Sejarah Penentuan Kiblat Dalam Islam
Pada
masa Nabi Muhammad Saw masih hidup tentu arah kiblat tidak menjadi sebuah
persoalan yang serius, disamping masyarakat muslim masih terbatas, Nabi sendiri
yang menunjukan kemana arah kiblat yang benar seperti yang telah dialami umat
Islam ketika pertama kali ibadah shalat
disyariatkan pada periode Nabi SAW masih bermukim di Makkah kiblat yang menjadi
arah mendahadapnya bukan lah Makkah atau masjidil al-Haram melainkan masjidil
al-Aqsha yang terletak di Palestina, keadaan tersebut terus berlangsung sampai nabi Muhammad SAW hijrah
ke Madinah, bahkan sampai belasan bulan Nabi Muhammad SAW bermukim disana .
sejatinya nabi Muhammad SAW sendiri merasa tidak pas dengan kiblat ke Masjidil
al-Aqsha itu, sehingga dalam beberapa bulan di bagian awal mukim di Madinah
beliau sangat mendambakan turunnya wahyu yang memerintahkan pengalihan ke
kiblat masjid al-Haram.[1]
Namun
persoalan arah kiblat menjadi rumit ketika umat Islam telah meluas di seluruh
penjuru dunia dan Nabi telah tiada. Tidak ada pilihan lain kecuali harus
berijtihad sendiri untuk menentukan arah kiblat yang benar.
Kemampuan
dalam berijtihad menentukan arah kiblat berkembang seiring kemajuan ilmu
pengetahuan, sehingga metode yang dipakai bisa berkembang sesuai dengan
kemajuan yang dicapai. Dengan kata lain hukum menghadap kiblat tetap wajib,
namun metode penentuan arah kiblat berkembang menuju metode yang lebih akurat
dan lebih teliti
Secara
historis cara penentuan arah kiblat telah muncul sejak Islam mulai
dikembangkan, para sahabat mengembara untuk menyebarkan agama Islam,
problematika untuk menentukan arah kiblat menjadi mulai rumit. Ketika berada
pada suatu tempat para sahabat melakukan ijtihad kemudian juga pernah dilakukan
penentuan arah kiblat oleh khalifah Al Makmun, sepertihalnya yang dilakukan
oleh para ulama dunia dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang ada, menurut
Azhari[2] di
Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan kualitas dan kapasitas
intelektual di kalangan kaum muslimin. Perkembangan penentuan arah kiblat ini
dapat dilihat dari alat-alat yang dipergunakan untuk mengukurnya, seperti
tongkat istiwa’, Rubu’ Mujayyab, kompas dan theodolit. Selain itu sistem
perhitungan yang digunakan juga mengalami perkembangan, baik mengenai data
koordinat maupun sistem ilmu ukurnya yang sangat terbantu dengan adanya alat
bantu perhitungan seperti kalkulator scientific maupun alat bantu pencarian
data koordinat yang semakin canggih seperti GPS (Global Positioning System).
Bahkan hanya dengan membuka internet mengklik Google Earth, diketahui kota,
bujur dan lintang tempat, maka arah kiblat bisa diketahui
Masalah
kiblat tiada lain adalah masalah arah, yakni arah Ka’bah di Mekah. Arah Ka’bah
ini dapat ditentukan dari setiap titik atau tempat di permukaan bumi dengan
melakukan perhitungan dan pengukuran. Oleh sebab itu, perhitungan arah kiblat
pada dasarnya adalah perhitungan untuk mengetahui guna menetapkan ke arah mana
Ka’bah di Mekah dilihat dari suatu tempat dipermukaan bumi, sehingga semua
gerakan orang yang sedang melaksanakan shalat, baik ketika berdiri, ruku’
maupun sujudnya selalu berhimpit dengan arah yang menuju Ka’bah.[3]
[1] Nur Kholis Majid, 2014, Kontroversi Arah Kiblat solusi dan cara
mudah penentuannya (Surabaya : Uin Sunan Ampel Press). 17
[2] Azhari, Susiknan. 2007. Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah
Islam dan Sains Modern.Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
[3] Muhyidin Khazin, Ilmu Falak
dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004, hal. 47.
No comments:
Post a Comment