Monday 19 October 2015

INTERPRETASI HADIST

INTERPRETASI HADIST

Perbedaan pemikiran dalam memberikan pemahaman terhadap Hadis sudah muncul pada masa Nabi saw. paling tidak ada dua tipologi pemikiran para sahabat dalam memahami Hadis Nabi saw, yang pertama segolongan sahabat cenderung untuk memahami Hadis Nabi saw secara tekstual, disisi lain segolongan sahabat cenderung untuk memahaminya secara kontekstual. Fakta historis yang menunjukkan hal tersebut adalah yang terjadi setelah peperangan Ahzab.
Ketika para sahabat Nabi saw kembali dari peperangan Ahzab, Nabi saw menyampaikan kepada mereka agar tidak ada seorang pun di antara mereka yang melaksanakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Pada saat waktu Ashar tiba sementara mereka masih dalam perjalanan, segolongan sahabat tetap melanjutkan perjalanan dan tidak melaksanakan shalat kecuali mereka sampai di tempat yang disebutkan oleh Nabi saw, meskipun konsekuensinya mereka tidak melaksanakan shalat Ashar pada waktunya. Segolongan sahabat yang lain melaksanakan shalat dalam perjalanan, karena mereka berpendapat bahwa yang diinginkan oleh Nabi saw sebetulnya adalah agar mereka mempercepat perjalanannya sehingga bisa sampai di Bani Quraizhah dan melaksanakan Shalat Ashar di tempat tersebut, mereka akhirnya tetap melaksanakan shalat karena melaksanakan shalat di awal waktu adalah salah satu amal yang utama. Ketika ini disampaikan kepada Nabi saw, beliau tidak menyalakan salah satu dari dua golongan.[1]
Peristiwa diatas paling tidak menunjukkan bahwa sebahagian sahabat dalam upayanya untuk memahami Hadis Rasulullah saw menggunakan interpretasi yang tekstual seperti muhaddisin sementara sebagian yang lain menggunakan interpretasi kontekstual seperti fuqaha dan kedua jenis ini dibenarkan oleh Nabi saw.[2]
Istilah pemahaman tekstual dimaksudkan adalah sebagai pemahaman terhadap kandungan petunjuk suatu Hadis Nabi saw. berdasarkan teks atau Matan Hadis semata. Karena itu, setiap Hadis Nabi saw yang dipahami secara tekstual berarti petunjuk yang terkandung di dalamnya bersifat universal. Sebaliknya istilah pemahaman kontekstual dimaksudkan sebagai pemahaman terhadap kandungan petunjuk suatu Hadis Nabi saw berdasarkan atau dengan mempertimbangkan konteksnya, meliputi bentuk dan cakupan petunjuknya, kapasitas Nabi saw tatkala Hadis itu terjadi kapan dan apa sebab Hadis itu terjadi serta kepada siapa ditujukan, bahkan dengan mempertimbangkan dalil-dalil lainnya. Karena itu, pemahaman secara kontekstual memerlukan kegiatan ijtihand. Hadis Nabi saw yang dipahami secara kontekstual menunjukkan bahwa ternyata ada Hadis yang sifatnya universal dan ada yang temporal dan lokal[3]
Dari keempat pola pemikiran yang ada, maka perlu mendapat pembaruan seperti halnya pembaruan agama. Adapun pembaruan yang dimaksud adalah pembaruan terhadap sesuatu dengan cara menguatkan kembali apa yang melemah darinya, memperbaiki apa yang telah melapuk dan menambal apa yang telah retak sehingga tampil baru kembali. Jadi pembaruan tidak berarti mengubah watak sesuatu yang lama atau menggantikannya dengan sesuatu lainnya yang baru dibuat atau diciptakan[4]



[1]Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih al-Bukhari, juz I (Istanbul: Dar al-Tiba‟ah al- Amirah, 1981), h.227
[2] Muhammad al- Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyah: Bayna ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadis, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis atas Hadis saw: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual cet V (Jakarta: Penerbit Mizan, 1416 H/ 1996 M), h.26-27
[3] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi Refleksi Pemikiran Pembauran Muhammad Syuhudi Ismail, cet I (Jakarta: Renaisan, 2005), h.205
[4] Yusuf Qardhawy, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis al-Sunnah, cet I (Bandung: Karisma, 1413 H/ 1993 M), h.38

No comments:

Post a Comment