Saturday 24 October 2015

Metode Menentukan Arah Kiblat

                     Metode Menentukan Arah Kiblat
Arah kiblat adalah arah terdekat menuju Ka’bah (al-Masjid al-Haram) melalui lingkaran besar (great circle) bola bumi, yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam melakukan sebagian ibadah. Terkait masalah arah kiblat, sebagian orang menganggap permasalahan ini klasik, tetapi faktanya masih diperbincangkan dan kadang mengundang kontroversi.
Diskursus tentang perhitungan dan pengukuran arah kiblat telah lama dan dikenal oleh masyarakat Indonesia, namun harus diakui bahwa sedikit dari sarjana muslim yang melakukan kajian yang mendalam tentang persoalan ini. Padahal kalau dicermati, masih ada persoalan terkait perhitungan dan pengukuran arah kiblat yang belum tuntas dan memerlukan pengkajian secara seksama, mengingat sarana perhitungan dan pengukuran arah kiblat yang senantiasa berkembang. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam persoalan penentuan arah kiblat tidak tampak adanya dikotomi antara madhab hisab dengan madhab rukyah.[1]para ulama telah sepakat bahwa mengahadap kiblat pada saat sholat merupakan syarat syah dalam sholat.[2] Untuk mengetahui arah kiblat menjadi sangat penting bagi umat Islam karena hal ini terkait dengan persoalan peribadatan.
Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, tentu persoalan arah kiblat tidak menjadi persoalan yang serius, disamping memang jumlah masyarakat muslim masih terbatas, Nabi sendiri yang menunjukan kemana arah kiblat yang benar. Persoalan tersebut menjadi rumit ketika umat Islam meluas diseluruh penjuru dunia, dan Nabi telah tiada. Maka taka da pilihan lain kecuali harus berijtihad sendiri untuk menentukan arah kiblat.
Ketika umat Islam mulai berkembang, para sahabat mengembara untuk menyebarkan Islam, problematika untuk menentukan arah kiblat menjadi rumit. Ketika berada pada suatu tempat maka para sahabat melakukan ijtihad semaksimal mungkin sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu, mereka menjadikan kedudukan bintang bintang sebagai rujukan yang dapat memberi petunjuk arah kiblat.
Untuk menentukan arah kiblat setempat dilakukan oleh para ahli falak kaum muslimin, adapun usaha awal penentuan arah kiblat ini dilakukan oleh Kholifah Al Makmun (198 -218 H/813 – 833 M), dan masa setelahnya para ilmuwan terus berusaha melakukan koreksi untuk perbaikan menentukan arah kiblat.
Kemampuan dalam berijtihad menentukan arah kiblat berkembang seiring kemajuan ilmu pengetahuan, sehingga metode yang dipakai bisa berkembang sesuai dengan kemajuan yang dicapai. Dengan kata lain hokum menghadap kiblat tetap wajib, namun metode penentuan arah kiblat berkembang menuju metode yang lebih akurat, lebih teliti.
Masalah kiblat tiada lain adalah masalah arah, yakni arah Ka’bah di Mekah. Arah Ka’bah ini dapat ditentukan dari setiap titik atau tempat di permukaan bumi dengan melakukan perhitungan dan pengukuran. Oleh sebab itu, perhitungan arah kiblat pada dasarnya adalah perhitungan untuk mengetahui guna menetapkan ke arah mana Ka’bah di Mekah dilihat dari suatu tempat dipermukaan bumi, sehingga semua gerakan orang yang sedang melaksanakan shalat, baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujudnya selalu berhimpit dengan arah yang menuju Ka’bah.[3]
Secara historis cara penentuan arah kiblat di Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan kualitas dan kapasitas intelektual di kalangan kaum muslimin. Perkembangan penentuan arah kiblat ini dapat dilihat dari alat-alat yang dipergunakan untuk mengukurnya, seperti tongkat istiwa’, Rubu’ Mujayyab, kompas dan theodolit. Selain itu sistem perhitungan yang digunakan juga mengalami perkembangan, baik mengenai data koordinat maupun sistem ilmu ukurnya yang sangat terbantu dengan adanya alat bantu perhitungan seperti kalkulator scientific maupun alat bantu pencarian data koordinat yang semakin canggih seperti GPS (Global Positioning System). Bahkan hanya dengan membuka internet mengklik Google Earth, diketahui kota, bujur dan lintang tempat, maka arah kiblat bisa diketahui.
Penetuan arah kiblat terdiri dari dua cara, yakni: perhitungan dan pengukuran. Perhitungan yang digunakan adalah prinsip ilmu ukur trigonometri bola (spherical trygonometry), sedangkan metode yang sering digunakan dalam pengukuran arah kiblat yaitu: pertama, memanfaatkan bayang-bayang kiblat; kedua, azimuth kiblat; ketiga, rashdul kiblat.
Pada dasarnya pengukuran arah kiblat dengan metode ini termasuk metode pengukuran arah kiblat dengan menggunakan bayang-bayang matahari. Bayangan benda yang terkena sinar matahari akan membentuk bayangan yang menunjuk ke arah kiblat. Oleh karena itu, metode ini sering disebut sebagai metode pengukuran arah kiblat dengan menggunakan bayang-bayang kiblat.[4]
Dalam kajian ilmu Falak, metode ini disebut juga degan metode pengukuran arah kiblat dengan memanfaatkan peristiwa Rashd al-Qiblat. Hanya saja, dalam metode ini tidak diperlukan terlebih dahulu untuk mengetahui arah Utara sejati. Kata rashd ( ﺪﺻر ) mempunyai arti pengawasan, pengintaian, dan jalan.
Di Indonesia sendiri, Rashd al-Qiblat pernah disinggung oleh KH. Turaichan dalam kalender Menara Kudus. Dalam kalender ini ditetapkan bahwa setiap tanggal 28 Mei dan tanggal 15/16 Juli dinamakan “Yaumu ar-Rashd al- Qiblat” karena pada tanggal-tanggal tersebut dan jam yang ditentukan matahari berada di atas Ka’bah.[5] Jika dilihat pada ketentuan dua waktu untuk Rashd al- Qiblat oleh KH. Turaichan di atas, maka yang dimaksud pastilah Rashd al-Qiblat global. Hal ini dikarenakan selain terdapat Rashd al-Qiblat global, terdapat juga Rashd al-Qiblat lokal yang waktunya hampir tiap hari bisa dilakukan untuk pengukuran arah kiblat.
Pengukuran arah kiblat dengan berpedoman pada posisi matahari atau bayang-bayang kiblat (Rashd al-Qiblat) ini mempunyai dua cara, yaitu: Pertama, pengukuran arah kiblat dengan berpedoman pada posisi matahari yang sedang persis berada pada azimuth Ka’bah atau berposisi pada arah yang berlawanan dengan azimuth Ka’bah (Rashd al-Qiblat lokal.). Kedua, pengukuran arah kiblat dengan berpedoman pada posisi matahari yang persis atau hampir persis berada pada titik zenith Ka’bah (Rashd al-Qiblat Global). Penjelasannya tentang macam- macam rashdul kiblat adalah Pengukuran arah kiblat dengan berpedoman pada posisi matahari yang sedang persis berada pada azimuth Ka’bah atau berposisi pada arah yang berlawanan dengan azimuth Ka’bah (Rashd al-Qiblat lokal.).
Metode ini pada intinya adalah mencari waktu kapan arah garis bayang- bayang matahari terletak pada arah kiblat, baik bayang-bayang itu menuju ke arah kiblat atau berlawanan dengan arah kiblat. Misalnya kita memiliki tongkat istiwa’ yang dipancang benar-benar tegak. Pada waktu siang, bayang-bayang tongkat tersebut dapat diikuti terus sampai pada suatu saat bayang-bayang itu memanjang tepat di arah kiblat. Keadaan ini bisa mempunyai dua kemungkinan, Kemungkinan pertama bayang-bayang puncak tongkat menunjuk ke arah kiblat, dan kemungkinan kedua bayang-bayang tersebut menunjuk ke arah yang berlawanan dengan arah kiblat.
Selanjutnya adalah Azimuth kiblat maksudnya adalah busur lingkaran horizon atau ufuk dihitung dari titik Utara ke arah Timur (searah perputaran jarum jam) sampai dengan titik kiblat. Titik Utara azimuthnya 0°, titik Timur azimuthnya 90°, titik selatan azimuthnya 180° dan titik Barat azimuthnya 270°. Untuk mengetahui azimuth kiblat ini diperlukan beberapa data, diantaranya sebagai berikut: [6]
1.      Lintang tempat atau ‘Ardl al-Balad daerah yang dikehendaki. Lintang tempat atau ‘Ardl al-Balad adalah jarak dari daerah yang kita kehendaki sampai dengan khatulistiwa diukur sepanjang garis bujur. Khatulistiwa adalah lintang 0° dan titik kutub bumi adalah lintang 90°. Disebelah Selatan khatulistiwa disebut lintang Selatan (LS) dengan tanda negatif (-) dan disebelah Utara khatulistiwa disebut lintang Utara (LU) diberi tanda positif.[7]
2.      Bujur tempat atau Thul al-Balad daerah yang dikehendaki. Bujur tempat atau Thul al-Balad adalah jarak dari tempat yang dikehendaki ke garis bujur yang melalui kota Greenwich dekat London. Berada disebelah Barat kota Greenwich sampai 180° disebut Bujur Barat (BB) dan disebelah Timur kota Greenwich sampai 180° disebut Bujur Timur (BT).
3.      Lintang dan bujur kota Mekah (Ka’bah). Besarnya data lintang Mekah adalah 21° 25´ 21,17´´ LU dan Bujur Mekah 39° 49´ 34,56´´ BT. Menurut Izzuddin31 Varian data titik koordinat Ka’bah sangat beragam. Dimana koordinat Ka’bah juga telah dilakukan oleh Tim KK Geodesi yang mengambil inisiatif untuk melakukan pengukuran langsung dengan sistem WGS 84 yang dikoordinir Joenil Kahar yang menggunakan receiver GPS tipe navigasi Magellan GPS- 3000 pada saat menunaikan ibadah haji. Kemudian di ukur ulang oleh Dr. Hasanudin ZA. menggunakan Garmin E MAP dengan data lintang 21° 25´ 21,5´´ LU dan bujur 39° 49´ 34,5´´ BT. Dalam kesempatannya, Izzuddin telah melakukan pengukuran titik koordinat Mekah, tepatnya ketika menunaikan ibadah haji. Pengukuran itu dilaksanakan pada hari Selasa 04 Desember 2007 pukul 13:45 s/d 14:30 menggunakan GPS MAP Garmin 76CS dengan signal 6 s/d 7 satelit.
Kebutuhan dalam ibadah di kalangan umat Islam sangatlah urgen, maka para astronom muslim menciptakan berbagai metode pengamatan yang didukung dengan berbagai macam isntrumen. Salah satu instrumen pendukung yang digunakan adalah Rubu’ Mujayyab. Rubu’ Mujayyab sebagai alat hitung dan ukur, salah satu fungsinya adalah untuk menentukan arah kiblat. Kini, Rubu’ Mujayyab atau kuadran sinus tenggelam seiring kemajuan teknologi, padahal didalamnya tersimpan khazanah keilmuan yang patut digali, dicermati, serta dikembangkan, sehingga kelak akan banyak generasi muda yang mengerti tentang kemajuan ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan oleh ilmuwan muslim


[1] Ahmad Izzudin, Fiqih Hisab Rukyah, (Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Romadlon, Idul Fitri, dan Idul Adha) (Jakarta : Erlangga, 2007), hal 40-41.
[2] Rahman Ritonga, Fiqh Ibadah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997), hal 96-98.
[3] Muhyidin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta : Buana Pustaka, 2004), hal 47.
[4] Encup Supriyatna, Hisab Rukyat dan Aplikasinya (Bandung : Refika Aditama, 2007), hal 91.
[5] Ahmad Izuudi, . . Ibid, hal 179.
[6] Ahmad Izuudin, Menetukan. . . .Ibid, hal 32-33.
[7] Muhyidin Khazin, Kamus .. . Ibid, hal 4.

No comments:

Post a Comment