INTERPRETASI HADIST
Perbedaan
pemikiran dalam memberikan pemahaman terhadap Hadis sudah muncul pada masa Nabi
saw. paling tidak ada dua tipologi pemikiran para sahabat dalam memahami Hadis
Nabi saw, yang pertama segolongan sahabat cenderung untuk memahami Hadis Nabi
saw secara tekstual, disisi lain segolongan sahabat cenderung untuk
memahaminya secara kontekstual. Fakta historis yang menunjukkan hal
tersebut adalah yang terjadi setelah peperangan Ahzab.
Ketika
para sahabat Nabi saw kembali dari peperangan Ahzab, Nabi saw menyampaikan
kepada mereka agar tidak ada seorang pun di antara mereka yang melaksanakan
shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Pada saat waktu Ashar tiba
sementara mereka masih dalam perjalanan, segolongan sahabat tetap melanjutkan
perjalanan dan tidak melaksanakan shalat kecuali mereka sampai di tempat yang
disebutkan oleh Nabi saw, meskipun konsekuensinya mereka tidak melaksanakan
shalat Ashar pada waktunya. Segolongan sahabat yang lain melaksanakan shalat
dalam perjalanan, karena mereka berpendapat bahwa yang diinginkan oleh Nabi saw
sebetulnya adalah agar mereka mempercepat perjalanannya sehingga bisa sampai di
Bani Quraizhah dan melaksanakan Shalat Ashar di tempat tersebut, mereka
akhirnya tetap melaksanakan shalat karena melaksanakan shalat di awal waktu
adalah salah satu amal yang utama. Ketika ini disampaikan kepada Nabi saw,
beliau tidak menyalakan salah satu dari dua golongan.[1]
Peristiwa
diatas paling tidak menunjukkan bahwa sebahagian sahabat dalam upayanya untuk
memahami Hadis Rasulullah saw menggunakan interpretasi yang tekstual seperti
muhaddisin sementara sebagian yang lain menggunakan interpretasi kontekstual
seperti fuqaha dan kedua jenis ini dibenarkan oleh Nabi saw.[2]
Istilah
pemahaman tekstual dimaksudkan adalah sebagai pemahaman terhadap kandungan
petunjuk suatu Hadis Nabi saw. berdasarkan teks atau Matan Hadis semata. Karena
itu, setiap Hadis Nabi saw yang dipahami secara tekstual berarti petunjuk yang
terkandung di dalamnya bersifat universal. Sebaliknya istilah pemahaman
kontekstual dimaksudkan sebagai pemahaman terhadap kandungan petunjuk suatu
Hadis Nabi saw berdasarkan atau dengan mempertimbangkan konteksnya, meliputi
bentuk dan cakupan petunjuknya, kapasitas Nabi saw tatkala Hadis itu terjadi kapan
dan apa sebab Hadis itu terjadi serta kepada siapa ditujukan, bahkan dengan
mempertimbangkan dalil-dalil lainnya. Karena itu, pemahaman secara kontekstual
memerlukan kegiatan ijtihand. Hadis Nabi saw yang dipahami secara kontekstual
menunjukkan bahwa ternyata ada Hadis yang sifatnya universal dan ada yang
temporal dan lokal[3]
Dari
keempat pola pemikiran yang ada, maka perlu mendapat pembaruan seperti halnya
pembaruan agama. Adapun pembaruan yang dimaksud adalah pembaruan terhadap
sesuatu dengan cara menguatkan kembali apa yang melemah darinya, memperbaiki
apa yang telah melapuk dan menambal apa yang telah retak sehingga tampil baru
kembali. Jadi pembaruan tidak berarti mengubah watak sesuatu yang lama atau
menggantikannya dengan sesuatu lainnya yang baru dibuat atau diciptakan[4]
[1]Abu Abdillah
Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah al-Bukhari, al-Jami’
al-Sahih al-Bukhari, juz I (Istanbul: Dar al-Tiba‟ah al- Amirah, 1981),
h.227
[2] Muhammad al-
Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyah: Bayna ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadis,
diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis atas Hadis saw: Antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual cet V (Jakarta: Penerbit Mizan, 1416 H/
1996 M), h.26-27
[3] Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi Refleksi Pemikiran Pembauran
Muhammad Syuhudi Ismail, cet I (Jakarta: Renaisan, 2005), h.205
[4] Yusuf Qardhawy,
Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, diterjemahkan oleh Muhammad
al-Baqir dengan judul Studi Kritis al-Sunnah, cet I (Bandung: Karisma,
1413 H/ 1993 M), h.38
No comments:
Post a Comment