dzat yang maha tinggi. Di dalam shalat; mereka meminta segala sesuatu kepada Allah dan meminta dari-Nya hidayah untuk menuju jalan yang lurus, dan Allah-lah maha kaya lagi mulia.
Shalat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan memperbaharui semangat dan sekaligus sebagai pensucian akhlak. Bagi pelakunya sendiri, shalat itu merupakan tali penguat yang dapat mengendalikan, ia adalah pelipur lara dan mengamankan dari rasa takut dan cemas, juga memperkuat kelemahan, dan senjata bagi yang merasa terasing.[3]
Dengan shalat kita dapat memohon pertolongan atas ujian zaman, tekanan orang lain dan kekejaman para durjana. Shalat juga sebagai pencegahan dan pengobatan bagi gangguan kejiwaan.[4]
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka memunculkan rumusan masalah sebagai berikut
“Implikasi Shalat dalam Terapi Psikoproblem”

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Psikoproblem
Istilah psikoproblem terdiri dari dua kata, yaitu psike dan problem. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kontemporer psike memiliki tiga pengertian; yaitu (1) berarti jiwa manusia, (2) berarti pikiran, dan (3) berarti pelaksanaan kegiatan psikologis yang terdiri atas bagian sadar dan bagian tak sadar. Sedangkan problem  memiliki arti persoalan atau masalah.
Dari pengertian tersebut maka psikoproblem dapat diartikan sebagai masalah atau persoalan yang berhubungan dengan jiwa manusia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia jiwa memiliki arti; (1) roh manusia (yang ada dalam tubuh yang menyebabkan hidup), (2) seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan sebagainya).
Di dalam ilmu psikiatri [5] (Kesehatan Jiwa) dipakai istilah “jiwa” dan tidak lagi dipakai istilah “roh”. Karena hal-hal yang berhubungan dengan roh atau ruh ( وح ر ) itu masuk urusan Allah. Sekarang kita mengetahui bahwa setiap manusia mempunyai jiwa. Akan tetapi apa dan bagaimana jiwa itu, tidak kita ketahui. Yang dapat kita ketahui dan pelajari adalah manifestasinya. Jiwa bermanifestasi dalam bentuk perasaan, akal fikiran dan perbuatan.
Sebagai contoh manifestasi jiwa adalah:
“kalau saya sedang duduk merenung, dalam diri saya tidak diam. Dalam diri saya itu berlangsung bermacam-macam hal. Saya teringat pada waktu saya lulus ujian masuk. Saya masih dapat menangkap atau membayangkan dengan jelas saat kepala sekolah datang mengumumkan hasil ujian kepada kami. Mula-mula cemas karena ragu-ragu, setelah itu rasa gembira yang meluap-luap. Saya lulus ? lalu saya pun melanjutkan khayal saya itu. Terus menuntut ilmu. Terus meneruskan tidak henti-hentinya saya ingin mencapai sesuatu.”[6]

Apa yang dikemukakan dalam kutipan tersebut  merupakan pernyataan-pernyataan (manifestasi) jiwa “saya”. Pernyataan-pernyataan jiwa itu dinamakan gejala psychis atau jiwa. Gejala-gejala psychis itu adalah menangkap, mengingat, memikir, merasa, menghendaki, dan sebagainya. Gejala psychis itu tidak terpisah-pisah yang satu dari yang lain.
Masalah atau persoalan yang berhubungan dengan jiwa itu dipengaruhi oleh faktor gangguan dalam pergaulan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Anna dalam bab pengantarnya  ia mengatakan:
“Dalam kedokteran kita menemukan penyakit yang disebabkan oleh virus, baksil atau racun, tetapi dalam ilmu paikoterapi hanya ada satu penyebab penyakit, yaitu gangguan dalam pergaulan, pergaulan sejak kita dilahirkan.”[7]

Adanya gangguan dalam pergaulan tersebut maka manusia akan menemui berbagai kendala dalam melangsungkan hidupnya di masyarakat, ia akan menemui berbagai tekanan jiwa (masalah macam-macam tekanan jiwa akan dibahas dalam sub-bab setelah bahasan ini) yang akhirnya manusia akan mengalami stress, depresi dan gangguan jiwa lainnya.
Menurut Sukardi[8] dalam kehidupan sehari-hari psikoproblem mucul disebabkan karena beberapa macam seperti; masalah-masalah pribadi, percintaan, rumah tangga, kerja, dan lain-lain.
Masalah-masalah pribadi dianggap sebagai sesuatu yang menganggu dan jarang sekali orang melihat masalah-masalah pribadi ini dari kacamata proses perkembangan dan pendewasaan pribadi. Bahkan banyak orang menanggapi masalah pribadi ini sebagai penderitaan seumur hidup.
Dalam kehidupan rumah tangga banyak juga muncul psikoproblem yang dikarenakan terjadinya gangguan komunikasi antara suami-istri, kekecewaan terhadap partner dan lain sebagainya.
Dalam dunia kerja  masalah psikoproblem biasa muncul akibat adanya dua faktor yaitu: office politicking dan power game[9]Ada semacam konsesus bahwa dalam dunia kerja dibutuhkan office politicking dan power game. Dan ada konsesus pula bahwa  jangan sampai kedua hal ini mengalahkan etos kerja. Sekali gejala itu lebih dominan dari etos kerja, suasana kerjapun menjadi tidak sehat lagi seperti yang diungkapkan oleh Horne dan fromm: dunia kerja menjadi penghasil manusia-manusia patologis yang pada gilirannya menjadi orang tua yang tidak efektif.

B.     Pengertian Shalat
Dalam arti yang asli, shalat ialah do’a kebaikan. Dan menurut bahasanya dalam syari’at, shalat adalah beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu.[10] Secara dimensi fiqh shalat adalah beberapa ucapan atau rangkaian ucapan dan perbuatan (gerakan) yang dimulai dengan salam, yang dengannnya kita beribadah kepada Allah, dan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama.
Menurut Ash-Shiddieqiy pengertian shalat dibedakan menjadi beberapa ta’rif yang menerangkan hakikat shalat dan jiwanya:
a.   Pengertian yang melukiskan haqieqatush shalat, atau “sir” (rupanya yang batin) atau hakikat.
Shalat berarti berhadap hati (jiwa) kepada Allah, dengan mendatangkan takut kepada-Nya, serta menumbuhkan  didalamnya jiwa rasa keagungan kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya.
b.  Pengertian yang menggambarkan ruhus shalat (jiwa shalat)
Ruh shalat itu ialah berharap kepada Allah dengan sepenuh jiwa, dengan segala khusyu’ di hadapan-Nya dan berikhlas bagi-Nya, serta hadir hati dalam berdzikir, berdo’a dan memuji.
c.   Pengertian yang melengkapi rupa hakikat dan jiwa shalat
Shalat berarti berhadap hati (jiwa) kepada Allah SWT., hadap yang mendatangkan takut, menumbuhkan rasa kebesaran-Nya dan kekuasaan-Nya dengan penuh khusyu’ dan ikhlas di dalam beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir disudahi dengan salam.
Shalat dengan pengertian yang tersebut ini (pengertian hakikatnya) di dalam Islam lahir dalam bentuk yang indah, didalamnya terkandung hikmah bahwa di dalam shalat itu terdapat tawajjuh (usaha berhadap diri kepada Allah) dan do’a (seruan memohon hajat dan ampunan kepada Allah swt).
Shalat yang baik dan benar harus memiliki roh. Maksud dari roh shalat atau jiwa shalat adalah khusyu’, hadir hati, dan ikhlas. Ayat al-qur’an yang memerintahkan shalat dengan khusyu’  adalah Q.S. al-Baqarah (2): 238
حافظوا علىالصلوت والصلوة الوسطى وقوموالله قنتين

Artinya: Peliharalah segala shalatmu, dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.[11]

Menurut pengertian bahasa, khusyu’  dalam shalat berarti khudu’ . keduanya memiliki arti yang sama yaitu merendahkan diri. Dalam segi suara, khusyu’ berarti diam. Sedangkan dalam hal pandangan mata, khusyu’ menundukkan mata.[12]
Para ulama mempunyai pengertian sendiri mengenai khusyu’. Sebagian  dari mereka berpendapat bahwa khusyu’ itu mencegah penglihatan dari keharaman dan merendahkan diri. Kemudian Amr bin Dinar berkata bahwa khusyu’ adalah tenang dan gerakan yang baik dalam mengerjakan shalat. Ibn Sirrin berkata bahwa khusyu’  adalah konsentrasi pikiran tentang shalat dan lepas dari pemikiran lainnya.[13] Sedangkan Ibn Jubair berkata bahwa khusyu’  adalah tetap mengarahkan fikiran kepada shalat sehingga tiada mengetahui orang sebelah kanan sebelah kiri. Atha’ berpendapat bahwa khusyu’  adalah tiada mempermain-mainkan tangan, tidak memegang-megang benda dalam shalat.
Dari beberapa devinisi diatas dapat disimpulkan, khusyu’ adalah amalan hati; suatu keadaan yang mempengaruhi jiwa, membekas pada anggota badan seperti tenang dan menundukkan diri.
Khusyu’ memiliki kedudukan yang penting dalam shalat, karena orang yang mengerjakan shalat pada dasarnya bermunajat kepada Allah. Sedangkan apabila bermunajat dalam keadaan lengah, maka tidak disebut bermunajat sama sekali. Oleh karenanya, orang yang mendirikan shalat dengan khusyu’  pantas mendapatkan keberuntungan seperti disebut dalam surat al- Mu’minun (23): 1-2
قد افلح المؤ منون * الذين هم في صلو تهم خا شعون
Artinya: sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya.[14]
Roh shalat yang kedua adalah hadir hati. Hadir hati adalah memusatkan segala fikiran kepada yang dikerjakan (shalat), tidak berpaling kepada yang lainnya. Jadi hati harus kosong dari selain apa yang sedang dikerjakan dan diucapkan, sehingga kesadaran berbuat dan berucap selalu bersama-sama dengan perbuatan dan ucapan. Kemudian untuk dapat mengantarkan fikiran kepada apa yang sedang dikerjakan dan diucapkan itu, maka bacaan yang diucapkan dalam shalat itu harus dimengerti, dipahami, dan dihayati.
Pada dasarnya mendirikan shalat sedang bermunajat, berkomunikasi dengan Tuhan. Sehingga telah nyata bahwa kedudukan mengerti, memahami, dan menghayati bacaan shalat ketika mendirikan shalat, menempati posisi yang penting.[15] Allah telah melarang hamba-Nya untuk shalat dalam keadaan tidak mengerti apa yang diucapkan. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nisa’ (4): 43
يايهاالذين امنوالا تقربوا الصلوة وانتم سكارى حتى تعلمواما تقولون......
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk. Sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…[16]

Bacaan yang dimengerti, dipahami, dan dihayati akan mengantarkan jiwa manusia untuk berkomunikasi dengan Allah. Dapat menyadarkan manusia dari keagungan, kebesaran Allah dan kehinaan manusia. Sehingga diharapkan terapresiasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ucapan-ucapan yang dimengerti, dipahami dan dihayati seharusnya diterjemahkan dalam perilaku, perkataan dan perbuatan manusia baik sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial. Apabila manusia dapat mengerti, memahami, menghayati dan melakukan apa yang diucapkan dalam shalat maka akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar serta lebih siap menghadapi persoalan/problem hidup.
Roh shalat yang ketiga adalah ikhlas. Ikhlas adalah niat hati yang murni hanya untuk memperoleh keridhoan Allah semata.[17] Mendirikan shalat merupakan salah satu ibadah kepada Allah dan bukti seseorang hambah membutuhkan khaliqnya. Oleh karena itu dalam menjalankan ibadah kepada Allah diperintahkan untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah saja, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya surat al-Mu’minun (40): 14
فادعواالله مخلصين له الدين ولوكره الكفرون

Artinya: Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya , meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.[18]

Dengan demikian dalam mendirikan shalat harus diikhlaskan karena Allah bukan karena pengaruh yang lain, tidak mengharapkan sanjungan dan perhatian umum, sebagimana telah diperintahkan oleh Allah dalam surat al-A’raf (7): 29
قل امرربي بالقسط واقيموا وجوهكم عند كل مسجد وادعوه مخلصين له الدين كمابداكم تعودون

Artinya: Katakanlah: “Tuhan-ku menyuruh menjalankan keadilan.” Dan katakanlah, “Luruskanlah mukamu disetiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya.”[19]

Hal senada diungkap pula dalam surat al-An’am (6): 162
قل ان صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين

yang artinya: Katakanlah: “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.[20] Ayat ini memerintahkan mengikhlaskan shalat dan seluruh ibadah yang lain bahkan hidup mati hanya untuk Allah.
C.    Implikasi Shalat dalam Terapi Psikoproblem

Setiap manusia memerlukan sesuatu di luar dirinya yang mempunyai kekuatan, kebijaksanaan dan kemampuan yang melebihinya. Karena tidak selamanya manusia mampu menghadapi kesukaran dan keperluan hidupnya sendirian, bahkan juga keperluan kejiwaan, yang akan mempengaruhi kesehatan jiwanya. Sesuatu itu harus selalu ada, disaat apapun ia memerlukannya, terutama ketika menghadapi kesulitan dan kesukaran yang tak terpecahkan. Bagi orang beragama sesuatu adalah keimanan yakni keimanan kepada Allah SWT.[21]
Keimanan (rasa keagamaan) bukanlah perasaan yang hanya bersandar pada formalitas agama, tanpa subtansi, atau sekedar penunaian seruan ajaran yang dimanfaatkan untuk menyatakan kepentingan diri sendiri. rasa keagamaan, sebaliknya ialah pemahaman secara intens dan pengamalan terhadap agama, sehingga terjadi keselarasan dalam menyembah Allah dan hidup bermasyarakat. Dengan begitu agama serta para pemeluknya tidak akan terisolasi dari realitas kehidupan.
Dalam Islam, keimanan merupakan ajaran yang terpenting yang berdiri atas bangunan dua kalimah syahadat. Pernyataan syahadat ini tidak berarti dan berpengaruh apa-apa tanpa adanya penghayatan dan disertai dengan pengamalan nilai-nilai ibadah yang dikandung – dalam hal ini ibadah shalat – dan demikianlah bahwa iman selalu disertai dengan amal.
Buah iman adalah amal. Dan amalan yang pokok dalam ajaran Islam adalah shalat. Didalam al-Qur’an Allah telah menegaskan bahwa shalat adalah suatu rangka pokok iman. Shalat merupakan ibadah terpokok dan terpenting dalam Islam. Shalat menjadi kewajiban setiap muslim, terutama yang sudah baligh atau dewasa. Dan perlu ditekankan disini bahwa shalat mencakup semua rukun Islam.[22] Seorang yang shalat wajib membaca dua kalimat syahadat. Setelah takbiratul ihram seorang yang shalat diharamkan makan dan minum atau mengucapkan apapun, kecuali bacaan yang  sudah disyari’atkan, ini berarti ia berpuasa dari apa yang diharamkan didalam shalat.
Keimanan yang dimanifestasikan dalam bentuk shalat, dimana shalat merupakan satu bentuk ibadah yang didalamnya berisi olah rohani, sebagai penyeimbang olah jasmani. Shalat disini tidak hanya sekedar “dilakukan” tetapi juga harus “didirikan”.
Shalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan wajahnya kepada Allah sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu dilakukan secara tekun dan kontinyu, akan menjadi alat pendidikan rohani yang efektif, memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran. Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani dilatih menghadapi Zat Yang Maha Suci, efeknya akan membawa kesucian rohani dan jasmani.
Jelas bahwa Islam tidak sekedar memerintahkan manusia untuk “melakukan” shalat tetapi “mendirikan” shalat, yang mengandung pengertian yang dalam, yaitu mengkonsentrasikan pikiran dan perasaan, penyucian roh, jiwa dan badan, serta kekhusyu’an anggota badan. bahwa khusyu’ memiliki pengaruh besar dan kuat bagi jiwa seseorang, karena khusyu’ dapat mengantarkan  seseorang kepada hal-hal sebagai berikut:
1.   Menumbuhkan kemampuan untuk berkonsentrasi. Ketika sesorang akan mengerjakan shalat untuk menghadap Tuhanya, biasanya akan muncul hal-hal lain dalam pikirannya. Maka dia harus berusaha untuk menghilangkan pikiran tersebut supaya dapat hadir ketika mengagungkan dan bermunajat kepada Allah. Cara ini akan membantu terbentuknya daya konsentrasi pada diri seseorang.
2.   Dapat mempengaruhi jiwa seseorang dikala ruhnya berhubungan dengan Tuhan dan menjadi khusyu’ kepada-Nya, sekalipun dalam waktu sebentar. Pengaruh khusyu’ bagi jiwa ini merupakan suatu hal yang pasti terjadi. Karena ruh seseorang yang tidak pernah berkomunikasi terhadap Dzat yang menciptakannya atau bahkan jarang, maka akan muncul dalam dirinya rasa gelisah, tidak qana’ah, cinta dunia, bingung dan lain sebaginya. Tetapi dengan shalat dan bermunajat kepada Allah SWT, seseorang akan dapat berserah diri dan meminta apa saja yang dikehendaki sehingga ia merasa lega  dari perasaan-perasaan yang menyertainya. Selain itu, ia akan mencari kekuatan, rasa qana’ah  dan ridho dengan memohon kepada Allah SWT. Jika mushalli  semakin khusyu’ dan dekat dengan Allah maka semakin bertambah keyakinannya terhadap Allah SWT, sehingga ia tidak mengenal putus asa dan keluh kesah dalam hatinya. Selain itu dia juga akan memilki jiwa yang kuat dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kecil maupun besar dalam kehidupannya.
3.   Khusyu’ membuat seseorang memiliki sifat rendah hati, sebab ia melihat keangungan Allah, dan sifat tawadhu’ karena ia melihat kemegahan-Nya. Sifat-sifat inilah yang harus dimiliki oleh hamba Allah SWT. Seseorang  yang meninggalkan tabiatnya dan mengikuti keinginan hawa nafsunya maka akan muncul dalam dirinya sifat sombong atau bahkan sifat yang lebih jelek dari itu. hal ini terjadi karena manusia keluar dari tabi’atnya dengan tidak mengagungkan Allah dan memujinya.
4.   Shalat merupakan bentuk wasilah mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Adalah menjadi kewajiban seorang   muslim untuk tunduk kepada Dzat yang memberikan nikmat dan menyembah kepada-Nya. Salah satu bentuknya adalah dengan melaksanakan shalat. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat berarti ia ingkar terhadap nikmat Tuhan, Dzat yang maha Mulya dan Agung, menyia-nyiakan hak dan kewajiban atasnya, melangggar sumpah (ikrar) untuk beramal kepada-Nya dan ingkar untuk mengakui keutamaan Dzat yang memberi rizki kepadanya.
Zakiah mengatakan bahwa dengan terlaksananya shalat wajib lima kali sehari semalam secara sempurna akan bersihlah jiwa dari berbagai dorongan dan keinginan yang bertentangan dengan ketentuan Allah. Dan kekuatan iman pun dapat mengendalikan dorongan hawa nafsu yang tidak mengenal aturan, nilai dan sopan santun, bahkan sering didukung dan didorong-dorong oleh setan yang selalu mencari kesempatan untuk menghasut manusia berbuat salah.
Keadaan seperti diatas akan mengangkat jiwa manusia diatas dorongan-dorongan jasmani, membebaskannya dari belenggu-belenggu hawa nafsu dan menutup pintu syaitan. Orang yang mendirikan shalat dalam arti serius akan dijauhkan oleh Allah dari sifat keluh kesah dan kikir seperti yang terdapat pada kebanyakan orang.
Dalam  sebuah kasus yang pernah ditangani oleh Zakiah, penyembuhan dapat diatasi dengan menggunakan terapi shalat:
Pada suatu senja, sepasang suami istri datang menghadap kepada ahli jiwa untuk memohon dibantu dalam meyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Suami tampaknya seorang yang berada, tampan dan berwibawa, sedang istri halus, lembut dan parasnya cantik. Sepintas lalu tampaknya pasangan itu serasi dan bahagia, akan tetapi setelah didengar keluhan dan pengalaman yang mereka lalui dalam kehidupan rumah tangga yang telah berjalan 15 tahun, maka pendapat kita akan berubah, karena kehidupan mereka tidak pernah tentram. Rupanya suami yang tampaknya berwibawah dan tampan itu, telah banyak berbuat salah di luar rumah, banyak wanita cantik yang memuja dan mengejarnya, kadang-kadang diantara mereka itu ada yang dibawanya kerumah. Si istri merasa takut bicara karena setiap kali ia mulai bertanya atau berkomentar tentang wanita yang dibawah suaminya itu, ia selalu dimarahi dan disuruh bungkem. Pada mulanya istri tampak menerima kenyataan itu, Karena ia merasa bahwa ia menopangkan hidupnya kepada suaminya yang mampu mencukupi segala keperluannya. Suami semakin bangga diri dan telah meninggalkan shalat sejak beberapa tahun. Ia tenggelam dalam kesenangan lahiriah, pada suatu malam istrinya berkata: “sudah lama kita berkeluarga, kita tidak pernah bertengkar, namun hati saya tidak pernah tenang, saya tidak pernah merasakan lagi kasih saying Abang. Abang sibuk dengan wanita-wanita cantik lain, sedangkan saya Abang kurung dalam sangkar emas yang indah ini. Saya tidak sanggup meneruskan hidup seperti ini, biarlah saya tinggal digubuk buruk, makan dan minum seadanya. Marilah kita besok pergi ke kantor urusan agama, dan ceraikan saya secara baik.”
Sang suami terperanjat, seolah-olah ia disambar petir mendengar ucapan istrinya itu. terbayang diruang matanya semua perlakuan kepada istrinya selama ini, ia selalu mengatakan bahwa istrinya itu bodoh, tidak mengerti apa-apa, bahkan dia teringat ucapan kepada istrinya di satu hari: “Ah diam kau, jangan banyak tanya, tahu apa orang perempuan.” Lama dia terdiam, pikirannya melayang ke masa-masa  dimana dirinya sebagai bintang yang diagungkan oleh wanita-wanita cantik yang tidak berakhlak, sehingga hidupnya dipenuhi oleh dosa dan lupa kepada Allah. Setelah sadar, dengan nada lembut, ia membujuk istrinya untuk bersabar, karena ia akan bertaubat dan mohon ampun kepada Allah, serta memperbaiki perlakuan terhadap istrinya. Istri menolak, karena dia telah jenuh dengan kehidupan tidak menetramkan itu.
Rupanya persoalan itu tidak teratasi lagi, karena itulah suami terpikir untuk minta tolong kepada seorang ahli jiwa. Beberapa kali pertemuan berlangsung dengan ahli jiwa tersebut, kadang-kadang mereka bersama masuk ke ruang konsultasi, kadang-kadang bergantian agar masing-masing dapat mengungkapkan seluruh perasaan yang mencekam di dada mereka masing-masing.
Sejak berkonsultasi itu suami mulai shalat kembali, dan memohon ampun kepada Allah atas segala dosa yang telah dibuatnya. Pada mulanya ia tidak berani mohon ampun kepada Allah, takut, jangan-jangan Allah murka, dan tidak mau mengampuni kesalahannya. Kepadanya dikatakan bahwa Allah Maha Pengampun dan menyuruh manusia untuk minta ampun.
Setelah beberapa kali pertemuan konsultasi, tampaknya istri mulai dapat menerima permintaan suami, agar tidak bercerai. Rupanya terbuka hatinya melihat suaminya yang mau shalat, bahkan sangat rajin dimana kadang-kadang ia bangun tengah malam untuk shalat tahajut.[23]
Itulah contoh kasus problem keluarga yang akhirnya klien mampu mengatasi problemnya dengan melaksanakan shalat. Mendirikan shalat berarti meluruskan pandangan hidup kearah keabadian sejati, yaitu keridhaan Allah, bersandar pada hukum-hukum Allah, karena dengan hukum-hukum dan aturan Allah sajalah yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan.
Dalam Islam shalat dicanangkan sebagai pembersih jiwa, pelembut kalbu dan penghias manusia dengan keutamaan-keutamaan perasaan tunduk, khusyu’, hadir, akrab, mohon kepada Allah dan dekat dengan-Nya. Dalam bab sebelunya penyusun sudah membahas tentang shalat dan pengaruhnya dalam jiwa. Di sana secara teoritis ditemukan bahwa sesorang yang melakukan shalat dengan sempurna akan lebih mampu menghadapi segala persoalannya, ini  diperkuat juga dalam contoh kasus yang dijelaskan di atas.
 Dadang Hawari[24] mengungkapkan bahwa do’a atau shalat yang dilakukan sehari semalam sebanyak lima kali merupakan kekuatan spiritual yang akan mampu memberikan kebutuhan akan rasa aman dan terlindungi bagi setiap manusia. Zakiah mengungkapkan hal yang sama, bahwa shalat sebagai obat (kuratif) bagi gangguan kejiwaan dan shalat sebagai pencegahan (preventif) terhadap gangguan kejiwaan.



BAB III
PENUUTUP
A.    KESIMPULAN
Keimanan yang dimanifestasikan dalam bentuk shalat, dimana shalat merupakan satu bentuk ibadah yang didalamnya berisi olah rohani, sebagai penyeimbang olah jasmani. Shalat disini tidak hanya sekedar “dilakukan” tetapi juga harus “didirikan”.
Shalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan wajahnya kepada Allah sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu dilakukan secara tekun dan kontinyu, akan menjadi alat pendidikan rohani yang efektif, memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran. Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani dilatih menghadapi Zat Yang Maha Suci, efeknya akan membawa kesucian rohani dan jasmani.


B.      
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

·         Tarmizi, Kesehatan Jiwa (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 8
·         Gazali, et al., Ilmu Jiwa (Jakarta: Ganaco N.V., 1980)
·         Anna Alisjabana, M. Sidharta & M.A.W. Brouwer, Menuju Kesejahteraan Jiwa (Jakarta: PT. Gramedia, 1983)
·         Imam santoso sukardi, Psikoproblem  (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995)
·         M. Dachlan Arifin, Kompilasi Shalat dan Persoalannya (Yogyakarta: Dian, 1990)
·         M. Munir Jimbaz, Karakter Orang Sukses Dunia Akhirat, Penj: A.M. Basalamah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993)
·         M. Yunus bin Abdullah as-Sattar, Dimanakah  Shalat yang Khusyu’ ? , Penj: Abdullah Shonhadji, Sani Abu Zahra (Semarang: C.V. asy-Syifa’, 1991),
·         M. Zainal arifin, Shalat Mi’raj Kita Kehadirat-Nya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)
·         Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
·         Departemen Agama RI.
·         Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1995),
·         Aziz Salim Basyrahl, Shalat; Hikmah, Falsafah dan Urgensinya (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Zakiah Daradjat, Shalat Menjadikan Hidup Bermakna, (Bandung: Rosdakarya Offset, 1990),
·         Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Jakarta: Dana Bhakti Yasa, 1996)






[1] M. ‘Utsman Najati, al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Terj: Ahmad Rofi’i Utsman (Bandung: Pustaka, 1985),
[2] Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 96
[3] syeh Mustafa Masyhur, Berjumpa Allah Lewat Shalat, Perj: Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
[4] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1995),
[5] Tarmizi, Kesehatan Jiwa (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 8
[6]  A. Gazali, et al., Ilmu Jiwa (Jakarta: Ganaco N.V., 1980)
[7] Anna Alisjabana, M. Sidharta & M.A.W. Brouwer, Menuju Kesejahteraan Jiwa (Jakarta: PT. Gramedia, 1983)
[8] Imam santoso sukardi, Psikoproblem  (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995)
[9] Ibid, hlm. 336
[10] M. Dachlan Arifin, Kompilasi Shalat dan Persoalannya (Yogyakarta: Dian, 1990)
[11] Departemen Agama RI,

[12] M. Munir Jimbaz, Karakter Orang Sukses Dunia Akhirat, Penj: A.M. Basalamah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), hlm. 71

[13] M. Yunus bin Abdullah as-Sattar, Dimanakah  Shalat yang Khusyu’ ? , Penj: Abdullah Shonhadji, Sani Abu Zahra (Semarang: C.V. asy-Syifa’, 1991), hlm.90

[14] Departemen Agama RI
[15] M. Zainal arifin, Shalat Mi’raj Kita Kehadirat-Nya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 23
[16] Departemen Agama RI.
[17] Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 
[18] Departemen Agama RI.
[19] Ibid.,

[20] Ibid.
[21] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1995),
[22] Aziz Salim Basyrahl, Shalat; Hikmah, Falsafah dan Urgensinya (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 63
[23] Zakiah Daradjat, Shalat Menjadikan Hidup Bermakna, (Bandung: Rosdakarya Offset, 1990),


[24] Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Jakarta: Dana Bhakti Yasa, 1996), hlm. 261

No comments:

Post a Comment