Metode Menentukan Arah Kiblat
Arah
kiblat adalah arah terdekat menuju Ka’bah (al-Masjid
al-Haram) melalui lingkaran besar (great
circle) bola bumi, yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam melakukan
sebagian ibadah. Terkait masalah arah kiblat, sebagian orang menganggap
permasalahan ini klasik, tetapi faktanya masih diperbincangkan dan kadang
mengundang kontroversi.
Diskursus
tentang perhitungan dan pengukuran arah kiblat telah lama dan dikenal oleh
masyarakat Indonesia, namun harus diakui bahwa sedikit dari sarjana muslim yang
melakukan kajian yang mendalam tentang persoalan ini. Padahal kalau dicermati,
masih ada persoalan terkait perhitungan dan pengukuran arah kiblat yang belum
tuntas dan memerlukan pengkajian secara seksama, mengingat sarana perhitungan
dan pengukuran arah kiblat yang senantiasa berkembang. Seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam
persoalan penentuan arah kiblat tidak tampak adanya dikotomi antara madhab
hisab dengan madhab rukyah.[1]para
ulama telah sepakat bahwa mengahadap kiblat pada saat sholat merupakan syarat
syah dalam sholat.[2]
Untuk mengetahui arah kiblat menjadi sangat penting bagi umat Islam karena hal
ini terkait dengan persoalan peribadatan.
Pada
masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, tentu persoalan arah kiblat tidak menjadi
persoalan yang serius, disamping memang jumlah masyarakat muslim masih terbatas,
Nabi sendiri yang menunjukan kemana arah kiblat yang benar. Persoalan tersebut
menjadi rumit ketika umat Islam meluas diseluruh penjuru dunia, dan Nabi telah
tiada. Maka taka da pilihan lain kecuali harus berijtihad sendiri untuk
menentukan arah kiblat.
Ketika
umat Islam mulai berkembang, para sahabat mengembara untuk menyebarkan Islam,
problematika untuk menentukan arah kiblat menjadi rumit. Ketika berada pada
suatu tempat maka para sahabat melakukan ijtihad semaksimal mungkin sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu, mereka menjadikan kedudukan
bintang bintang sebagai rujukan yang dapat memberi petunjuk arah kiblat.
Untuk
menentukan arah kiblat setempat dilakukan oleh para ahli falak kaum muslimin,
adapun usaha awal penentuan arah kiblat ini dilakukan oleh Kholifah Al Makmun
(198 -218 H/813 – 833 M), dan masa setelahnya para ilmuwan terus berusaha
melakukan koreksi untuk perbaikan menentukan arah kiblat.
Kemampuan
dalam berijtihad menentukan arah kiblat berkembang seiring kemajuan ilmu
pengetahuan, sehingga metode yang dipakai bisa berkembang sesuai dengan
kemajuan yang dicapai. Dengan kata lain hokum menghadap kiblat tetap wajib,
namun metode penentuan arah kiblat berkembang menuju metode yang lebih akurat,
lebih teliti.
Masalah
kiblat tiada lain adalah masalah arah, yakni arah Ka’bah di Mekah. Arah Ka’bah
ini dapat ditentukan dari setiap titik atau tempat di permukaan bumi dengan
melakukan perhitungan dan pengukuran. Oleh sebab itu, perhitungan arah kiblat
pada dasarnya adalah perhitungan untuk mengetahui guna menetapkan ke arah mana
Ka’bah di Mekah dilihat dari suatu tempat dipermukaan bumi, sehingga semua
gerakan orang yang sedang melaksanakan shalat, baik ketika berdiri, ruku’
maupun sujudnya selalu berhimpit dengan arah yang menuju Ka’bah.[3]
Secara
historis cara penentuan arah kiblat di Indonesia mengalami perkembangan sesuai
dengan kualitas dan kapasitas intelektual di kalangan kaum muslimin.
Perkembangan penentuan arah kiblat ini dapat dilihat dari alat-alat yang
dipergunakan untuk mengukurnya, seperti tongkat istiwa’, Rubu’ Mujayyab, kompas
dan theodolit. Selain itu sistem perhitungan yang digunakan juga mengalami
perkembangan, baik mengenai data koordinat maupun sistem ilmu ukurnya yang
sangat terbantu dengan adanya alat bantu perhitungan seperti kalkulator
scientific maupun alat bantu pencarian data koordinat yang semakin canggih
seperti GPS (Global Positioning System). Bahkan hanya dengan membuka internet
mengklik Google Earth, diketahui kota, bujur dan lintang tempat, maka arah
kiblat bisa diketahui.
Penetuan
arah kiblat terdiri dari dua cara, yakni: perhitungan dan pengukuran. Perhitungan
yang digunakan adalah prinsip ilmu ukur trigonometri bola (spherical
trygonometry), sedangkan metode yang sering digunakan dalam pengukuran arah
kiblat yaitu: pertama, memanfaatkan bayang-bayang kiblat; kedua, azimuth kiblat;
ketiga, rashdul kiblat.
Pada
dasarnya pengukuran arah kiblat dengan metode ini termasuk metode pengukuran
arah kiblat dengan menggunakan bayang-bayang matahari. Bayangan benda yang
terkena sinar matahari akan membentuk bayangan yang menunjuk ke arah kiblat.
Oleh karena itu, metode ini sering disebut sebagai metode pengukuran arah
kiblat dengan menggunakan bayang-bayang kiblat.[4]
Dalam
kajian ilmu Falak, metode ini disebut juga degan metode pengukuran arah kiblat
dengan memanfaatkan peristiwa Rashd al-Qiblat. Hanya saja, dalam metode ini
tidak diperlukan terlebih dahulu untuk mengetahui arah Utara sejati. Kata rashd
( ﺪﺻر )
mempunyai arti pengawasan, pengintaian, dan jalan.
Di
Indonesia sendiri, Rashd al-Qiblat pernah disinggung oleh KH. Turaichan dalam
kalender Menara Kudus. Dalam kalender ini ditetapkan bahwa setiap tanggal 28
Mei dan tanggal 15/16 Juli dinamakan “Yaumu ar-Rashd al- Qiblat” karena pada
tanggal-tanggal tersebut dan jam yang ditentukan matahari berada di atas
Ka’bah.[5]
Jika dilihat pada ketentuan dua waktu untuk Rashd al- Qiblat oleh KH. Turaichan
di atas, maka yang dimaksud pastilah Rashd al-Qiblat global. Hal ini
dikarenakan selain terdapat Rashd al-Qiblat global, terdapat juga Rashd
al-Qiblat lokal yang waktunya hampir tiap hari bisa dilakukan untuk pengukuran
arah kiblat.
Pengukuran
arah kiblat dengan berpedoman pada posisi matahari atau bayang-bayang kiblat
(Rashd al-Qiblat) ini mempunyai dua cara, yaitu: Pertama, pengukuran arah
kiblat dengan berpedoman pada posisi matahari yang sedang persis berada pada
azimuth Ka’bah atau berposisi pada arah yang berlawanan dengan azimuth Ka’bah
(Rashd al-Qiblat lokal.). Kedua, pengukuran arah kiblat dengan berpedoman pada
posisi matahari yang persis atau hampir persis berada pada titik zenith Ka’bah
(Rashd al-Qiblat Global). Penjelasannya tentang macam- macam rashdul kiblat
adalah Pengukuran arah kiblat dengan berpedoman pada posisi matahari yang
sedang persis berada pada azimuth Ka’bah atau berposisi pada arah yang
berlawanan dengan azimuth Ka’bah (Rashd al-Qiblat lokal.).
Metode
ini pada intinya adalah mencari waktu kapan arah garis bayang- bayang matahari
terletak pada arah kiblat, baik bayang-bayang itu menuju ke arah kiblat atau
berlawanan dengan arah kiblat. Misalnya kita memiliki tongkat istiwa’ yang
dipancang benar-benar tegak. Pada waktu siang, bayang-bayang tongkat tersebut dapat
diikuti terus sampai pada suatu saat bayang-bayang itu memanjang tepat di arah
kiblat. Keadaan ini bisa mempunyai dua kemungkinan, Kemungkinan pertama
bayang-bayang puncak tongkat menunjuk ke arah kiblat, dan kemungkinan kedua
bayang-bayang tersebut menunjuk ke arah yang berlawanan dengan arah kiblat.
Selanjutnya
adalah Azimuth kiblat maksudnya adalah busur lingkaran horizon atau ufuk
dihitung dari titik Utara ke arah Timur (searah perputaran jarum jam) sampai
dengan titik kiblat. Titik Utara azimuthnya 0°, titik Timur azimuthnya 90°,
titik selatan azimuthnya 180° dan titik Barat azimuthnya 270°. Untuk mengetahui
azimuth kiblat ini diperlukan beberapa data, diantaranya sebagai berikut: [6]
1.
Lintang tempat atau ‘Ardl al-Balad
daerah yang dikehendaki. Lintang tempat atau ‘Ardl al-Balad adalah jarak dari
daerah yang kita kehendaki sampai dengan khatulistiwa diukur sepanjang garis
bujur. Khatulistiwa adalah lintang 0° dan titik kutub bumi adalah lintang 90°.
Disebelah Selatan khatulistiwa disebut lintang Selatan (LS) dengan tanda
negatif (-) dan disebelah Utara khatulistiwa disebut lintang Utara (LU) diberi
tanda positif.[7]
2.
Bujur tempat atau Thul al-Balad daerah
yang dikehendaki. Bujur tempat atau Thul al-Balad adalah jarak dari tempat yang
dikehendaki ke garis bujur yang melalui kota Greenwich dekat London. Berada
disebelah Barat kota Greenwich sampai 180° disebut Bujur Barat (BB) dan
disebelah Timur kota Greenwich sampai 180° disebut Bujur Timur (BT).
3.
Lintang dan bujur kota Mekah (Ka’bah).
Besarnya data lintang Mekah adalah 21° 25´ 21,17´´ LU dan Bujur Mekah 39° 49´
34,56´´ BT. Menurut Izzuddin31 Varian data titik koordinat Ka’bah sangat
beragam. Dimana koordinat Ka’bah juga telah dilakukan oleh Tim KK Geodesi yang
mengambil inisiatif untuk melakukan pengukuran langsung dengan sistem WGS 84
yang dikoordinir Joenil Kahar yang menggunakan receiver GPS tipe navigasi
Magellan GPS- 3000 pada saat menunaikan ibadah haji. Kemudian di ukur ulang
oleh Dr. Hasanudin ZA. menggunakan Garmin E MAP dengan data lintang 21° 25´
21,5´´ LU dan bujur 39° 49´ 34,5´´ BT. Dalam kesempatannya, Izzuddin telah
melakukan pengukuran titik koordinat Mekah, tepatnya ketika menunaikan ibadah
haji. Pengukuran itu dilaksanakan pada hari Selasa 04 Desember 2007 pukul 13:45
s/d 14:30 menggunakan GPS MAP Garmin 76CS dengan signal 6 s/d 7 satelit.
Kebutuhan dalam ibadah di kalangan umat Islam
sangatlah urgen, maka para astronom muslim menciptakan berbagai metode
pengamatan yang didukung dengan berbagai macam isntrumen. Salah satu instrumen
pendukung yang digunakan adalah Rubu’ Mujayyab. Rubu’ Mujayyab sebagai alat
hitung dan ukur, salah satu fungsinya adalah untuk menentukan arah kiblat. Kini,
Rubu’ Mujayyab atau kuadran sinus tenggelam seiring kemajuan teknologi, padahal
didalamnya tersimpan khazanah keilmuan yang patut digali, dicermati, serta
dikembangkan, sehingga kelak akan banyak generasi muda yang mengerti tentang
kemajuan ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan oleh ilmuwan muslim
[1] Ahmad Izzudin, Fiqih Hisab Rukyah, (Menyatukan NU &
Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Romadlon, Idul Fitri, dan Idul Adha)
(Jakarta : Erlangga, 2007), hal 40-41.
[2] Rahman Ritonga, Fiqh Ibadah (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1997), hal 96-98.
[3] Muhyidin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta
: Buana Pustaka, 2004), hal 47.
[4] Encup Supriyatna, Hisab Rukyat dan Aplikasinya (Bandung :
Refika Aditama, 2007), hal 91.
[5] Ahmad Izuudi, . . Ibid, hal 179.
[6] Ahmad Izuudin, Menetukan. . . .Ibid, hal 32-33.
[7] Muhyidin Khazin, Kamus .. . Ibid, hal 4.
No comments:
Post a Comment